Logo BBC

'Koalisi Gemuk' Kabinet Jokowi, Sinyal Negatif Demokrasi Indonesia?

Presiden Joko Widodo (kanan) menyambut kunjungan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto (kiri) di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (11/10). - ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
Presiden Joko Widodo (kanan) menyambut kunjungan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto (kiri) di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (11/10). - ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
Sumber :
  • bbc

"Akan aneh jika seluruh partai mendukung pemerintah karena siapa yang akan memerankan fungsi sebagai kekuatan penyeimbang," tegasnya kemudian.


- BBC

Kekhawatiran yang sama diungkapkan Surya Paloh, Ketua Umum Partai Nasdem yang selama ini menjadi partai pendukung Jokowi, yang menyebut `demokrasi sudah selesai` jika `tidak ada yang beroposisi`.

Bahkan, dia sempat melontarkan sinyal siap jadi oposisi. Namun itu terbantahkan, ketika kader partainya, Syahrul Yasin Limpo, akhirnya dipanggil istana dan ditawari posisi menteri, kemarin.

"Nasdem kan selalu dengan komitmen yang kritis untuk kepentingan negara dan bangsa. Oleh karena itu mau oposisi atau bukan oposisi bukan itu yang jadi persoalan. Tapi Nasdem tetap akan kritis kepada siapa saja," ujarnya kepada para wartawan usai bertemu dengan Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Selasa (22/10).

"Walaupun ada orangnya di Kabinet, Nasdem akan tetap kritis," cetusnya.

Sementara itu, Agus Harimurti, putra dari Ketua Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono yang sempat digadang-gadang jadi menteri, urung dipanggil ke istana di saat-saat terakhir menjelang pengumuman kabinet baru yang rencananya akan dilakukan Rabu (23/10) pagi.

Hingga kini, Demokrat belum bersikap terkait keputusan untuk bergabung dalam koalisi atau berada di luar pemerintahan.

Potensi bahaya

Dengan Partai Gerindra kemungkinan besar merapat ke pemerintah, praktis, saat ini partai-partai yang meraup suara besar dalam pemilu lalu, mulai dari PDI-P, Golkar, Nasdem, PKB, PPP dan yang terbaru, Gerindra, bergabung di kubu koalisi pendukung Jokowi.