Produk Delapan Tahun

- VIVAnews/Anhar Rizki Affandi
”Karena dia datang, mengajukan sertifikasi, kami layani. Karena sifatnya sukarela dan MUI juga melayani,” ujarnya.
Polemik mengemuka setelah jilbab Zoya mengiklankan produknya telah bersertifikat halal MUI. Sebab, selama ini publik beranggapan hanya makanan dan minuman yang perlu jaminan kehalalan.
Namun, MUI bisa memahami tudingan demi tudingan miring yang dialamatkan ke Zoya ataupun lembaganya. Karena, sosialisasi mengenai apa saja yang perlu dijamin halal belum optimal. Lukman bahkan mengapresiasi terobosan Zoya sebagai bagian dari edukasi publik.
”Kami secara terpisah mengapresiasi promosi yang bernilai edukasi yang dilakukan Zoya, pada konteks itu," tuturnya.
Meskipun, pada konteks lain, Zoya belum bersertifikat halal. Hanya materi promosi atau edukasinya kurang tepat. "Jadi, pada konteks edukasi kami mengapresiasi, ada hal yang positif,” ujarnya.
Polemik yang mengemuka berikutnya adalah soal kewenangan MUI. Sebab, berdasarkan undang-undang yang baru, sertifikat halal tidak lagi dikeluarkan oleh MUI, tetapi sebuah badan baru di bawah Kementerian Agama, yakni Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal.
Lembaga baru itu kini dalam proses pembentukan. Nah, selama badan itu belum resmi berdiri dan beroperasi, maka sertifikasi produk halal masih merupakan kewenangan MUI.
Menurut Ledia Hanifa Amalia, pada dasarnya, seluruh barang dan atau jasa yang dikonsumsi umat Islam harus terjamin halal. Namun, saat pembahasan RUU itu, mereka menganggap, prioritasnya adalah lingkup jaminan produk halal itu pada produk yang dikonsumsi langsung dan masuk ke dalam tubuh.
“Pada dasarnya kami tidak diperkenankan menggunakan barang haram,” ujar ketua Panja RUU Jaminan Produk Halal itu kepada VIVA.co.id.
Wakil Ketua Komisi VIII DPR, Ledia Hanifa Amalia, mengatakan, seluruh barang dan atau jasa yang dikonsumsi umat Islam harus terjamin halal.