Logo BBC

Anak-anak Korban Eksekusi Tentara Belanda Tolak Tawaran Ganti Rugi

Sardjono Danardi dan keluarga berpose di depan rumah sakit yang dinamai dengan nama almarhum ayahnya.-SARDJONO DANARDI
Sardjono Danardi dan keluarga berpose di depan rumah sakit yang dinamai dengan nama almarhum ayahnya.-SARDJONO DANARDI
Sumber :
  • bbc

Besaran kompensasi yang sama juga diberikan kepada sepuluh janda korban penembakan Westerling di Sulawesi Selatan, pada 2013.

Pada Maret tahun ini, Andi Monji, 83 tahun, mendapat 10.000 Euro (Rp173 juta) sebagai kompensasi atas pembunuhan ayahnya dalam "tindakan pembersihan" oleh tentara Belanda antara Desember 1946 dan April 1947.

Sementara delapan janda dan tiga anak dari korban lainnya mendapat kompensasi antara 123,48 dan 3.634 Euro.

Pengadilan Sipil Den Haag pada tanggal 30 September lalu memerintahkan pemberian ganti rugi sebesar 874,80 Euro (Rp15 juta) kepada Malik Abubakar, putra dari Andi Abubakar Lambogo, pejuang asal Sulawesi Selatan yang kepalanya dipenggal oleh serdadu Belanda pada tahun 1947.

Dalam kebanyakan kasus, nilai ganti rugi bagi anak korban lebih sedikit dibandingkan yang diberikan kepada janda.

Skema terbaru ini tidak melalui pengadilan, namun memberikan penyelesaian yang dipukul rata sebesar 5000 Euro bagi ahli waris yang memenuhi sejumlah persyaratan, antara lain bukti bahwa ayah mereka memang dibunuh dalam eksekusi yang terdokumentasikan dan juga dokumen yang membuktikan mereka anak dari ayah yang dibunuh.

Pengacara yang mendampingi sejumlah anak korban kekerasan Belanda, Irwan Lubis, menilai skema ini berpotensi merugikan anak dari korban yang seharusnya mendapatkan lebih banyak kompensasi.

"Belum memuaskan, karena seperti contoh keputusan Maret 2020, Andi Monji dapat 10.000 Euro. Kalau dipukul rata nanti yang 10.000 akan turun jadi 5000.

"Akan merugikan bagi yang potensial mendapatkan 10.000, dan akan menguntungkan bilamana dia potensial hanya memperoleh 120 Euro sampai 800 Euro seperti [kasus] Lambogo itu," ia menjelaskan.

Bagaimanapun, ia memandang kebijakan yang diumumkan dua menteri Belanda ini sebagai suatu kemajuan karena bila selalu mengandalkan pengadilan, menurutnya, prosesnya lama dan berat.

Irwan meminta pemerintah Indonesia memfasilitasi warga yang hendak mengikuti skema baru ini, antara lain dengan membantu verifikasi dokumen-dokumen yang dijadikan bukti, sekaligus meminta permakluman kepada pemerintah Belanda atas kendala administrasi tersebut.

"Namanya zaman dulu kan tidak ada akte kelahiran. Kadang-kadang tukang urus di lapangan itu kan salah tanggal apa bagaimana, tidak klop. Nah itu mesti diverifikasi .... Yang berhak memvalidasi itu kan pemerintah Indonesia dalam hal ini RT-RW bila perlu kantor lurah."