MK Tolak Gugatan soal Kepala Daerah yang Maju Capres

Pengamanan Jelang Putusan Mahkamah Konstitusi
Sumber :
  • VIVAnews/Muhamad Solihin

VIVA.co.id - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak seluruh gugatan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang dimohonkan dua warga Jakarta, Yunas Rikasotta dan Baiq Oktavianty terkait pasal 6 ayat 1 dan pasal 7 ayat 1 dan 2 karena dinilai bertentangan dengan UUD 1945.

"Menyatakan menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua Hakim Arief Hidayat saat membacakan putusannya, Selasa 21 Januari 2015.

Menurut MK, secara konstitusional, harus dianggap benar bahwa gubernur, wakil gubernur, wali kota atau wakil wali kota yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik sebagai calon presiden atau wakil presiden meminta izin kepada presiden tidak perlu mengundurkan diri dari jabatannya itu.

Sebab seseorang yang menduduki jabatannya tersebut, berarti telah mengikatkan diri ke dalam struktur pemerintahan negara yang berada di bawah presiden.

"Dengan demikian, keharusan meminta izin tersebut tidaklah dapat diartikan sebagai suatu pengaturan yang memperlakukan secara berbeda terhadapnya dari warga negara lain," kata Arief.

Sebelumnya, kedua pemohon yang merupakan warga DKI Jakarta itu tersebut mempersoalkan ketentuan yang tidak mengharuskan kepala daerah untuk mengundurkan diri dari jabatannya saat mengikuti pencalonan presiden dan wakil presiden.

Menurut mereka, ketentuan itu berpeluang membuat capres baru mengundurkan diri setelah terpilih. Namun, akan melanjutkan jabatannya di daerah kembali jika dia tidak terpilih.

Hal ini dikaitkan dengan pencalonan Joko Widodo sebagai presiden pada 2014 lalu. Di mana Jokowi tidak mengundurkan diri sebagai Gubernur DKI Jakarta ketika mencalonkan diri sebagai presiden.

Menurut mereka, sikap Jokowi ini dianggap tidak etis dan tidak patut dicontoh oleh seluruh rakyat Indonesia. Dalam konteks pembangunan politik di Indonesia, sikap tidak mundur dari jabatannya sebagai gubernur yang dilakukan Jokowi adalah sikap yang merusak pembangunan demokrasi. Karena, demokrasi itu memerlukan ketaatan pada UU dan ketaatan pada konstitusi UUD 1945.

Pada saat pemeriksaan pendahuluan pada Senin lalu, Kuasa Hukum pemohon, Wakil Kawal mengatakan bahwa tindakan tersebut mencederai kehormatan negarawan karena perbuatan tersebut seperti memperjudikan jabatan yang penuh spekulatif serta tidak mau ambil risiko.

Baca juga:

Dewan Etik Putuskan 4 Hakim MK Tidak Melanggar


Sengketa Pilkada Tanah Datar Dinilai Tak Berdasar

Hakim MK nilai pemohon sengketa Pilkada Tanah Datar banyak berasumsi

img_title
VIVA.co.id
11 Januari 2016