Riset: Genetik Tertentu Picu Keparahan Gejala COVID-19

COVID-19
Sumber :
  • Pinkvilla

VIVA – Sudah lebih dari setahun sejak virus corona jenis baru pertama kali dilaporkan dari sebuah pasar di Wuhan. Sejak itu, virus tersebut menyebar ke beberapa negara dan kemudian World Health Organization (WHO) menyatakan wabah virus tersebut sebagai pandemi. 

Kuota Haji Kabupaten Tangerang Bertambah, 20 Persen Lansia

COVID-19 yang disebabkan oleh SARS-CoV2 merupakan penyakit pernapasan yang berakibat fatal jika tidak ditangani tepat waktu. Secara umum ada dua jenis pasien yang terinfeksi virus COVID-19 yakni Symptomatic  dan Asimtomatik.

Pada pasien simtomatik, mereka yang menunjukkan gejala infeksi seperti kenaikan suhu tubuh, batuk dan pilek, sakit kepala, dan sebaliknya pada asimtomatik yakni tanpa gejala. Namun, bagaimana itu bisa terjadi? Apa pemicu pasien bisa terinfeksi tanpa gejala? Tim ilmuwan baru saja menunjukkan hasil riset terbaru yang mengaitkan hal tersebut dengan genetik seseorang.

Geger Vaksin COVID-19 AstraZeneca, Ketua KIPI Sebut Tidak ada Kejadian TTS di Indonesia

Dikutip dari laman the Health Site, tim yang dipimpin oleh Universitas Newcastle di Inggris menunjukkan bahwa gen HLA-DRB1*04:01 ditemukan tiga kali lebih sering pada orang tanpa gejala. Itu menunjukkan bahwa orang yang membawa gen ini memiliki tingkat perlindungan tertentu dari gejala COVID-19 yang parah. 

Diketahui bahwa gen antigen leukosit manusia yang diidentifikasi HLA-DRB1*04:01 berkorelasi langsung dengan garis lintang dan garis bujur. Ini berarti lebih banyak orang di Eropa Utara dan Barat cenderung memiliki gen ini.

Sempat Hilang Kesadaran Akibat Sepsis, Chicco Jerikho Ngerasa Dikasih Kesempatan Kedua

Hal ini juga menunjukkan bahwa populasi keturunan Eropa akan lebih mungkin untuk tetap asimtomatik tetapi masih menularkan penyakit ke populasi yang rentan. 

“Ini adalah temuan penting karena dapat menjelaskan mengapa beberapa orang tertular COVID-19 tetapi tidak (ada gejala) sakit,” Carlos Echevarria dari Translational and Clinical Research Institute di universitas tersebut. 

Lebih lanjut, Carlos menyebut bahwa kondisi itu bisa menjadi acuan terkait tes genetik yang mungkin menunjukkan siapa yang perlu diprioritaskan untuk vaksinasi di masa depan. Pada tingkat populasi, ini penting untuk diketahui karena ketika banyak yang resisten, di sisi lain mereka tertular COVID-19 tetapi tidak menunjukkan gejala.

"Maka mereka berisiko menyebarkan virus saat tidak menunjukkan gejala,” kata Carlos.

Ada pun studi yang diterbitkan dalam jurnal HLA, membandingkan orang tanpa gejala dengan pasien dari komunitas yang sama yang mengembangkan gejala COVID-19 parah tetapi tidak memiliki penyakit yang mendasarinya. 

Tim menggunakan sampel dari 49 pasien dengan mengobservasi gejala COVID-19 berat yang dirawat di rumah sakit sepertii gagal pernapasan.

Lalu, dibandingkan dengan sampel dari kelompok tanpa gejala yang terdiri dari 69 pekerja rumah sakit yang dites positif melalui tes antibodi darah rutin dan kelompok kontrol dari studi tentang hubungan antara genotipe HLA dan hasil dari operasi penggantian sendi.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya