Akhir Krisis Mako Brimob

Pengamanan Mako Brimob
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay

VIVA – Sudah kondusif. Begitu gambaran suasana di kompleks markas komando satuan elite Polri, Korps Brigade Mobil atau Brimob di Kelapa Dua Depok, Jawa Barat, sejak Kamis pagi, 10 Mei 2018. Butuh 36 jam bagi polisi untuk mampu menguasai situasi pasca insiden kerusuhan dan drama penyanderaan atas seorang anggota Polri oleh narapidana kasus terorisme yang ditahan di rumah tahanan Salemba cabang Depok, atau Rutan Mako Brimob.

Diduga Dipicu Korsleting Listrik, Asrama Mako Brimob di Tangsel Terbakar

Blok-blok rumah tahanan di sana, yang sebelumnya dikuasai narapidana kasus terorisme, Kamis kemarin sudah berhasil diambil alih aparat. Sebanyak 155 napi teroris yang awalnya terlibat bentrok dengan aparat, bersedia menyerah tanpa syarat. Sandera atas nama Bripka Iwan Sarjana juga berhasil dibebaskan dalam kondisi selamat.

Polisi mengklaim operasi penanggulangan kerusuhan narapidana kasus terorisme di Mako Brimob ini berjalan sangat kondusif dengan pendekatan persuasif (soft approach), tidak korban jiwa maupun luka. Polisi masuk ke dalam sel tahanan napi teroris dan melakukan sterilisasi.

Komjen Pol Anang: Rektor akan Kuat Jika Didukung Brimob, Begitu Juga Sebaliknya

Operasi ini berakhir pukul 07.15 WIB, tepat 36 jam sejak peristiwa kerusuhan pertama kali terjadi pada Selasa malam, 8 Mei 2018, pukul 19.30 WIB. Mabes Polri meluruskan pemberitaan sebelumnya yang menyebut ada upaya negosiasi aparat dengan napi teroris yang menguasai Rutan Mako Brimob.

"Jadi, ini (operasi) penanggulanan. Semua kata-kata negosiasi dihapus, saya koreksi: Tidak ada negosiasi, semua ini penanggulangan," kata Wakapolri Komjen Pol Syafruddin saat konferensi pers di Media Center Mako Brimob, Depok, Kamis, 10 Mei 2018.

Ferdy Sambo Diviralkan Tengah Santai di Luar Tahanan, Trisha Eungelica Sewot

Sementara itu, Menteri Koordinator bidang Hukum, Politik dan Keamanan (Menko Polhukam), Wiranto menegaskan 155 napi teroris itu semuanya menyerah tanpa syarat, dengan menyerahkan senjata yang melekat pada diri masing-masing.

Wiranto menyebut strategi yang dilakukan aparat adalah memberikan ultimatum kepada napi teroris agar menyerah pada batas waktu tertentu, dan bukan negosiasi. Batas waktu yang ditentukan adalah waktu fajar di hari Kamis, 10 Mei 2018. Jika tak dijawab, serbuan akan dilakukan.

"Mereka sebelum fajar, menyerah tanpa syarat. Kita minta, satu per satu mereka keluar dari lokasi mereka," kata Wiranto di Mako Brimob Kelapa Dua, Kamis, 10 Mei 2018. [Simak pernyataan Presiden Jokowi: Negara Tidak Pernah Takut]

Sebanyak 145 narapidana keluar satu per satu terlebih dahulu. Mereka menyerah tanpa syarat, sekaligus meninggalkan seluruh senjata. Tersisa 10 napi teroris yang belum menyerahkan diri. Polisi melakukan serbuan, memberikan tembakan peringatan dan gas air mata.

"Tadi, kita dengar ledakan, tembakan, bom, gas air mata, itu dengan cara-cara yang sudah direncanakan. Ternyata, 10 sisa napi menyerah. Jadi, lengkap 155 tahanan teroris telah menyerah kepada aparat kepolisian," lanjutnya.

Dengan demikian, Mabes Polri memastikan operasi penanggulangan kerusuhan dan penyanderaan di rutan Mako Brimob, sudah selesai. Wakapolri memimpin apel anggota tim yang terlibat operasi, dan Mako Brimob dinyatakan kondusif, aman terkendali.

"Atas nama pimpinan Polri, atas nama rakyat Indonesia, kami mengucapkan terima kasih atas dukungan yang mengalir sejak kejadian Selasa sore sampai hari ini masih mengalir dukungan dari seluruh rakyat Indonesia, dari media, baik secara langsung dan tidak langsung, saya ucapkan teruma kasih atas dukungannya," terang Wakapolri usai memimpin apel.

Insiden kerusuhan ini menewaskan 5 anggota Polri dan 1 orang napi. Empat anggota mengalami luka-luka, dan tengah menjalani perawatan di RS Polri Kramat Jati. Lima korban tewas dari anggota Polri mengalami luka mengenaskan bacokan di leher dan tembakan di bagian kepala.

"Semoga menjadi pelajaran seluruh anak bangsa untuk memandang sesuatu yang objektif. Polri sudah cukup sabar, ikhlas, walaupun 9 anggota korban, 5 gugur, 4 masih luka," paparnya.

Baca : Kisah Pilu Iptu Yudi, Berpulang Ketika Putranya Lahir

Bom Rakitan dan Senjata

Tak dipungkiri, proses sterilisasi yang dilakukan tim berjalan cukup menegangkan. Pasalnya, beberapa kali suara ledakan sempat terdengar keras di area Mako Brimob. Polri memastikan ledakan itu bukan imbas dari kontak senjata antara aparat dengan kelompok teroris.

Ledakan itu berasal dari ledakan (bricing) tembok sel yang patut diduga tempat para napi teroris ini menyimpan bom-bom rakitan. Karena alasan keamanan, tim sterilisasi yang dipimpin Kepala Korps Brimob Irjen Pol Rudy Sufahriadi, meledakan semua bom-bom rakitan di dalam rutan.

"Ternyata selama 40 jam mereka (napi teroris) melakukan penyanderaan dan mereka juga melakukan kegiatan-kegiatan perakitan bom dan sebagainya. Dan yang diledakan itu tadi adalah hasil-hasil bom yang sudah dirakit," kata Wakapolri Komjen Pol Syafruddin di Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, Kamis, 10 Mei 2018.

Komandan Korps Brimob Polri, Irjen Rudy Sufahriadi menambahkan, bom-bom rakitan itu ditemukan di sel napi teroris itu merupakan barang bukti kasus terorisme yang belum sempat digudangkan oleh penyidik Densus 88.
 
"Itu yang mereka ambil alih, mereka rebut lagi. Itulah yang dijadikan bahan bom buat ranjau nanti di sini. Dan sudah kita ledakkan semua," ujar Rudi di Mako Brimob.

Mantan Kapolda Sulawesi Tengah ini tak bersedia menjelaskan berapa jumlah bom yang berhasil dirakit para napi teroris di dalam tahanan. "Ada cukup banyak, kedengaran tadi ada ledakan yang cukup banyak. Saya enggak sebut ada berapa, tapi tadi terdengar cukup banyak," tegasnya.

Sejumlah senjata api dan senjata tajam ditemukan saat olah TKP Rutan Mako Brimob

Baca: Kronologi Lengkap Horor di Markas Pasukan Elite Polri

Selain temuan bom rakitan di dalam sel tahanan, yang tak kalah mengejutkan adalah keberadaan senjata tajam, yang digunakan napi teroris untuk membunuh lima anggota Polri. Entah darimana mereka mendapatkan senjata tajam masuk ke dalam sel tahanan di komplek pasukan elite Polri itu.

"Nah, saya belum tanya juga, itu yang jadi pertanyaan saya juga," kata Kepala Divisi Humas Polri, Irjen Pol Setyo Wasisto di Mako Brimob, Rabu malam, 9 Mei 2018.

Setyo menduga senjata tajam itu sudah disiapkan sebelum kerusuhan. Namun, ia belum dapat memastikan asal senjata tajam tersebut. "Katanya begitu (sudah disiapkan sejak awal kerusuhan), di dalam mungkin sudah disiapin," ujar Setyo.

Sedangkan untuk senjata api di dalam rutan, para napi teroris ini merebut senjata yang menjadi barang bukti dari kelompok teroris yang berhasil diamankan polisi dalam operasi antiteror di beberapa daerah. Barang bukti itu belum sempat digudangkan oleh penyidik Densus 88.

Setidaknya ada 30 pucuk senjata yang diamankan, disamping senjata yang dirampas dari anggota Polri yang tewas. Menko Polhukam Wiranto menyebut senjata-senjata ini seluruhnya diserahkan napi teroris saat menyerahkan diri pada Kamis pagi.

"Mereka keluar tanpa syarat dan senjata diserahkan kurang kebih 30 pucuk. Itu senjata hasil sitaan dari aparat kepolisian melawan terorisme," ujar Wiranto.

Penjara 'High Risk'

Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian yang baru kembali dari Yordania, langsung mengunjungi Mako Brimob pada Kamis petang, 10 Mei 2018, untuk melihat langsung kondisi terkini Rutan Brimob pasca insiden kerusuhan dan penyanderaan. Dalam pernyataannya, Jenderal Tito mengakui Rutan Brimob ini tidak layak menjadi rutan teroris.

"Kenapa? Ini (Rutan Brimob) bukan maximum security," ujar Jenderal Tito di Mako Brimob.

Ia mengatakan rutan ini dulunya digunakan untuk polisi, jaksa dan penegak hukum lain yang terlibat pidana. Mereka yang biasa menangkap pelaku kejahatan, manakala terlibat pidana, ditempatkan di rutan khusus, agar tidak menjadi korban tahanan umum lainnya.  

Kemudian, rutan ini berada di komplek Mako Brimob, pertimbangannya adalah tempat yang aman untuk pemeriksaan. Sehingga, apabila penyidik membutuhkan keterangan tersangka bisa langsung dilakukan pemeriksaan, tanpa harus melalui rumitnya perizinan layaknya tahanan di rutan umum lainnya.

"Markas brimob ini terkurung memang, rutan ini memang dalam lingkungan markas. Tapi di dalam memang tidak layak. Bukan didesain untuk maksimum security layaknya teroris.," paparnya.

Disamping itu, Tito juga menyoroti kondisi rutan yang sudah over kapasitas. Rutan Brimob ini idealnya dihuni 64 orang, maksimal 90 orang tahanan. Ia pun sempat terkejut ketika ada 155 napi teroris yang ditahan di rutan ini. "Saya juga baru tahu sampai ada 155 orang. Jadi sangat sumpek sekali," ujar Tito.

Selanjutnya, 155 napi teroris di Mako Brimob ini sudah dipindahkan ke Lapas Nusakambangan. Tito mengatakan, dari 155 napi ini statusnya ada yang sudah divonis, ada yang masih terdakwa, ada yang tahap P21 menunggu penyerahan ke jaksa penuntut umum, dan ada yang baru proses penyidikan karena baru ditangkap.

"Jadi totalnya ada 155 tadi. Nah ini semua sudah dipindahkan ke Nusakambangan," imbuhnya.

Sejumlah napi teroris Mako Brimob saat menyerahkan diri ke aparat.

Baca: Detik-detik 155 Napi Teroris di Mako Brimob Serahkan Diri

Terpisah, Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM, Sri Puguh Budi Utami memastikan Lapas Batu Nusa Kambangan, Cilacap, Jawa Tengah, siap menerima narapidana kasus terorisme yang terlibat kerusuhan di Rumah Tahanan Salemba Cabang Depok.

Para napi teroris ini dipindahkan, seiring proses sterilisasi dan renovasi rutan yang berada di Mako Brimob itu, pasca insiden kerusuhan yang menewaskan 5 anggota Kepolisian dan penyanderaan seorang anggota Kepolisian.

"Pada intinya, jajaran kami di Nusa Kambangan siap menerima 145 teroris yang dikirim pagi ini," kata Sri Puguh dalam Breaking News tvOne, Kamis, 10 Mei 2018. Berdasarkan informasi dari Menko Polhukam, 10 tahanan lagi masih ditahan di Mako Brimob.

Sri Puguh menyebut data napi teroris yang akan dipindahkan Kamis pagi dari Depok berjumlah 145 orang, bukan 155 orang seperti data jumlah napi teroris yang dirilis Polri. Namun, berdasarkan informasi dari Menko Polhukam Wiranto, 10 tahanan lagi masih ditahan di Mako Brimob.

Selanjutnya, para napi teroris ini nantinya akan ditempatkan di Lapas Pasir Putih dan Lapas Batu Nusa Kambangan. Ia menyatakan dua lapas itu masih memiliki cukup kapasitas dengan tingkat pengamanan 'high risk'.

"Yang satu (lapas) ada 96 (sel kosong), satu (lapas) lagi 124. Kalau 145 napi masih sangat layak, bahkan mereka ditempatkan dalam satu sel satu orang," kata Sri Puguh dalam Breaking News tvOne, Kamis, 10 Mei 2018.
 
Metode Soft Approach

Tim Pengacara Muslim atau TPM, Achmad Michdan, selaku tim yang mengaku memiliki tiga klien kasus terorisme di Mako Brimob, membenarkan soal makanan menjadi salah satu pemicu utama kerusuhan yang terjadi di tempat tersebut.

Dia mengatakan, belakangan ini para tahanan di Mako Brimob, tidak diperbolehkan untuk menerima makanan dari luar. Padahal, pemberian makanan dari pihak keluarga menjelang puasa dan lebaran biasa dilakukan sejak dulu.

"Tapi memang, belakangan terakhir mereka makanan enggak boleh, kadang-kadang diperiksa secara ketat. Barang kali itu SOP mereka (Kepolisian). Tetapi, itu kemudian menjadi persoalan. Memang, yang menjadi dasar belakangan, termasuk di Nusakambangan, mereka tidak boleh menerima makanan bawaan dari luar," ucap Michdan saat ditemui di Kantor Pusat Mer-C, Jakarta, Kamis 10 Mei 2018.

Hal itu kemudian, diperburuk oleh makanan yang disediakan lapas, yang pada umumnya tidak memenuhi gizi tahanan maupun jumlahnya yang sangat terbatas, sehingga cenderung tidak memenuhi hak-hak kemanusiaan bagi para tahanan. "Mereka tidak bisa apa-apa dan paling tidak adalah bawaan dari keluarga itu harapan dari mereka," paparnya.

Meski begitu, dia juga tak memungkiri kericuhan yang dilakukan tahanan teroris disebabkan oleh persoalan lama yang telah mengkristal, seperti mulai dari proses penangkapan, penahanan, maupun persidangan mereka yang dianggap tidak memenuhi hak-hak asasinya.

"Proses yang selama ini kita ketahui bersama dari mulai penangkapan, penahanan, sampai mereka disidangkan itu banyak hal-hal yang dirasa sebagai pelanggaran hak asasinya. Pada intinya itu. Ya, perlakuan yang paling mendasar mereka sebetulnya punya hak didampingi penasihat hukum. Nah, ini hampir enggak boleh tim pengacara hukum menemani," ucapnya.

Baca: Provokator Kerusuhan Mako Brimob Luka Tembak di Bahu Kiri

Karenanya, dia menegaskan, persoalan yang terjadi di Mako Brimob tersebut merupakan hikmah yang harus dipahami pihak Kepolisian, bahwa penanganan terduga teroris tersebut harus dilakukan secara soft approach (pendekatan lunak).

Sebab, menurutnya, mayoritas terduga kasus teroris adalah orang-orang yang dilabeli sebagai teroris yang kemudian tidak diberikan kesempatan pembelaan hukum, maupun pendampingan hukum.

"Dari banyak kasus penanganan sebelumnya dibanding yang terjadi di Mako, ada hikmah yang baik bahwa dengan cara soft approach itu pada akhirnya enggak terjadi korban, karenanya kami apresiasi Kepolisian," ungkapnya.

Pengamanan Mako Brimob

Disisi lain, Michdan berharap sudah seharusnya seluruh komponen lembaga pemerintahan terkait, seperti Ombudsman, Komisi III DPR RI, maupun Komnas HAM melakukan investigasi mendalam terhadap isu terorisme agar terorisme di dalam negeri bisa dihilangkan.

Dalam kasus kerusuhan di Mako Brimob ini, pemerintah perlu melibatkan tenaga ahli netral, ulama, maupun akademisi untuk meneliti kembali mengenai terorisme secara mendalam. Tujuannya agar membuka secara jelas apa-apa yang mendorong seseorang menjadi teroris dan bagaimana penanganan yang efektif terhadap orang-orang yang terlanjur memiliki pemikiran radikal.
 
"Mungkin pembentukan tim di Mako Brimob atau pembentukan tim khusus di Komisi III dengan melibatkan tenaga ahli supaya mereka tidak hanya kepentingan gelar doktor tentang teroris saja. Tapi mengungkap apa benar mereka teroris? Minta mereka gali itu, menghimpun data," ujar pria yang sudah 18 tahun menjadi pengacara para tersangka kasus terorisme ini. (ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya