Politik Jenuh Terbitlah Sontoloyo

- ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
VIVA – Para peserta forum pembagian sertifikat tanah pada Selasa siang pekan terakhir Oktober itu mulanya khidmat menyimak pidato Presiden Joko Widodo. Namun, seketika hening saat Presiden mengubah topik pidato dan mengeluhkan reaksi sebagian elite politik yang menyoal kebijakan pemerintah memberikan dana untuk kelurahan pada 2019.
Siang itu, usai membagikan lima ribu sertifikat tanah di Lapangan Sepakbola Ahmad Yani, Kebayoran Lama, Jakarta, Jokowi mencurahkan isi hatinya. Dia merasa setiap kebijakan pemerintah selalu dicurigai untuk kepentingan politik pemilu presiden; semacam muslihat menarik simpati rakyat dengan memanfaatkan dana pemerintah. Padahal, katanya, kebijakan semacam itu jelas-jelas untuk rakyat, bukan demi urusan politik apa pun.
Dia mengingatkan, bahwa itu semua ulah sebagian elite yang memengaruhi pola pikir masyarakat. Irama bicara Presiden mulai meninggi, seraya mewanti-wanti dan mengarahkan telunjuk tangan kanannya ke angkasa, "Hati-hati—saya titip ini—hati-hati, hati-hati, hati-hati!" Memang, katanya, tak sedikit politikus yang bijaksana memahami itu sebagai komitmen pemerintah kepada rakyat. "Tapi juga banyak politikus sontoloyo. Saya ngomong apa adanya aja."
Tutur kata Presiden itu dengan cepat menuai polemik, lebih-lebih di kalangan elite politik kubu lawan. Sebagian menganggap tak patut seorang presiden mengucapkan kata semacam itu. Sebab, pengertiannya serupa dengan konyol, tidak beres, bodoh. Bahkan, berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah itu dipakai sebagai kata makian.
)
Presiden Joko Widodo memberikan sambutan saat Penyerahan Sertifikat Tanah Untuk Rakyat di Lapangan Ahmad Yani, Jakarta, Selasa, 23 September 2018. (ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari)
Jokowi awalnya tak lugas menjelaskan ujaran sontoloyo itu. Namun, esok harinya dalam kesempatan lain di Tangerang Selatan, Jokowi memerinci maksud pernyataannya. Belakangan, katanya, banyak politikus gemar menggunakan cara-cara tak beradab, tak beretika, dan tak bertata krama dalam berpolitik. Dampaknya jelas, masyarakat diadu-domba dan publik dipecah-belah dan karenanya saling membenci.
"Kalau masih menggunakan cara-cara seperti itu, masih politik kebencian, politik SARA, politik pecah-belah, itu yang namanya tadi: politik sontoloyo," katanya.
Rupanya Jokowi belum selesai dengan kata-kata ejekannya. Dua pekan berikutnya, dalam kesempatan pembagian sertifikat tanah pula di Tegal, Kepala Negara memperkenalkan istilah baru: politik genderuwo.
Frasa baru itu sesungguhnya hanyalah gabungan kata politik dengan genderuwo, sesosok makhluk gaib serupa manusia yang tinggi besar dan berbulu tebal. Namun gabungan keduanya diartikan sebagai pernyataan-pernyataan elite politik yang seolah menutup mata dengan capaian-capaian pemerintah, malahan menebar pesimisme dan ketakutan pada masyarakat. "Itu sering saya sampaikan, itu namanya politik genderuwo; nakut-nakuti."
Ungkapan tak lazim Jokowi sebagai Kepala Negara itu pun segera menjadi tema baru polemik kubu lawan. Fadli Zon, wakil ketua umum Partai Gerindra, misal, bahkan menulis puisi yang ia beri judul Ada Genderuwo di Istana. "Ada genderuwo di istana, seram berewokan mukanya; kini sudah pandai berpolitik, lincah manuver strategi dan taktik," tulisnya.