Pakar Sebut Belum Ada Cukup Bukti Galon Guna Ulang Bahayakan Kesehatan

Ilustrasi galon.
Sumber :
  • Pixabay

VIVA Lifestyle – Narasi bahaya Bisphenol A (BPA) dalam kemasan galon air minum dinilai masih minim bukti ilmiah karena penelitian tentang BPA selama ini dilakukan di kemasan yang bukan kemasan galon air. 

5 Ciri Kemasan Skincare yang Aman dan Memenuhi Standar, Jangan Cuma Lihat Isi dan Kandungan

Selain itu, penelitian di Indonesia tentang BPA di galon air juga bukan kadar BPA di dalam air galon, tapi penelitian di laboratorium tentang potensi migrasi BPA dari kemasan galon menggunakan proses perendaman dengan etanol dan dipanaskan 60° C di oven laboratorium selama 10 hari. Scroll untuk info selengkapnya. 

Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat, Hermawan Saputra, mengatakan belum ada bukti yang cukup kuat untuk menyampaikan ke masyarakat bahwa kemasan galon guna ulang berbahan Polikarbonat membahayakan kesehatan masyarakat atau para konsumennya. Sebelum menyampaikan isu kesehatan masyarakat, menurutnya, harus dilihat terlebih dahulu seluruh kejadiannya, fenomena, dan faktanya atau evidence based public health.

Toyota Avanza Dilalap Api, Akibat Sembarangan Bawa 12 Galon BBM

“Dalam kaitannya dengan kepentingan publik dan yang berdampak pada kesehatan, harus kita lihat dulu apakah betul ada evidence sebelumnya. Nah, kalau kita bicara pemakaian galon guna ulang, harus dilihat sudahkah pernah ada suatu fenomena atau kejadian yang memang hasil penyelidikannya berdampak luas dan memang terjadi kasus yang signifikan di masyarakat,” ujar Hermawan baru-baru ini. 

Ilustrasi BPA.

Photo :
  • Pixabay.
Gak Melulu Sultan, Raffi Ahmad-Nagita Slavina Juga Punya Selera yang Merakyat

Menurutnya, semua produk tanpa terkecuali memang perlu dilihat bagaimana dampaknya terhadap para konsumen, mulai dari produksi, distribusi, dan konsumsi. Dengan kata lain, semua industri yang relevansinya akan berdampak pada kesehatan masyarakat harus ada kendali pada produksi, distribusi, dan konsumsi. 

"Nah, itu sebabnya ada standarisasi produk, ada izin edar produk, dan itu ketat sekali,” ucapnya.

Dia mengatakan kesimpulan akhir atau final conclusion itu harus didahului dengan penyelidikan. Hal itu perlu dilakukan untuk menghindari ketidaktepatan regulasi seandainya regulasi itu dikeluarkan. 

"Dalam kaitannya dengan BPA di galon guna ulang, dari kasus konsumsinya, kami melihat belum ada evidence based yang cukup,” katanya. 

Menurut Hermawan, kalau memang ada indikasi zat berbahaya pada suatu produk tertentu, solusinya bukan pada pelabelannya tetapi pada produksi dan distribusinya.

Ilustrasi galon.

Photo :
  • Pixabay

"Maka, secara isu publik, kalau memang ada zat berbahaya dari kandungan sebuah produk apalagi itu pangan atau makanan dan minuman, itu solusinya bukan pada labelnya, tetapi harusnya pada produksinya. Jadi bukan pada kendali perilaku, kalau berbahaya harus dikendalikan dari produksi dan distribusi,” tukasnya. 

Dia menegaskan bahwa tidak boleh mencoba-coba produk yang digulirkan hanya sekadar melabeli. Hal itu mengingat masyarakat yang asimetris informasi yang tidak mungkin mengetahui kandungan zat kimia yang luar biasa, apalagi tahapannya itu berkaitan dengan bahan baku dan bukan bahan jadi. 

"Kalau kita bicara galon, kan yang dibicarakan produk jadinya. Produk jadi itu bisa aman tapi bahan bakunya yang tidak aman. Jadi, di situlah memang dari perspektifnya,” ucap Hermawan. 

Jadi, dia melihat sebuah keanehan jika pejabat Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) meyampaikan bahwa pelabelan 'berpotensi mengandung BPA' terhadap galon guna ulang berkaitan dengan kendali distribusi. 

"Yang ingin dilabeli itu katanya distributor yang memiliki izin edar, jadi tidak pada depot-depot air minum tertentu. Artinya, kendali distribusi ini harusnya menyangkut merapikan industri itu sendiri, tetapi di sisi lain kita memang agak unik kalau itu diserahkan pada perilaku masyarakat yang asimetris informasi. Jadi, kami melihat pelabelan BPA itu tidak terlalu efektif. Lebih baik tidak usah. Kalau memang ada zat yang dikhawatirkan, itu seharusnya yang diawasi pada produksi dan distribusinya saja,” tuturnya.

“Kalau BPOM sendiri sudah memberikan lampu kuning bahwa botol atau galon tertentu walau berbahan dasar zat kimia yang berbahaya, tetapi ketika menjadi produk jadinya aman dan bisa dikonsumsi, kenapa kita harus khawatir dengan kendali perilaku? Pada akhirnya di sini yang harus menjadi perhatian dan keadilan adalah dari segi perhatian regulasinya,” tutup Hermawan Saputra.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya