Jadi Korban PHK Corona, Sopir Bus Ini Nekat Mudik Jalan Kaki 4 Hari

Maulana Arif Budi Satrio nekat mudik berjalan kaki ke Solo usai di PHK Corona.
Sumber :
  • VIVAnews/Fajar Sodiq

VIVA – Seorang sopir bus pariwisata ini nekat mudik dengan berjalan kaki dari Cibubur tujuan Solo. Ia memutuskan mudik setelah perusahaan tempat bekerjanya melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) kepada para karyawannya.

COVID-19 di Jakarta Naik Lagi, Total Ada 365 Kasus

Pemudik yang memilih pulang kampung dengan berjalan kaki itu bernama Maulana Arif Budi Satrio. Sebelum terkena PHK, ia merupakan pengemudi bus pariwisata yang bermarkas di Cibubur sejak 2017 silam.

Hanya saja sejak pandemi covid-19 merebak di Tanah Air, pariwisata menjadi sektor pertama yang paling terkena dampaknya. Tak pelak, dampak tersebut ikut menjalar ke bisnis persewaan bus pariwisata sejak Maret silam.

Kasus COVID-19 di DKI Jakarta Naik Sejak November 2023

Satrio pun mafhum jika perusahaan tempatnya bekerja mengeluarkan jurus pamungkas dengan melakukan PHK kepada para pegawai dan kru bus pada awal Mei lalu. Mau tak mau, ia pun memutar otak untuk bisa bertahan hidup di perantuan tanpa penghasilan.

"Saat di-PHK, belum ada gaji, belum ada THR dan lainnya," kata dia ketika ditemui di tempat karantina di Graha Wisata Niaga Solo, Senin, 18 Mei 2020.

Pakar Imbau, Waspadai Pandemi Disease X, Mematikan Dibanding COVID-19

Sejurus kemudian Satrio memiliki ide untuk mudik ke Solo setelah menyerahkan kontrakan kepada temannya. Ia merasa temannya lebih membutuhkan kontrakan untuk tempat tinggal. Padahal kontrakan itu masa sewanya baru akan berakhir Juni nanti.

"Sementara kontrakan saya berikan ke tetangga depan rumah yang kontrakannya sudah habis dan diusir. Karena kasihan tetangga itu memiliki anak kecil, saya meminta tetangga itu untuk menempati kontrakan saya," ucapnya.

Kemudian ia pun mencoba alternatif mudik dengan memanfaatkan moda angkutan transportasi umum bus. Ia rela merogoh kocek sebesar Rp500 ribu untuk membeli tiket. Tak dinyana, ternyata moda transportasi itu tak sesuai harapan.

"Yang dipesan angkutan bus, yang datang mobil ELF. Saya nggak mau, akhirnya nggak jadi berangkat," akunya.

Setelah itu, Satrio pun kembali memutar otak untuk pulang kampung. Ia mencoba menggunakan kendaraan pribadi, tapi sesampainya di tol Cikarang malah diminta memutar ke kota awal pemberangkatan. "Saya putus asa dan malah mau berantem di tol Cikarang karena disuruh balik," ujarnya.

Setelah berbagai usaha untuk mudik gagal di tengah jalan, ia pun memutuskan untuk jalan kaki. Ia berangkat dari Cibubur pada 11 Mei 2020 usai salat Subuh. Bekal yang dibawa hanya dua tas yang terdiri dari tas gendong dan tas srempang serta sepatu yang dibungkus kresek.
 
"Saya memutuskan jalan kaki karena Allah memberikan dua kaki. Saya niatkan untuk pulang dengan berjalan kaki," kata Satrio yang mengaku berusia 38 tahun itu.

Selama perjalanan, ia hanya mengenakan celana pendek serta kaos dan penutup wajah. Sedangkan untuk berjalan, ia lebih memilih mengenakan sandal jepit ketimbang sepatu. 

"Kalau pakai sepatu nggak kuat, saya lebih enak memakai sandal jepit ini," kata dia sembari menunjukkan sandal jepit berwarna kuning yang hingga kini masih dipakainya.

Saat menyusuri perjalanan melalui jalur Pantura itu, Satrio megaku sekuat tenaga untuk tetap menjalankan puasa. Lantas, medan yang paling berat saat menapaki jalanan di wilayah Karawang Timur hingga Tegal.

"Di sepanjang perjalanan dua kota itu cuaca panasnya minta ampun. Tetapi setelah memasuki Brebes dan Pekalongan cuaca mulai agak adem," tuturnya.

Setiap harinya, ia berjalan kaki sejauh 100 kilometer dengan durasi waktu antara 12-14 jam. Selama menempuh perjalanan itu, Satrio menyempatkan beberapa kali untuk beristirahat mengumpulkan tenaga. Nah, perjalanan akan berhenti pada saat menjelang dini hari.

"Saking lamanya berjalan di bawah terik matahari, kulit saya sampai kayak terbakar. Sedangkan kalau malam saya istirahatnya kadang tidur di SPBU maupun warung-warung tempat pemberhentian truk," akunya.

Lantas ketika memasuki wilayah Gringsing pada 14 Mei 2020, langkah derap kakinya harus terhenti lantaran aksi nekat mudik jalan kakinya itu diketahui oleh sejumlah rekannya yang tergabung dalam wadah Pengemudi Pariwisata Indonesia (Peparindo).

"Di Gringsing langsung dijemput teman-teman Peparindo. Dan saya dimarah-marahin sama ketuanya di Jakarta karena tidak ngomong. Kalau saya ngomong pasti saya gagal pulang karena akan dibantu oleh teman-teman Peparindo di Jakarta," katanya.

Setelah dijemput, selanjutnya Satrio dibawa menuju Sekretaris Peparindo Jawa Tengah di Ungaran pada tanggal sore harinya. Sejak itu, dirinya tidak diperbolehkan jalan kaki lagi untuk meneruskan perjalanannya hingga ke kota tujuan, Solo.

"Saat di Semarang itu sebenarnya saya ingin bertemu Gubernur Jawa Tengah, Pak Ganjar untuk menyampaikan warga kita (Jawa Tengah) di Jakarta yang nasibnya sangat kasihan. Dan juga nasib travel-travel dari Jawa Tengah yang ditahan di Polda (Metro Jaya)," ujarnya.

Setelah diantar menuju Solo, Satrio tidak menuju ke rumahnya namun ke tempat karantina bagi pemudik di Graha Wisata Niaga Solo. Ia masuk ke tempat karantina itu pada 15 Mei 2020 sekitar pukul 08.00 WIB.

"Awalnya sempat takut juga karena embel-embel nama karantina. Tapi ternyata malah di sini nyaman dan penuh kekeluargaan. Kami di sini benar-benar dihargai, makan enak dan ada hiburan juga," ungkapnya.

Rencananya setelah menjalani masa karantina Selama 14 hari, Satrio akan pulang ke rumahnya yang beralamat di Kelurahan Sudiroprajan, Solo. "Saya dari dulu itu cita-citanya ingin salat id di Solo," kata dia yang juga seorang mualaf.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya