Anak-anak Jadi Target Ancaman

Ilustrasi anak belajar dari komputer.
Sumber :
  • Pexels/Julia M Cameron

VIVA Tekno – Dengan sebagian besar anak-anak yang dapat mengakses atau memiliki smartphone atau ponsel pintar maupun tablet, usia di mana mereka mulai mengenal dunia digital dan teknologi terus menurun.

Qualcomm Snapdragon X Plus, Chipset Pendukung Laptop AI

Oleh karena itu, sangat penting bagi orangtua untuk terus mengetahui informasi tentang ancaman siber terbaru yang menargetkan anak-anak agar mereka dapat lebih terlindungi.

Dalam postingan ini, para ahli Kaspersky mengeksplorasi beberapa tren siber utama yang harus diwaspadai orangtua, dan memberikan tips tentang cara melindungi aktivitas online anak-anak mereka:

Apple Bagi-bagi Undangan

1. Anak-anak akan semakin banyak menggunakan teknologi AI yang, sejauh ini, belum siap menyediakan tingkat keamanan siber dan konten yang sesuai dengan usia mereka.

Menurut penelitian PBB, sekitar 80 persen anak muda mengaku berinteraksi dengan AI beberapa kali sehari. Dengan berkembangnya AI, banyak aplikasi yang kurang dikenal bermunculan dengan fitur yang tampaknya tidak berbahaya, seperti mengunggah foto untuk menerima versi modifikasi.

Tablet Samsung yang Baru bikin Penasaran

Namun, ketika anak-anak mengunggah gambar mereka ke aplikasi semacam itu, mereka tidak pernah tahu di database mana foto-foto mereka akan tetap ada, dan apakah foto-foto itu akan digunakan lebih lanjut.

Selain itu, aplikasi AI, khususnya chatbot, dapat dengan mudah menyediakan konten yang tidak sesuai usia saat diminta. Misalnya, ada banyak chatbot AI yang dirancang khusus untuk memberikan pengalaman “erotis”.

Meskipun beberapa anak memerlukan verifikasi usia, hal ini berbahaya karena beberapa anak mungkin memilih untuk berbohong tentang usia mereka dan pencegahan terhadap kasus-kasus tersebut tidak cukup.

2. Meningkatnya serangan aktor berbahaya terhadap gamer muda

Menurut statistik online terbaru, 91 persen anak usia 3-15 tahun bermain game di perangkat apa pun. Untuk beberapa game, obrolan suara dan teks yang tidak dimoderasi merupakan bagian besar dari pengalaman tersebut.

Dengan semakin banyaknya generasi muda yang mengakses internet, para penjahat siber dapat membangun kepercayaan dengan cara sama seperti yang mereka lakukan secara langsung. Penjahat siber mendapatkan kepercayaan dari pemain muda dengan memikat mereka dengan hadiah atau janji persahabatan.

Begitu mendapatkan kepercayaan, mereka mendapatkan informasi pribadi para gamer muda melalui ajakan untuk mengeklik tautan phishing, dan mengunduh file berbahaya yang menyamar sebagai mod permainan untuk Minecraft atau Fortnite, atau bahkan melakukan grooming.

3. Perkembangan industri fintech untuk anak-anak menandai munculnya ancaman baru

Semakin banyak bank yang menyediakan produk dan layanan khusus anak-anak, termasuk kartu perbankan yang dirancang untuk mereka berusia 12 tahun.

Namun, dengan diperkenalkannya kartu perbankan untuk anak-anak, mereka juga menjadi rentan terhadap pelaku ancaman yang bermotif finansial dan rentan terhadap serangan penipuan konvensional, seperti janji PlayStation atau PS5 gratis atau aset berharga lainnya setelah memasukkan detail kartu di situs phishing.

Dengan menggunakan teknik rekayasa sosial, penjahat siber dapat mengeksploitasi kepercayaan anak-anak dengan menyamar sebagai teman sebaya dan meminta pembagian rincian kartu atau transfer uang ke rekening mereka.

4. Jumlah kasus ancaman rumah pintar dengan anak-anak berpotensi menjadi sasaran akan meningkat

Meskipun meningkatnya jumlah kasus ancaman terhadap perangkat rumah pintar, produsen tidak terburu-buru menciptakan teknologi kekebalan siber yang dapat mencegah potensi eksploitasi kerentanan. Namun, hal ini juga berarti anak-anak dapat menjadi alat bagi penjahat dunia maya dalam melakukan serangan.

Misalnya, jika perangkat pintar menjadi alat pengawasan yang berfungsi penuh dan seorang anak sendirian di rumah, penjahat dunia maya dapat menghubungi mereka melalui perangkat tersebut dan meminta informasi sensitif seperti nama, alamat, dan waktu, ketika orang tuanya tidak ada di rumah — atau bahkan nomor kartu kredit orangtuanya.

Dalam skenario seperti ini, selain peretasan perangkat, terdapat juga risiko kehilangan data finansial atau bahkan serangan fisik.

5. Anak-anak akan menuntut ruang online/pribadi mereka dihormati

Seiring bertambahnya usia, anak-anak mengembangkan kesadaran diri yang lebih besar, yang mencakup pemahaman tentang ruang pribadi, privasi, dan data sensitif, baik offline maupun online.

Akibatnya, ketika orang tua dengan tegas mengomunikasikan niatnya untuk menginstal aplikasi digital parenting di perangkatnya, tidak semua anak akan menerima hal tersebut dengan terbuka.

Inilah sebabnya mengapa orang tua kini memerlukan keterampilan untuk mendiskusikan pengalaman online anak-anak mereka dan pentingnya mengasuh aplikasi digital untuk keamanan online sambil tetap menghormati ruang pribadi.

Hal itu melibatkan penetapan batasan dan ekspektasi yang jelas serta mendiskusikan alasan penggunaan aplikasi dengan anak di situasi apapun.

6. Anak-anak sangat ingin mengunduh aplikasi yang tidak tersedia di negara mereka, namun justru menemukan salinan berbahaya

Jika suatu aplikasi tidak tersedia di wilayah Anda, para pengguna muda akan mencari alternatif, yang sering kali merupakan salinan berbahaya. Bahkan jika mereka beralih ke toko aplikasi resmi seperti Google Play, mereka tetap berisiko menjadi mangsa penjahat dunia maya.

Dari 2020 hingga 2022, peneliti Kaspersky telah menemukan lebih dari 190 aplikasi yang terinfeksi Harly Trojan di Google Play, yang mendaftarkan pengguna ke layanan berbayar tanpa sepengetahuan. Perkiraan konservatif soal jumlah pengunduhan aplikasi-aplikasi ini adalah 4,8 juta, namun jumlah korban sebenarnya mungkin lebih tinggi.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya