SOROT 392

Kembali ke Desa

Desa Penglipuran tiap harinya selalu dibanjiri wisatawan.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Bobby Andalan

VIVA.co.id – Hujan baru saja reda.  Namun, puluhan orang sudah tampak berkerumun di tanah lapang. Di tengah-tengah mereka, belasan anak-anak terlihat sedang memainkan Tari Barong.

Anak-anak usia belasan ini terus bergerak dan menari. Sementara itu, yang lain memainkan musik, menabuh gamelan mengiringi tarian.

Sore itu, Desa Penglipuran terlihat ramai. Selain menonton Tari Barong, wisatawan yang mengunjungi salah satu desa wisata di Bali ini juga sibuk berbelanja pernak pernik yang dijual warga.

Beragam barang hasil kerajinan tangan dijajakan warga desa. Hampir semua rumah menjual barang-barang kerajinan mulai dari kaus, kain khas bali, gelang, kalung hingga mainan tradisional.

Tak hanya itu, warga juga menjajakan Loloh Cemcem, minuman tradisional khas desa yang terletak di Banjar Penglipuran, Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli, Provinsi Bali itu.

Warga Desa Penglipuran, Ni Nengah Kariyasa mengatakan, tiap hari desanya selalu dibanjiri wisatawan. “Banyak sekali. Tiap hari ada yang berkunjung, baik itu wisatawan domestik maupun mancanegara. Ramai terus lah,” ujarnya saat VIVA.co.id berkunjung ke desanya, Kamis, 14 April 2016.

Ia menuturkan, banyak wisatawan yang datang untuk melihat keindahan dan kebersihan desanya. “Wisatawan mau melihat keindahan desa kami. Kebersihannya juga. Adat istiadat dan budayanya juga,” dia menambahkan.

Menurut dia, sejak desanya ditetapkan sebagai desa wisata, warga mendapat banyak keuntungan. Warga bisa memetik laba dari penjualan barang-barang kerajinan maupun dari hasil menyewakan rumah untuk pengunjung yang bermalam. “Banyak keuntungannya. Kami bisa mendapat keuntungan dari wisatawan yang berkunjung. Dari jualan kerajinan dan yang lain.”

Selanjutnya...Berawal dari Kebersihan

Berawal dari Kebersihan
Ketua Pengelola Desa Wisata Penglipuran, I Nengah Moneng menuturkan, desanya sudah lama menjadi desa wisata. “Sudah sejak dulu desa kami menjadi desa wisata dan dikunjungi banyak wisatawan,” ujarnya kepada VIVA.co.id, Kamis, 14 April 2016.

Menurut dia, syarat untuk menjadi desa wisata tak sulit, yakni hanya merawat kebersihan lingkungan dan menjaga budaya dengan mengimplementasikan konsep Tri Hita Karana atau hubungan manusia dengan manusia, alam dan Tuhan. “Kalau desa kami tentu kebersihan, adat budaya,” dia menambahkan.

Berkat ketelatenan dan keseriusan warga menjaga kebersihan, desa ini mendapat penghargaan sebagai salah satu dari tiga desa terbersih di dunia. “Kami menjual kebersihan desa, adat, tradisi, dan budaya yang masih terjaga hingga kini, meski sudah sejak ratusan tahun ada. Kami menjaga konsep pembangunan ala Bali,” ujarnya bangga.

Ia menyambut baik rencana Kementerian Pariwisata yang akan kembali menggalakkan keberadaan desa wisata. “Ya, itu bagus. Agar pariwisata tak melulu terpusat di sentra-sentra industri pariwisata,” ujarnya.

Ia berharap, dengan program itu akan ada dukungan penuh bagi masyarakat untuk mengembangkan ekonomi kreatif. “Apalagi di Bali ini sebetulnya banyak sekali desa yang bisa dikembangkan menjadi desa wisata. Ekonomi masyarakatnya hidup, adat budayanya terjaga dan mampu memberi sumbangsih nyata kepada pemerintah. Selain itu kondisi lingkungan juga terjaga,” kata dia.

Menurut dia, yang terpenting adalah konsistensi dan keseriusan. “Kalau sudah mencanangkan, ya lakukan dengan serius. Keseriusan ditunjukkan dengan apa, misalnya dengan penyiapan SDM dan infrastruktur yang baik bagi sebuah desa yang masuk kategori desa wisata. Sudah itu dukung desa tersebut untuk promosinya,” ujarnya berharap.

Ia yakin, program desa wisata akan mampu mendongkrak jumlah wisatawan yang akan datang, baik wisatawan lokal maupun dari mancanegara.

Menurut dia, turis dari berbagai negara memiliki tujuan kunjungan berbeda ketika berlibur. Ia mengatakan, di Bali banyak sekali destinasi wisata. Namun, desanya tetap menjadi salah satu tujuan favorit bagi hampir sebagian wisatawan.

“Wisatawan itu ada yang ingin melihat pantai, alam, budaya, dan lain sebagainya. Tinggal turis mana yang disasar untuk mengunjungi desa wisata ini,” tuturnya.

Senada dengan Ni Nengah Kariyasa, I Nengah Moneng juga mengatakan, desanya selalu ramai dikunjungi wisatawan. “Setiap harinya banyak wisatawan yang berkunjung dari daerah dan negara lain. Bahkan, ada beberapa yang menginap di sini. Ingin merasakan sensasi menginap di sini,” katanya bangga.

Menurut dia, keuntungan tak hanya dinikmati oleh warga. Pemerintah juga ikut merasakan manisnya desa wisata. “Kami juga memberi sumbangsih berarti bagi pemerintah. Misalnya retribusi dari parkir, itu kami bagi hasil dengan pemerintah. 60 persen buat kami, 40 persen buat pemerintah.”

Salah seorang pengunjung, Takbir Ambia Ramadhan mengaku senang bisa berkunjung ke Desa Wisata Penglipuran. Menurut dia, desanya sejuk, bersih, nyaris tidak ada sampah sama sekali. Warga desanya juga ramah.

“Bagus. Kalau dibanyakin desa wisata seperti Penglipuran ini bagus. Misalnya di daerah saya, banyak desa potensial yang bisa dijadikan seperti ini,” ujar wisatawan asal Bogor ini kepada VIVA.co.id, Kamis, 14 April 2016.

Menurut dia, pemerintah harus serius jika akan menggalakkan desa wisata untuk mendongkrak kunjungan wisatawan. “Jangan sekadar mencanangkan, tapi dukung dengan sungguh-sungguh sampai suatu desa bisa mandiri jadi desa wisata,” ujarnya berharap.

Ia yakin, jika pemerintah serius, desa wisata akan mampu meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan. “Buktinya saya jauh-jauh ke Bali mampir ke sini untuk melihat lebih dekat. Kalau di daerah lain ada, misalnya di daerah saya di Bogor, pasti banyak pengunjungnya. Bisa menambah jumlah wisatawan,” tuturnya.

Ia menuturkan, desa wisata memiliki kelebihan lain yang tak dimiliki destinasi wisata lain. “Kelebihannya, kita tidak sekadar berlibur, tapi dapat manfaat dari keberadaan desa wisata.”

Untuk itu, ia berharap, desa wisata bisa dipromosikan lebih baik. “Kalau kita di Indonesia ini tidak kalah dengan negara lain. Semua ada di Indonesia. Apa yang tidak ada. Tinggal disosialisasikan, dirawat dan didukung semua pihak, terutama pemerintah.”

Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Desa (BPMPD) Pemprov Bali, I Ketut Lihadnyana mengatakan, program desa wisata merupakan bagian dari upaya mengurangi kesenjangan desa. Meski demikian, tak semua desa cocok dijadikan desa wisata.

“Kita harus memotret desa sesuai potensinya, apakah cocok untuk pengembangan desa wisata atau tidak. Apakah dia hanya desa yang mengembangkan destinasi atau sekaligus akomodasi seperti Desa Penglipuran,” ujarnya kepada VIVA.co.id, Jumat, 15 April 2016.

Menurut dia, ada dua kriteria untuk bisa menjadi desa wisata. Pertama, dia muncul secara alamiah atau memang hasil desain. “Misal kawasan pedesaan di Jatiluwih, Tabanan, itu kan tercipta secara alamiah. Tinggal manajemennya saja ditata,” dia menambahkan.

Ada sejumlah hal yang bisa dijual dari desa wisata. Salah satunya atraksi budaya yang ada di desa setempat. “Misalnya agro tourism. Ajak wisatawan menanam padi sesuai kebiasaan, cara dan budaya desa setempat.”

Menurut Asosiasi Desa Wisata ada 180 desa wisata yang tersebar di Bali. Namun, menurut data Dinas Pariwisata ada 58 desa wisata yang sudah berjalan dan mandiri.

Selanjutnya...Bertumpu pada Kerajinan

Menata Desa Wisata

Bertumpu pada kerajinan
Tak hanya Pulau Dewata, Daerah Istimewa Yogyakarta juga mendapat berkah dari keberadaan desa wisata. Bupati Bantul, Suharsono mengatakan, desa wisata terbukti efektif untuk mendongkrak perekonomian masyarakat dan kunjungan wisatawan. Kondisi ini terjadi di Kabupaten Bantul, Yogyakarta yang telah memiliki 36 desa wisata.

Menurut Suharsono, di wilayahnya, program desa wisata sudah dimulai sejak 2006. Pembentukan desa wisata diawali dengan pelatihan dan pembentukan kelompok sadar wisata.

Desa-desa Wisata di Indonesia

"Pelatihan bisa bermacam-macam, disesuaikan dengan kekhasan masing-masing desa wisata. Seperti batik, dengan memberikan pelatihan membatik, desa wisata kulit memberikan pelatihan memahat dan lain-lainnya," katanya kepada VIVA.co.id, Kamis, 14 April 2016.

http://media.viva.co.id/thumbs2/2016/04/15/5710e399aa964-desa-wisata-giriloyo-desa-batik-tulis_663_382.jpg

Mengejar Aneka Diskon di Wisata Belanja Malam

Batik tulis Giriloyo dihargai mulai dari Rp 500 ribu hingga Rp 2 juta.

Ia mencontohkan Desa Wisata Giriloyo yang secara administratif masuk wilayah Desa Wukirsari yang menjadi desa wisata batik tulis sejak 2009. "Saat ini, semakin banyak desa yang diusulkan menjadi desa wisata. Desa wisata itu tidak terkait administratif karena dalam satu desa administratif ada tiga hingga lima desa wisata.”

Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Pemkab Bantul, Bambang Legowo mengatakan, kunjungan wisatawan di Kabupaten Bantul pada 2015 tercatat di sejumlah objek wisata mencapai 12,5 juta. Sementara itu, yang berkunjung ke desa wisata mencapai 2,3 juta wisatawan.

Menurut dia, ke depan, desa wisata tidak akan kalah dengan objek wisata yang sudah lazim dikunjungi. Sebab, wisatawan akan mencari sesuatu yang berbeda dan ingin merasakan hal yang berbeda seperti berlatih membatik, membajak sawah, memetik buah secara langsung serta melihat kehidupan sehari-hari masyarakat desa.

"Orang bule itu kalau datang ke desa ingin melihat orang membajak sawah dengan sapi atau kerbau. Ingin mendengarkan gending Jawa. Istilahnya ingin kembali ke masa yang lalu," ujarnya kepada VIVA.co.id, Kamis, 14 April 2016.

Bambang mengatakan, guna mendukung perkembangan desa wisata, pihaknya selalu memberikan pendampingan dan pelatihan kepada warga di desa wisata. Materi pelatihan disesuaikan dengan kebutuhan warga.

"Kami itu sifatnya pendampingan pembinaan, bukan menggelontorkan uang secara tunai karena memang tidak bisa. Jika ada anggaran untuk perbaikan fasilitas penunjang dan itu dilakukan oleh dinas lainnya," dia menjelaskan.

Ketua Paguyuban Kerajinan Batik Giriloyo, Desa Wukirsari, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Isnaini Muchtarom mengatakan, keberadaan Desa Wisata Giriloyo yang sudah ada sejak 2009 sangat dirasakan manfaatnya bagi masyarakat.

"Dulu masyarakat menganggur, kini bisa bekerja di sentra-sentra kerajinan batik tulis, bekerja sebagai pemandu wisata, pelatih membatik dan buka toko, warung makan juga mulai tumbuh dan ramai," ujarnya kepada VIVA.co.id, Kamis, 14 April 2016.

Ia menjelaskan, banyak wisatawan yang berkunjung ke desanya. Keuntungannya, home stay milik warga jadi laris manis dipesan wisatawan. Warga juga mendapat keuntungan dari penjualan batik dan kerajinan tangan.

"Yang jelas secara perekonomian sudah terangkat dengan banyaknya tamu yang berkunjung.” (art)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya