Impor Pangan Strategis Masih Dikuasai Segelintir Negara

- vstory
VIVA – Lembaga Riset Institute For Demographic and Poverty Studies (IDEAS) menyoroti besarnya risiko yang akan dihadapi pemerintah karena ketergantungannya kepada pasar pangan global, yaitu ketika sumber impor pangan strategis hanya bergantung pada segelintir negara saja.
Dengan kata lain, ketahanan pangan nasional bersandar pada pijakan rapuh politik pangan beberapa negara.
Sebagai contoh, pada 2021, dari 2,5 juta ton kedelai impor, 87 persen-nya hanya berasal dari Amerika Serikat saja. Padahal lebih dari 91 persen kebutuhan kedelai nasional harus dipenuhi oleh impor. Di tahun yang sama, dari 11,2 juta ton gandum impor, 84 persen-nya berasal dari 3 negara saja.
Pada tahun yang sama, dari 11,2 juta ton gandum impor, 84 persen-nya berasal dari 3 negara saja, yaitu Australia, Ukraina dan Kanada. Padahal kebutuhan gandum nasional sepenuhnya bergantung pada impor karena Indonesia tidak memproduksi gandum sama sekali.
Kasus lebih ekstrem terjadi pada bawang putih, di mana lebih dari 93 persen kebutuhan nasional harus dipenuhi oleh impor namun seluruh impor hanya bersumber dari satu negara, yaitu Tiongkok.
Selain sumbernya yang bergantung kepada beberapa negara saja, risiko besar juga datang dari fluktuasi harga dan ketersediaan pasokannya. Hal tersebut diperparah oleh politik proteksionisme pangan yang diterapkan puluhan negara sebagai respon dari krisis pangan global yang disebabkan oleh perubahan iklim dan konfilk Rusia-Ukraina.
Demi mengamankan pasokan pangan domestik, puluhan negara telah melakukan kebijakan ekstrim dengan melarang ekspor pangan. Bila diawal tahun hanya 3 negara yang melakukan politik proteksionisme pangan, jumlah itu kini melonjak mencapai 24 negara.