SOROT 571

Manuver Senyap Wakil Rakyat

Pengesahan UU KPK di DPR
Sumber :
  • ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat

VIVA – Pagi itu, ruang rapat paripurna DPR terlihat lengang. Dari ratusan kursi yang berderet memanjang, hanya ada sekitar 80 anggota dewan. Meski demikian, sidang paripurna yang mengagendakan pengesahan sejumlah RUU penting, salah satunya revisi UU KPK ini tetap dilanjutkan. Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah yang memimpin sidang mengklaim, ada 289 anggota dewan yang sudah tanda tangan kehadiran.

Integritas Firli Bahuri dan Komitmen Penegakan Hukum Irjen Karyoto

Sesuai prediksi, rapat paripurna pengesahan revisi UU KPK yang digelar Selasa, 17 September 2019 itu pun berjalan mulus, lancar tanpa aral melintang.  Hanya ada sedikit interupsi dari beberapa fraksi yang menyoal pasal perihal Dewan Pengawas. Tepat jam 12.30 siang, palu pun diketuk sebagai penanda sahnya revisi UU KPK. Revisi yang diwarnai protes dan kecaman dari berbagai kalangan.

SIdang Paripurna pengesahan RUU KPK di gedung DPR RI.Rapat Paripurna pengesahan RUU KPK

Pembelaan KPK Usai Indeks Persepsi Korupsi RI Anjlok 4 Poin

Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo menilai, proses revisi hingga pengesahan yang hanya dilakukan beberapa hari itu mulus karena legislatif dan eksekutif memiliki kepentingan yang sama. “Ini ide parlemen yang disambut pemerintah,” ujarnya kepada VIVAnews, Kamis 19 September 2019.

Adnan mengatakan, ini bukan yang pertama. Sebelumnya DPR sudah beberapa kali mendorong revisi UU KPK. ICW mencatat, upaya revisi UU KPK sudah dilakukan sejak 2010. Namun, upaya tersebut gagal karena terjadi gelombang penolakan yang sangat keras. Tak putus asa, DPR kembali mendorong revisi UU KPK pada 2015. Upaya tersebut kembali menemui jalan buntu karena publik menentang rencana tersebut. 

KPK Periksa Keponakan Surya Paloh

“Kemudian mereka mencoba lagi di tahun 2017. Namun Presiden Jokowi tidak mau membahas dan menunda. Tapi kemudian di tahun 2019 Jokowi benar-benar memberikan jalan bagi parlemen untuk merevisi UU KPK.”

Sejak Zaman SBY

Revisi UU KPK sudah digaungkan sejak era Presiden Susio Bambang Yudhoyono. Upaya revisi pertama kali diwacanakan Komisi III DPR yang dipimpin politikus Partai Demokrat, Benny K Harman, pada 26 Oktober 2010. Pertengahan Desember 2010, DPR dan pemerintah menetapkan revisi UU KPK masuk dalam prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2011 sebagai usul inisiatif DPR. 

Namun, hingga akhir tahun 2011, DPR belum berhasil membahas revisi UU KPK. Menurut Adnan, sejak 2010 memang sudah ada diskusi-diskusi terkait revisi UU KPK. “Tim mereka sudah buat, tetapi tetap juga dilakukan secara diam-diam,” ujarnya.

Kemudian pada 2012, DPR bersama pemerintah kembali memasukkan revisi UU KPK dalam daftar RUU prioritas Prolegnas 2012. Kali ini, Komisi III mulai serius merumuskan draf revisi UU KPK. Namun, upaya tersebut menuai kritik dan protes keras dari publik. Pasalnya, Komisi III menyusun draf yang dianggap berpotensi melemahkan KPK. Beberapa poin yang dinilai akan melemahkan KPK, yakni penghilangan kewenangan penuntutan, adanya mekanisme penyadapan yang harus meminta izin ketua pengadilan negeri, serta dibentuknya dewan pengawas.

Presiden SBY akhirnya menolak rencana tersebut karena momennya dianggap tidak tepat, meski sebelumnya Partai Demokrat sempat mendukung revisi. Karena mendapat penolakan yang keras, Komisi III akhirnya angkat tangan. Komisi III menyerahkan sepenuhnya proses pembahasan ke Badan Legislasi DPR. Dan pada 17 Oktober 2012, semua fraksi yang ada di Baleg sepakat untuk menghentikan pembahasan revisi UU KPK. Sejak saat itu, pembahasan revisi UU KPK tidak dilanjutkan sampai akhirnya Jokowi terpilih sebagai Presiden.

Aksi Tolak Revisi UU KPKAksi menolak revisi UU KPK

DPR tak menyerah. Pada 2015 wacana revisi UU KPK muncul kembali. Bahkan sampai dua kali. Namun, pembahasannya ditunda. Upaya revisi di era Jokowi mulai mengemuka pada 23 Juni 2015. Sidang paripurna memasukkan revisi UU KPK dalam prioritas Prolegnas 2015 dan diamini semua fraksi. 

Pada 7 Oktober 2015, draf revisi mulai dibahas dalam rapat Baleg DPR. Draft revisi mengatur pembatasan usia institusi KPK hanya sampai 12 tahun, memangkas kewenangan penuntutan dan mengurangi kewenangan KPK dalam melakukan penyadapan. Selain itu, ada pasal yang mengatur pembatasan proses rekrutmen penyelidik dan penyidik secara mandiri hingga membatasi kasus korupsi yang bisa ditangani.

Namun, upaya itu kembali gagal. Rencana revisi ini mendapat penolakan yang keras dari publik, termasuk dari KPK. Pada 13 Oktober 2015, pemerintah dan DPR akhirnya sepakat menunda pembahasan revisi UU KPK hingga masa sidang selanjutnya. Kesepakatan ini tercapai setelah Presiden Jokowi dan pimpinan DPR menggelar rapat konsultasi. Namun, rapat konsultasi tersebut menyepakati sejumlah poin yang akan direvisi, yakni kewenangan menerbitkan SP3, pengaturan kembali kewenangan menyadap, keberadaan penyidik independen, dan pembentukan badan pengawas KPK.

Pada 27 November 2015, upaya merevisi UU KPK kembali berlanjut. Baleg DPR dan pemerintah sepakat revisi UU KPK menjadi inisiatif DPR. Pada 15 Desember 2015, rapat paripurna di DPR RI memutuskan untuk memasukkan RUU KPK dalam Prolegnas 2015. Keputusan tersebut dilakukan secara mendadak pada hari-hari akhir masa sidang anggota DPR RI, yang akan reses pada 18 Desember 2015. Namun, pembahasan tak selesai dilakukan. Kemudian, pada 26 Januari 2016, DPR kembali menyepakati revisi UU KPK masuk dalam prioritas Program Legislasi Nasional 2016.

Pada 1 Februari 2016, revisi UU KPK mulai dibahas dalam rapat harmonisasi Badan Legislasi di DPR RI. Draf yang dibahas memang hanya mencakup empat poin, yakni pemberian kewenangan kepada KPK untuk menerbitkan SP3, pengaturan kembali kewenangan menyadap, keberadaan penyidik independen, dan pembentukan badan pengawas KPK. Namun, upaya ini kembali ditentang. Pasalnya, empat poin tersebut dianggap dapat melemahkan KPK. Pimpinan DPR kembali melakukan rapat konsultasi dengan Jokowi. Pertemuan tersebut sepakat untuk kembali menunda revisi.

Aksi Tolak Revisi UU KPKAksi tolak revisi UU KPK

Adnan mengatakan, pada 2017 DPR sebenarnya mencoba untuk mendorong kembali revisi UU KPK. Mereka berusaha menggandeng kampus dengan melakukan sejumlah diskusi. Namun upaya tersebut tak berhasil karena kampus melihat ada agenda tersembunyi. “2017 hampir mendekati berhasil. Karena di situ ada Yasonna yang diam-diam ternyata bertemu dengan DPR guna membahas revisi UU KPK. Tapi kemudian distop oleh presiden.”

Senyap dan Kilat

Tahun ini DPR kembali mendorong revisi UU KPK. Berbeda dengan sebelum-sebelumnya, kali ini DPR menyusupkan agenda revisi secara diam-diam. DPR tiba-tiba mengagendakan rapat paripurna pada Kamis 5 September 2019 untuk membahas usulan Badan Legislasi terkait revisi UU KPK.

ICW menyatakan, proses legislasi terkait revisi UU KPK tersebut cacat formil. “Revisi UU KPK tidak masuk dalam Prolegnas prioritas 2019. Sehingga perencanaan dan pengesahan UU KPK harus dipertanyakan. Karena dalam UU nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, syarat untuk membahas suatu legislasi harus masuk dalam Prolegnas prioritas,” ujar peneliti ICW, Kurnia Ramadhana kepada VIVAnews, Kamis 19 September 2019.

Adnan menambahkan, selain sangat cepat pembahasan revisi UU KPK kali ini juga sangat tertutup dan tidak melibatkan stakeholder. “Kampus enggak dilibatkan, masyarakat sipil juga enggak dilibatkan. KPK sebagai pihak yang punya kepentingan langsung dengan revisi juga tidak dilibatkan,” ujarnya menjelaskan.

Rapat di Komisi III DPR. (Ilustrasi).Ilustrasi suasana rapat di Komisi III

Menurut Adnan, secara substansi pasal-pasal yang masuk dalam revisi UU KPK sama dengan draft yang disodorkan DPR sejak 2010 lalu. DPR hanya menambahkan, soal keharusan pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) termasuk penyelidik dan penyidik. “Mungkin gara-gara Wadah Pegawai itu akhirnya muncul ASN,” ujarnya.

Dalam sekejap, DPR menyelesaikan pembahasan dan mengesahkan revisi UU KPK. Hanya dalam hitungan hari revisi tersebut diamini DPR dan Presiden Jokowi. (umi)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya