Kuldesak PSSI

- Twitter/@PSSI
VIVA – "Cuma olahraga yang bisa menyatukan orang-orang dari ras berbeda. Namun, sepakbola punya tempat tersendiri di hati setiap orang, dan punya kekuatan istimewa karena popularitasnya," begitu ucapan Nelson Mandela, tokoh inspiratif Afrika Selatan.
Mandela memang sangat dekat dengan sepakbola. Baginya, sepakbola punya daya magis yang pengaruhnya sangat besar bagi kehidupan sosial. Ini bukan isapan jempol. Karena, dalam mayoritas kasus, semua terbukti benar.
Pun, di Indonesia. Karena sepakbola, semua bisa terjadi. Air mata bisa pecah, emosi membuncah, hingga ricuh karena urusan receh di sepakbola, berpotensi terjadi.
Bagi sebagian kalangan, sepakbola di Indonesia punya arti strategis bagi mereka. Terutama, jika bicara soal PSSI. Ya, PSSI. Seksi sekali memang organisasi yang satu ini. Begitu strategis jabatan-jabatan tertentu di PSSI.
Ketua Umum pastinya jadi kursi yang diperebutkan. Perang demi menduduki kursi PSSI 1 kerap terjadi. Imbasnya, stabilitas organisasi tak terjadi dalam kurun waktu hampir satu dekade terakhir.
Caketum PSSI
Segala macam kisruh di PSSI dimulai ketika Nurdin Halid memimpin. Sosoknya yang kontroversial, membuat banyak pihak gerah. Saat menjabat sebagai Ketua Umum PSSI, Nurdin kerap menjalankan roda organisasi dari jeruji besi, menyusul rentetan kasus korupsi yang menjeratnya.
Karena seringnya terjerat kasus korupsi, desakan Nurdin mundur dari kursi PSSI 1 deras mengalir, termasuk dari FIFA. Bahkan, FIFA sempat mengancam akan menjatuhkan sanksi kepada Indonesia jika Nurdin tetap duduk di kursi empuk Ketua Umum PSSI.
Tapi, Nurdin tak mau mundur. Malah, dia mengambil langkah lain dengan mengubah statuta PSSI, terkait status pejabat yang terlibat dalam kasus hukum. Setelah statuta diubah, secara arti, orang-orang yang terlibat dalam kasus hukum, selama belum dijatuhi status tersangka, boleh memimpin.
Parahnya, perubahan ini disetujui oleh voters. Nurdin aman di PSSI 1. Segala macam kontroversi kembali muncul, termasuk derasnya isu pengaturan skor.
Hingga akhirnya, demonstrasi besar-besaran muncul usai Piala AFF 2010. Nurdin dipaksa mundur oleh banyak pihak. Upaya publik berhasil, karena Nurdin tak lagi jadi Ketua Umum PSSI.
Tapi, masalah baru muncul. Djohar Arifin Husin, suksesor Nurdin, memunculkan gagasan yang kontroversial. Dia mengganti kompetisi Liga Super Indonesia dengan Liga Primer Indonesia.
Kemudian, terjadi gejolak. Dualisme kepemimpinan mengganggu PSSI. Otoritas sepakbola nasional akhirnya sakit hingga hampir tiga tahun lamanya.
Setelah masalah dualisme selesai, La Nyalla Mattalitti naik sebagai Ketua Umum PSSI pada Kongres di Surabaya, 17 Maret 2015. Tapi, masa kepemimpinan La Nyalla sudah dijegal oleh pemerintah.
Baru sehari duduk di kursi empuk PSSI 1, Menteri Pemuda dan Olahraga saat itu, Imam Nahrawi, menjatuhkan sanksi pembekuan. Kondisi menjadi gaduh. FIFA menjatuhkan sanksi kepada PSSI, membuat sepakbola Indonesia dikucilkan dari pergaulan internasional.
Kondisi ini berlarut. Setahun setelah sanksi dijatuhkan, La Nyalla mundur, dan sanksi dari FIFA dicabut, menyusul pemerintah berhenti melakukan intervensi.