Oleh Dr. DARYONO

Mencemaskan Gempa Megathrust

Kepala Bidang Mitigasi Gempabumi dan Tsunami BMKG, Dr. Daryono.
Sumber :
  • Dr. Daryono.

VIVA – Dalam beberapa tahun terakhir, istilah gempa megathrust menjadi sangat populer di tengah-tengah masyarakat kita. Hal ini tentunya tidak lepas dari peran media yang mulai sering memberitakan pernyataan para ahli yang mengemukakan potensi gempa megathrust yang dapat memicu gempa kuat dan berpotensi tsunami.

Pemkab Garut Berlakukan Tanggap Darurat Bencana Gempa Bumi Selama 14 Hari

Sebenarnya istilah megathrust sudah muncul dan dikenal publik sejak pasca Gempa Aceh 26 Desember 2004 berkekuatan magnitudo 9,2. Saat itu para ahli kebumian menyebutkan bahwa gempa dahsyat yang memicu megatsunami tersebut dipicu oleh aktivitas gempa di zona megathrust.

Istilah megathrust kemudian makin populer setelah pakar gempa menyampaikan pendapatnya mengenai adanya potensi gempa besar megathrust pada segmen Mentawai-Pagai sebesar magnitudo 8,9. Masyarakat Sumatera Barat saat itu beberapa kali sempat dibuat resah, tetapi tidak lama kemudian situasi kembali kondusif.

BPBD DKI Ungkap 3 Sumber Ancaman Gempa di Jakarta

Gaduh mengenai potensi gempa megathrust juga pernah mengemuka pasca diselenggarakan seminar di Kantor BMKG Jakarta pada 28 Februari 2018. Seminar yang bertema "Gempabumi Megathrust Magnitudo 8.7, Siapkah Jakarta?" ini malah membuat masyarakat Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Banten resah.

Tema seminar sebenarnya tidak salah, karena merujuk hasil kajian yang menyebutkan zona megathrust selatan Jawa Barat dan Banten berpotensi memicu gempa dengan magnitudo 8,7.

Jumlah Rumah Rusak Akibat Gempa Garut Bertambah Jadi 110

Sumber gempa megathrust.
Foto: Sumber gempa megathrust

Pesan dari informasi potensi gempa megathrust sebenarnya mengangkat pentingnya upaya mitigasi gempa bumi dan tsunami. Tingginya potensi gempa dan tsunami di zona megathrust harus kita hadapi bersama karena kita sendiri yang memilih tinggal dan menumpang hidup di pertemuan batas lempeng tektonik.

Lalu, apakah dengan kita mengetahui wilayah kita dekat dengan sumber gempa zona megathrust lantas kita cemas dan takut? Tentu saja tidak perlu cemas dan takut.

Semua informasi potensi gempa dan tsunami harus direspon dengan langkah nyata dengan cara memperkuat mitigasi. Tingginya risiko bencana di wilayah pertemuan batas lempeng dapat kita tekan sekecil mungkin dengan upaya mitigasi. Kita harus bersungguh-sungguh merealisasikan bagunan tahan gempabumi.

Kita harus melakukan penataan ruang pantai yang aman tsunami, selanjutnya memastikan semua masyarakat pesisir memahami konsep evakuasi mendiri, dengan menjadikan gempa kuat dipantai sebagai peringatan dini tsunami. Selain itu, masyarakat harus memahami bagaimana cara selamat saat terjadi gempabumi dan tsunami.

Dengan mewujudkan semua langkah mitigasi tersebut, maka kita dapat menekan risiko bencana sekecil mungkin, sehingga kita akan tetap dapat hidup dengan aman dan nyaman di daerah rawan gempa dan tsunami.

Peristiwa gempa bumi dan tsunami adalah keniscayaan di wilayah Indonesia, yang penting dan harus dibangun adalah mitigasinya, kesiapsiagaannya, kapasitas stakeholder dan masyarakatnya, maupun infrastruktur untuk menghadapi gempabumi dan tsunami yang mungkin terjadi.

Pada kenyataannya, informasi potensi gempa megathrust malah memicu salah pengertian (misleading). Masyarakat ternyata justru lebih tertarik untuk membahas potensi kekuatan gempa besarnya daripada pesan penting mitigasinya.

Informasi potensi gempa megathrust akhirnya terus bergulir menjadi berita meresahkan. Berita bohong atau hoax ikut berkembang, seolah dalam waktu dekat akan terjadi gempa dahsyat di zona megathrust dan memicu tsunami.

Sering gaduhnya mengenai gempa megathrust menjadikan para ahli memiliki tanda tanya besar. Apakah masyarakat kita sudah benar dalam memaknai arti gempa megathrust?

Ternyata, masyarakat kita masih banyak yang belum tepat dalam memaknai megathrust dengan benar. Megathrust seolah seperti sesuatu yang baru, seolah akan terjadi gempa kuat dalam waktu dekat, berkekuatan sangat besar, dan menimbulkan kerusakan dahsyat. Pemahaman semacam ini tentu saja kurang tepat dan harus diluruskan.
 
Zona megathrust sebenarnya sekadar istilah untuk menyebutkan sumber gempa di zona tumbukan lempeng. Dalam hal ini, lempeng samudra yang menunjam ke bawah lempeng benua yang dapat memicu terjadinya gempa kuat.

Jika terjadi gempa, maka bagian lempeng benua yang berada di atas lempeng samudra akan terdorong dan bergerak naik (thrusting). Jalur subduksi lempeng umumnya sangat panjang dengan kedalaman yang mencakup seluruh bidang kontak antar lempeng. Tidak salah jika zona subduksi lempeng ini diasumsikan sebagai sebuah “patahan naik yang besar”, yang populer disebut sebagai zona megathrust.

Zona sumber gempa megathrust sebenarnya sudah ada sejak jutaan tahun lalu saat terbentuknya rangkaian busur kepulauan Nusantara. Zona megathrust terdapat di beberapa zona subduksi aktif, seperti: (1) zona subduksi Sunda yang mencakup barat Sumatera, selatan Pulau Jawa, Bali, Lombok, Sumba, dan Flores, (2) zona subduksi Banda dan Seram, (3) zona subduksi Lempeng Laut Maluku, (4) zona subduksi Utara Sulawesi, dan (5) zona subduksi Utara Papua.

Dalam buku “Peta Sumber Gempa dan Bahaya Gempa Indonesia” yang disusun Pusat Studi Gempa Nasional – PusGen (2017), disebutkan banyak wilayah Indonesia yang memiliki potensi gempa besar.

Berikut ini adalah potensi gempa besar dan nama sumber gempa megathrust: M=9,2 (Aceh-Andaman), M=8,9 (Mentawai-Pagai, Mentawai Siberut), M=8,7 (Jatim. Jateng-Jabar, Selat Sunda, Nias-Simeulue, Papua), M=8,5 (Sumba, Sulawesi Utara), M=8,4 (Enggano), M=8,2 (Filipina-Halmahera).

Potensi magnitudo gempa megathrust sebaiknya disosialisasikan kepada seluruh lapisan masyarakat. Hasil kajian tersebut sudah menjadi standar nasional, sehingga masyarakat berhak tahu. Kita harus membuat masyarakat tidak awam dengan potensi dan sumber gempa di daerahnya supaya mampu merencanakan mitigasinya.

Jika masyarakat kita paham dan mengerti, maka tidak ada lagi yang “kagetan” kemudian panik saat pakar menginformasikan potensi gempa dan tsunami.

Seluruh aktivitas gempa yang bersumber di zona megathrust dapat disebut sebagai gempa megathrust. Gempa megathrust tidak selalu berkekuatan besar. Sebagai sumber gempa, zona megathrust dapat membangkitkan gempa dalam berbagai variasi magnitudo dan kedalaman. Data menunjukkan, justru “gempa kecil” yang tidak berpotensi merusak lebih sering terjadi. Namun demikian, zona megathrust juga berpotensi membangkitkan gempa kuat.
 
Meskipun kajian ilmiah mampu menentukan potensi magnitudo maksimum gempa megathrust, akan tetapi hingga saat ini teknologi belum mampu memprediksi dengan tepat dan akurat kapan dan dimana gempa akan terjadi. Maka dalam ketidakpastian ini, yang perlu dilakukan adalah upaya mitigasi dengan menyiapkan langkah-langkah kongkrit untuk meminimalkan risiko kerugian sosial ekonomi dan korban jiwa seandainya gempa benar terjadi.

“Eforia” megathrust sebaiknya secara perlahan-lahan diakhiri, karena sumber gempa ini tampaknya sudah “didewakan” oleh masyarakat. Seolah-olah megathrust sebagai satu-satunya sumber gempa yang patut ditakuti dan diwaspadai. Padahal tidak demikian, sumber gempa lain yang bersumber dari sesar aktif juga seharusnya lebih diwaspadai karena keberadaanya yang berdekatan dengan tempat tinggal kita. Sementara sumber gempa megathrust lokasinya malah lebih jauh di tengah lautan.

Sumber gempa megathrust.

Foto: Sumber gempa sesar aktif

Ditinjau dari frekuensi kejadian gempa merusak, maka sumber gempa sesar aktif lebih sering terjadi dan menimbulkan kerusakan dan korban jiwa daripada sumber gempa megathrust yang sebenarnya lebih jarang terjadi. Buku Pusgen (2017) menyebutkan sumber gempa segmen megathrust berjumlah 16 segmen, sementara jumlah segmen sesar aktif kita mencapai lebih dari 295 sesar aktif.

Beberapa gempa yang berpusat di darat seperti gempa Yogyakarta 2006, gempa Pidie Jaya 2016, gempa Lombok dan gempa Palu 2018, terbukti menimbulkan kerusakan yang hebat. Gempa tersebut menelan banyak korban jiwa dan menimbulkan kerugian sangat besar.
Gempa tersebut dipicu oleh sumber gempa sesar aktif, bukan dari sumber gempa megathrust. Untuk itu marilah kita bersikap adil dalam menilai sumber gempa, bahwa ancaman sumber gempa sesar aktif ternyata tidak kalah jika dibandingkan dengan sumber gempa megathrust.

Masih timbulnya salah pengertian mengenai sumber gempa megathrust di masyarakat merupakan bukti bahwa masih ada kesenjangan dalam komunikasi sains. Para ahli tampaknya masih memiliki setumpuk pekerjaan rumah dalam membangun literasi mitigasi bencana gempa bumi dan tsunami di masyarakat.

Memahami Kateristik Gempa Pandahuluan

Hasil monitoring BMKG menunjuk bahwa awal Agustus 2019, telah terjadi rentetan aktivitas gempa bumi di Busur Subduksi Sunda. Aktivitas gempa signifikan ini tersebar dari Segmen Megathrust Mentawai-Siberut hingga Segmen Megathrust Sumba.

Diawali dengan peristiwa gempa kuat dan merusak di Banten berkekuatan magnitudo 6,9 pada 2 Agustus 2019 lalu. Hari ini saja (Senin 12 Agustus 2019) sudah dua kali wilayah selatan Bali dan Banyuwangi diguncang gempa berkekuatan magnitudo 4,9. Sejak awal Agustus 2019, tercatat di Busur Subduksi Sunda sudah lebih dari delapan kali gempa sigifikan.

1. Pada 2 Agustus 2019, gempa selatan Banten M 6,9.

2. Pada 3 Agustus 2019, gempa Sukabumi M 4,4.

3. Pada 9 Agustus 2019, gempa Sumba M 4,3.

4. Pada 10 Agustus 2019, gempa Tasikmalaya dan Pangandaran M 4,0.

5. Pada 10 Agustus 2019, gempa Tasikmalaya dan Pangandaran M 5,1.

6. Pada 11 Agustus 2019, gempa selatan selat Sunda M 5,2.

7. Pada 11 Agustus 2019, gempa selatan Sunda M 5,1.

8. Pada 12 Agustus 2019, gempa selatan Bali dan Banyuwangi M 4,9.

Rentetan gempa ini sangat menarik dicermati. Seluruh gempa berpusat di Zona Subduksi. Memang ada variasi kedalam hiposenternya, dalam hal ini ada pusat gempa yang sangat dangkal bersumber di zona subduksi muka (front subductioan) tetapi ada juga yang berada di kedalaman menengah di zona transisi antara zona Megathrust dan Benioff.

Peta sebaran gempabumi, gempa bumi Jembrana 12 Agustus 2019.

Peta sebaran gempa bumi Jembrana pada 12 Agustus 2019

Fenomena rentetan gempa yang terus terjadi ini memancing perhatian masyarakat dan media, mengenai fenomena apakah ini, mengapa aktivitas gempa di zona subduksi akhir-akhir ini sangat aktif. Sebagian masyarakat malah kritis dengan menanyakan apakah rententan gempa ini merupakan merupakan aktivitas gempa pendahuluan (foreshocks). Tentu saja sangat sulit untuk menjawab pertanyaan semacam ini.

Namun demikian, hasil monitoring BMKG memang menunjukan adanya klaster yang mencolok terkait adanya peningkatan aktivitas seismik, yaitu (1) zona selatan Bali dan Banyuwangi, (2) zona Cilacap dan pangandaran, (3) Selat Sunda. Karena itu, BMKG akan terus memonitor aktivitas seismik yang terjadi khususnya pada tiga zona diduga aktif tersebut dan hasilnya akan segera diinformasikan kepada masyarakat.

Jika kita mencermati peristiwa gempa besar di seluruh dunia, memang dapat diamati gempa pendahuluannya. Fakta ini dapat kita lihat sebelum peristiwa gempa Aceh 2004, gempa Tohuku 2011, dan gempa Chili 2014. Semua gempa besar ini didahului oleh serangkaian gempa pendahuluan.

Perjelasan terkait gempa pendahuluan tampaknya diperlukan agar tidak terus menjadi tanda tanya yang menggelayuti masyarakat. Dari beberapa hasil kajian, kita juga dapat mengidentifikasi beberapa karakteristik aktivitas gempa pendahuluan.

Pertama, gempa pendahuluan biasanya terjadi di zona dengan nilai "B-value" rendah. Nila "B-velue" rendah artinya di zona itu masih menyimpan tegangan yang tinggi, yang berpotensi terjadi gempa besar.

Kedua, di zona tersebut ada fenomena migrasi percepatan titik hiposenter yang semakin cepat menuju titik inisiasi lokasi estimasi gempa utama. Selain itu juga teridentifikasi adanya "repeating earthquakes.

Ciri gempa ini berulang-ulang dan terjadi di segmen tersebut. Secara sederhananya, ini menunjukkan ada sebuah proses yang semakin lama semakin intensif sebelum muncul gempa utamanya (mainshock).

Aktivitas ini mirip kalau kita mematahkan kayu, perlahan-lahan ada retakan-retakan kecil sebelum benar-benar terpatahkan. Tetapi apakah fenomena rentetan gempa akhir-akhir ini sudah mengarah tanda-tanda seismisitas mengarah ke arah sana?

Hal ini juga masih sulit dijawab karena data aktivitas gempa yang terjadi belum cukup untuk disimpulkan. BMKG akan terus melakukan monitoring dengan fokus di zona-zona duga aktif tersebut di atas.

Pengamatan polanya dilakukan secara spasial dan temporal. Satu hal yang penting diingat bahwa tidak semua klaster aktif akan berujung kepada terjadinya gempa besar. Meskipun setiap gempa besar selalui di dahuli aktivitas gempa pedahuluan.

Jakarta, 12 Agustus 2019

(Ditulis oleh: Kepala Bidang Mitigasi Gempabumi dan Tsunami BMKG, Dr  Daryono)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya