Logo DW

Misteri Masa Depan Pelan-pelan Terkuak, Suram Cuy

Ilustrasi membaca masa depan.
Ilustrasi membaca masa depan.
Sumber :
  • dw

Dalam novel fantasi yang berjudul Fahrenheit 451, sastrawan asal Amerika Serikat, Ray Bradbury, menggambarkan bahwa pemikiran yang bebas dianggap berbahaya dan antisosial. Di Amerika yang pengukuran suhunya memakai satuan Fahrenheit, Fahrenheit 451 adalah suhu di mana kertas diperkirakan dapat terbakar dengan sendirinya. Dalam novel yang terbit pada 1953 ini, Ray Bradbury menggambarkan keadaan di sebuah negara di mana orang tidak boleh memiliki atau bahkan membaca buku.

Masalah kebebasan berpikir juga sempat disinggung dalam dongeng berjudul Momo, karya Michael Ende. Dalam bukunya, penulis asal Jerman ini sempat menyinggung anak-anak yang dikirimkan ke sekolah agar tidak ‘membuang waktu’ dengan banyak bermain dan berimajinasi bersama teman-teman. Alih-alih bermain dengan sesamanya, anak-anak digiring untuk bermain sendiri dengan sebuah boneka yang akhirnya mendorong mereka kepada gaya hidup konsumeris dan terasing.

Dampak penemuan mesin terhadap manusia

Film bisu karya sutradara asal Jerman, Fritz Lang, yang berjudul Metropolis pertama kali tayang pada 1927. Film ini berlatar di kota besar imajiner pada 2030. Saat itu umat manusia dibagi menjadi dua kelas: Satu kelas memanjakan diri dalam kemewahan, sementara yang lain harus bekerja keras di sebuah mesin besar yang terletak di dunia bawah. Jurang antara para pekerja dan kaum berpunya digambarkan begitu lebar. Sayangnya, kesenjangan sosial yang begitu nyata antara para super kaya dan kaum miskin bukan hal yang aneh pada saat ini. Pada saat dirilis, karya epik Lang mendapat kritik beragam. Film ini mengeksplorasi dampak inovasi teknis dan dianggap sebagai pelopor genre distopia.

Sementara di buku berjudul The Futurological Congres, penulis kelahiran Polandia, Stanislaw Lem, seolah telah meramalkan pergolakan teknis abad ke-21 dengan sungguh menakjubkan. Tidak hanya itu, dalam karyanya yang lain seperti Golem XIV dan Solaris, Lem sering berfokus pada pertanyaan penting seputar masalah filosofi dan etika. Ke mana arahnya teknologi otomasi yang begitu diagungkan umat manusia? Protagonis dalam karya-karya Stanislaw Lem tidak selalu berpandangan optimistis.

Kebahagiaan ada di mana?

Di mana letaknya tanah yang bisa mencukupi kebutuhan para warganya? Di mana orang-orang yang bahagia hidup? Pertanyaan ini menjadi pokok persoalan di buku Utopia karya penulis Inggris dari abad ke-16 yakni Thomas More. Dia hidup di era Renaisans, Reformasi, dan penemuan Dunia Baru. Buku ini menampilkan tokoh yang bekerja sebagai pelaut dan menggambarkan keadaan masyarakat yang ideal. Tokoh tersebut dan More memperdebatkan prinsip-prinsip kepemilikan pribadi dan kesetaraan sosial. Novel "Utopia" pada akhirnya membentuk genre sastra fiksi utopia. (ae/yp)