Pengamat Nilai Parpol Harus Punya Sikap Afirmasi Perempuan di Pemilu 2024

Seminar Tentang Keterwakilan Perempuan Lewat Pileg di Sulawesi Tenggara
Sumber :
  • Istimewa

Jakarta – Calon anggota legislatif atau caleg perempuan dari partai politik, didorong untuk dilindungi. Terutama terkait suara mereka, termasuk di Pemilu 2024 ini.

Tidak Hadir, MK Sebut Caleg Gerindra dan Nasdem Tidak Serius: Dianggap Tidak Dilanjut Lagi

Untuk itu, menurut pengamat pemilu dari Rumah Demokrasi, Ramdansyah, partai politik harus punya sikap untuk mengawal suara caleg perempuan mereka pada Pemilu 2024 ini.

Dia mencontohkan, bila di dalam dapil tersebut ditemukan suara caleg perempuan mereka tergerus oleh suara caleg lagi-laki, maka partai perlu membuat sikap. Bahkan kata dia, kebijakan melakukan pergantian antar waktu atau PAW, perlu dilakukan sebagai komitmen keterwakilan 30 persen afirmasi perempuan sesuai dengan UU Pemilu.

Komisaris HAM PBB Kecam Perihal Hukum yang Mewajibkan Hijab di Iran

“Ini kan muncul di masyarakat seolah-olah perempuan cuma sekedar buat pelengkap saja, pelengkap dari partai politik karena wajib 30 persen,” ujar Ramdansyah, dikutip Kamis 7 Maret 2024.

Itu dipaparkannya pada acara Perspektif ‘Keterwakilan perempuan lewat Pileg: Afirmasi atau Fiksi’ di Sulawesi Tenggara, Rabu kemarin.

Di Rakernas, PDIP Siapkan Langkah Strategis Pasca Pemilu 2024

Dia mengatakan, ada fenomena semacam kapur barus dalam penghitungan suara. Dimana caleg ini awalnya perhitungannya punya suara yang besar. Tapi tiba-tiba pada tingkatan tertentu suaranya menyusut. Dugaan ini dia contohknya pernah dialami caleg perempuan Golkar Dapil III Jawa Barat, Melli Darsa.

"Suaranya besar ketika di awal pungut hitung di tingkat kecamatan, lama-lama di tingkat penghitungan KPU kabupaten/kota suaranya itu menghilang nah fenomena ini kemudian memunculkan isu bersama koalisi perempuan,” ujar Ramdansyah. 

Terhadap ini, dia menilai perlu bagi partai politik untuk memberi perlindungan kepada caleg perempuan yang kehilangan haknya. Atau dilanggar di tengah perhitungan suara tersebut.

Komitmen partai politik, menurutnya harus ada di tengah kebijakan afirmasi perempuan. Maka menurutnya, perlu juga bagi mahkamah partai untuk melakukan penyelidikan dugaan kecurangan tersebut.

“Jangan sampai yang namanya afirmasi perempuan 30 % hanya lip service,” ujarnya.

Sebelumnya, caleg DPR RI Partai Golkar untuk dapil Jabar III Melli Darsa mengatakan dalam Pemilu 2024, Perempuan tidak boleh lagi sekadar ditempatkan sebagai vote getter. 

"Afirmasi keterwakilan perempuan dalam politik adalah kebijakan yang sudah dilahirkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Namun, hingga saat ini kebijakan ini masih belum efektif dan cenderung hanya merupakan suatu lip service," kata Melli Darsa. 

Sistem yang ada saat ini dimana banyak partai yang ikut berkontestasi dalam pemilu, menurutnya membuat tugas caleg perempuan juga lebih berat. Apalagi dengan banyaknya perantara yang harus dilewati caleg perempuan, agar memperkuat kedudukan mereka tersebut. 

"Bukan rahasia lagi bahwa proses pencalonan penyelenggara dan pengawas kerap dipengaruhi atau dilobi jauh-jauh hari sebelum pemilu bergulir, oleh pihak-pihak yang kemudian akan mempunyai kepentingan dalam pemilu itu sendiri. Sejauh mana perempuan dalam posisi untuk bisa melobby seperti itu perlu dipertanyakan," jelasnya.

"Seperti juga dalam konteks terkait kemiskinan, ketidakadilan yang umumnya akan pertama dan utamanya merugikan perempuan, demikian juga proses ini menjadi hambatan lebih besar pada kebijakan afirmasi keterwakilan perempuan," lanjutnya.

Maka situasi yang menurutnya kurang menguntungkan bagi perempuan, peting bagi petinggi partai untuk melihat. Dia berpandangan, petinggi partai adalah satu-satunya harapan untuk terwujudnya afirmasi keterwakilan perempuan yang selaras dengan semangat undang-undang. 

"Hanyalah petinggi partai yang bisa intervensi untuk memastikan bahwa calon legislator perempuan-perempuan kompeten tetap bisa lolos dari lubang jarum. Dalam hal di suatu dapil sudah jelas dapat dimenangkan lebih dari satu kursi maka sewajarnya, perempuan diizinkan dalam rangka Kebijakan afirmasi keterwakilan perempuan untuk menduduki kursi tersebut dan tidak hanya dikaitkan siapa yang mendapatkan kursi terbanyak," jelasnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya