Tujuh Alasan Kuat Mahasiswa Gugat UU KPK ke MK

sidang perdana uji materiil Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, tentang KPK.
Sumber :
  • Ridho Permana

VIVA – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana uji materiil Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Dalam perkara ini, kuasa hukum pemohon diwakili mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Zico Leonard Djagardo Simanjuntak.

Buntut Demo Ricuh Mahasiswa di Patung Kuda, 13 Orang Ditangkap

Zico mengatakan, terdapat sejumlah poin gugatan yang diajukan ke MK. Mulai dari adanya kekosongan norma dan syarat bagi calon pimpinan KPK yang melanggar aturan.

"Terdapat kekosongan norma dalam undang-undang nomor 30 tahun 2002 akan penegakan syarat-syarat anggota KPK yang diatur dalam Pasal 29. Terkait kekosongan norma dimana tidak terdapat suatu pasal atau upaya hukum apapun untuk memperkarakan pelanggaran akan syarat-syarat dalam Pasal 29 undang-undang 30 tahun 2002," kata Zico saat membacakan permohonan di gedung MK, Jakarta Pusat, Senin 30 September 2019.

Demo Mahasiswa di Patung Kuda Ricuh, 2 Orang Diamankan Polisi

Berikut ini, tujuh alasan pemohon mengajukan permohonan uji materiil di Mahkamah Konstitusi:

Pertama, syarat-syarat pemilihan anggota KPK dan pemilihan pimpinan KPK telah diatur dalam Pasal 29 undang-undang a quo, namun terhadap pelanggaran dari syarat-syarat yang ada pada Pasal 29 tidak diberikan suatu mekanisme ataupun upaya hukum untuk memperkarakan pelanggaran tersebut.

Polisi soal 48 Mahasiswa Ditangkap saat Demo Ricuh Tolak UU Ciptaker: Sulit Dapat SKCK

Kedua, hal inilah yang terjadi kepada pemilihan Firli Bahuri sebagai ketua KPK yang baru yang menuai pro-kontra karena dianggap tidak memenuhi syarat dalam Pasal 29 undang-undang a quo. Terlepas daripada benar tidaknya segala permasalahan yang diatribusikan kepada Firli seharusnya terdapat suatu mekanisme atau upaya hukum melalui pengadilan untuk membuat terang hal tersebut demi menghilangkan fitnah maupun perpecahan di masyarakat, baik bagi masyarakat yang memperkarakan Firli maupun bagi Firli dan pihak yang memilihnya untuk memberikan pembelaan diri.

Ketiga, negara-negara lain yang memiliki Mahkamah Konstitusi terdapat jalur constitutional complaint untuk memperkarakan hal tersebut namun di Indonesia Mahkamah Konstitusi tidak memiliki kewenangan tersebut pada saat pemilihan ketua KPK. Hal inilah dikarenakan ketika perkara a quo terjadi, perkara 28/PUU-XVII/2019 yang diujikan oleh Zico Leonard djagardo Simanjuntak dan Victor Santoso tandiasa belum disputes.

Keempat, Mahkamah Konstitusi diberikan tugas dan kewenangan oleh undang-undang 1945 sebagai the final interpreter dan The guardian of the constitution bahkan juga sebagai The guardian of State ideology juga memiliki kewajiban konstitusional untuk senantiasa menjaga agar norma untuk undang-undang tidak mereduksi, mempersempit melampaui batas dan atau bahkan bertentangan dengan undang-undang NRI 1945. Karena itu Mahkamah Konstitusi memiliki tugas dan kewajiban untuk melindungi hak warga negara.

Kelima, saat ini melalui perkara a quo, Mahkamah Konstitusi telah dimintakan untuk kembali menjalankan tugas dan kewajibannya sebab Mahkamah Konstitusi "...wajib memeriksa dan mengadili karena mahkamah tidak boleh menolak perkara atas dasar tidak ada hukumnya akan tetapi adalah menjadi kewajiban mahkamah untuk menemukan norma dimaksud..." (vide. halaman 13 putusan MK No. 4/PPU-1/2003). Dalam menerima dan mengadili perkara a quo, Mahkamah Konstitusi harus memperhatikan dengan tegas marwah Mahkamah Konstitusi sebagai final interpreter dan guardian of the constitution bahkan juga sebagai the guardian of the state ideology.

Keenam, tidak ada ketentuan dalam undang-undang NRI 1945 yang membatasi hakikat Mahkamah Konstitusi hanya sebagai negative legislator saja, bahkan sudah tidak jarang Mahkamah Konstitusi dalam berbagai putusannya membuat norma baru (bit.do/listputusanmk). Permohonan a quo tidaklah semata-mata meminta diciptakan suatu norma pidana baru dengan hanya membebankan seluruh tanggung jawab dalam menata fenomena sosial kepada kaidah hukum, lebih-lebih hanya kepada kaidah hukum pidana (vide. Halaman 445-446 perkara No 46/PPU-XIV/2016). Akan tetapi pemohon meminta Mahkamah Konstitusi menjalankan tugas dan kewajibannya dalam marwahnya sebagai final interpreter dan guardian of the constitution bahkan juga sebagai the guardian of the state ideology.

Ketujuh, dalam kapasitas marwah tersebut Mahkamah Konstitusi dimohonkan oleh para pemohon untuk melindungi hak konstitusional para pemohon dalam perkara a quo yakni pemilihan pimpinan KPK dengan cara memastikan terdapat norma baru untuk menutupi kekosongan norma, dengan demikian tidak ada lagi kekosongan norma akan memberikan perlindungan hukum dan adil bagi para pemohon.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya