Pengangguran Lulusan SMK Masih Tinggi, Mengapa?
- vstory
VIVA – Tingkat pendidikan merupakan salah satu indikator yang dapat mencerminkan kualitas tenaga kerja. Idealnya, semakin tinggi tingkat pendidikan semakin meningkat pula kecakapan dan produktivitas tenaga kerja di bidang yang digelutinya. Berbagai jenis pendidikan baik formal maupun informal disusun dan disiapkan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja dengan spesifikasi kemampuan tertentu, salah satunya melalui Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).
Lulusan SMK diharapkan mampu bersaing di dunia kerja dan memiliki kecakapan standar yang langsung dapat diaplikasikan. Berbagai sarana penunjang dan program diramu sedemikian rupa dalam rangka memajukan pendidikan kejuruan di Indonesia, salah satunya tercermin melalui slogan “SMK Bisa”.
Lalu bagaimana output tenaga kerja SMK di Indonesia? Data BPS bersumber dari hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) menunjukkan persentase penduduk bekerja dengan tingkat pendidikan SMK mengalami penurunan dalam tiga tahun terakhir.
Pada Februari 2021 angkanya sebesar 12,33 persen menurun menjadi 11,95 persen pada 2022 kemudian turun lagi menjadi 11,31 persen pada Februari 2023. Penurunan ini dapat dihubungkan dengan dua skenario. Pertama berhubungan dengan peningkatan pendidikan penduduk yang bekerja. Asumsinya, penduduk bekerja lulusan diploma dan sarjana meningkat sehingga menekan angka persentase penduduk bekerja lulusan SMK. Di sisi lain, skenario kedua berhubungan dengan peningkatan pengangguran pada lulusan SMK.
Data pada Februari 2023 ternyata lebih mengarahkan kesimpulan kita pada skenario kedua. Tingkat pengangguran terbuka (TPT) tamatan Sekolah Menengah Kejuruan masih yang tertinggi dibandingkan tamatan jenjang pendidikan lainnya, yaitu sebesar 9,60 persen. Angka ini jauh melampaui TPT pendidikan SD ke bawah yang hanya sebesar 3,02 persen. Kondisi ini menjadi pertanyaan besar, apakah kini pendidikan dan pekerjaan tidak lagi terkorelasi? Jawabannya tentu tidak mutlak pada “ya” atau “tidak”. Pekerjaan tidak selalu berhubungan hanya dengan status memiliki kerja atau sebatas memiliki kegiatan untuk memperoleh penghasilan. Kesejahteraan juga tidak dapat dicapai hanya dengan memiliki pekerjaan. Jenis pekerjaan dan besaran balas jasa yang diterima juga sangat memengaruhi tingkat kesejahteraan tenaga kerja.
Meskipun tren yang terjadi menunjukkan pengangguran pada lulusan SMK konsisten memiliki angka terbesar setiap tahun, kondisi ini tentu tidak serta merta mewakili kegagalan pendidikan kejuruan mengarahkan lulusannya memperoleh pekerjaan. Setidaknya ada tiga pendekatan alasan yang menjelaskan bertahannya pengangguran lulusan SMK berada pada peringkat teratas.
Pertama, keinginan mendapatkan pekerjaan di bidang dan dengan gaji yang sesuai dengan kualifikasinya. Setiap orang memiliki pertimbangan tersendiri sebelum memutuskan tempat kerjanya. Salah satu pertimbangan utamanya tentu berkaitan dengan bidang pekerjaan dan gaji yang ditawarkan oleh masing-masing lapangan kerja. Ketidakcocokan antara penawaran dan permintaan ini pada akhirnya berimbas pada tidak terserapnya lulusan SMK di pasar tenaga kerja.
Kedua, keinginan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Tidak sedikit lulusan SMK yang merencanakan pendidikan lanjutan ke jenjang diploma hingga sarjana. Namun keinginan ini terkadang terkendala oleh sistem materi ujian perguruan tinggi yang lebih disiapkan untuk lulusan Sekolah Menengah Atas. Karena alasan ini, tidak jarang lulusan SMK harus bekerja ekstra dan mengambil gap year dalam rangka mempersiapkan diri mengikuti ujian seleksi masuk Perguruan Tinggi. Kondisi tersebut juga dilatarbelakangi oleh peningkatan upah buruh seiring dengan semakin tingginya tingkat pendidikan pekerja. Pada Februari 2023, rata-rata upah buruh tertinggi adalah pada lulusan Universitas sebesar 4,46 juta rupiah, disusul lulusan Diploma 3,73 juta rupiah, dan lulusan SMK sebesar 2,93 juta rupiah. Sementara itu, lulusan SMA memperoleh rata-rata upah sebesar 2,79 juta rupiah, lulusan SMP sebesar 2,24 juta rupiah, dan lulusan SD memperoleh rata-rata upah terendah sebesar 1,9 juta rupiah.
Kemungkinan ketiga adalah sedang mempersiapkan usaha sendiri. Data juga menunjukkan banyaknya anak muda yang memilih untuk berwirausaha. Pemuda yang berusaha sendiri mendominasi status kewirausahaan pemuda sebesar 69,3 persen pada 2022. Pemuda dengan status bekerja sendiri paling banyak ditemui pada sektor jasa (75,55%) diikuti sektor manufaktur (67,51 persen). Persiapan menjadi wirausaha ini dapat dilakukan dalam bentuk mengikuti pelatihan kewirausahaan atau membangun rencana bisnis.
Ditinjau dari sisi usia, pengangguran ternyata memang lebih banyak terjadi pada tenaga kerja usia muda (15-24 tahun). Kelompok usia ini didominasi penduduk baru lulus dan masih mencari pekerjaan yang sesuai. Pada 2023, TPT usia muda di perkotaan sebesar 19,17 persen lebih tinggi dari angka di perdesaan yang hanya sebesar 13,25 persen. Kontribusi pengangguran usia muda terhadap total penganggur juga sangat besar, mencapai 44,07 persen. Besarnya angka ini mewakili fluktuasi pada proses pencarian kerja penduduk usia muda. Pengalaman dan tanggung jawab yang masih terbatas mendukung kategori lulusan muda untuk mengeksplor berbagai lapangan pekerjaan yang cocok dengan kebutuhan dan keinginannya.
Pengangguran memang selalu berhubungan dengan ketidakberhasilan bertemunya penawaran dan permintaan tenaga kerja. Namun alasan ketidakcocokan tersebut tidak selalu disebabkan oleh rendahnya kualitas tenaga kerja atau kegagalan program pendidikan dalam menghasilkan lulusan yang cakap. Kondisi ini rupanya dapat juga berhubungan dengan rencana dan pilihan lain dari lulusan, termasuk lulusan Sekolah Menengah Kejuruan.
Ke depannya, kajian dan langkah strategis dalam rangka meningkatkan penyerapan tenaga kerja lulusan SMK ke lapangan kerja perlu dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai aspek yang terkait. Pemerintah juga perlu meningkatkan kualitas pendidikan SMK dan membekali lulusannya dengan keterampilan yang lebih mumpuni agar mampu menjawab tantangan persaingan di era global. Selain itu, penciptaan lapangan kerja yang beragam dan sesuai keterampilan lulusan juga perlu diupayakan guna mendukung bonus demografi di Indonesia.