SOROT 501

Babak Baru Terorisme 

Pengeboman di Gereja Pantekosta, Surabaya, Minggu (13/05). - AFP
Sumber :
  • bbc

VIVA – Rumah yang berlokasi di Blok K, Perumahan Wisma Indah di wilayah Rungkut, Surabaya, itu jauh dari kesan kumuh. Rumah tersebut terbilang bagus. Ada kanopi yang langsung tersambung dengan garasi, sebuah teras kecil, tembok. Pagarnya juga terlihat kokoh dengan lantai yang mengkilat.

Paus Fransiskus Sebut Israel Lakukan Aksi Terorisme di Gaza

Sebuah halaman kecil di bagian depan rumah dipasangi papan untuk belajar memanah. Dua buah kursi dan satu meja sudut berbahan kayu jati tersedia di teras. Aneka tanaman menghiasi halaman depan, juga di depan pagar. Rumah itu terlihat teduh dan nyaman meski di beberapa bagian catnya mulai mengelupas.

Tak ada tetangga yang menyangka, rumah tersebut ternyata didiami oleh pelaku bom bunuh diri di tiga gereja yang melakukan aksinya pada Minggu pagi, 13 Mei 2018. Dita Oepriarto (47) dan istrinya Puji Kuswati (43), beserta keempat anak mereka telah menjadi penghuni tetap rumah tersebut sejak tahun 2012.

3 Militan Perempuan Sadis di Dunia, Ada yang Meledakkan Dirinya Sendiri

Olah TKP ledakan bom bunuh diri di tiga gereja di Surabaya, Jawa Timur

 

Pelibatan TNI Urus Terorisme Harus atas Keputusan Politik Negara

Polisi melakukan olah TKP pasca ledakan bom di tiga gereja di Surabaya

Tetangga mengenal Dita dan Puji juga anak-anak mereka seperti keluarga pada umumnya. Tak ada yang aneh atau janggal dalam keseharian keluarga tersebut. Dita juga dikenal sebagai pengusaha minyak kemiri, jinten, dan zaitun. Usahanya dikabarkan maju, bahkan hingga menyewa lahan tak jauh dari rumah tersebut untuk area produksi. Pelanggannya banyak, dan mereka datang membawa jerigen menggunakan mobil atau motor.

Khorihan, Ketua RT setempat mengatakan, Dita dan keluarganya hidup normal seperti keluarga lain. "Istrinya juga tak bercadar, dan jika bertemu warga, mereka menyapa dan berbicara seperti umumnya," ujar Kharihan saat dikunjungi VIVA pada Selasa malam, 15 Mei 2018.

Keempat anak Dita dan Puji juga bermain dan bergaul. Dua anak yang paling besar, keduanya laki-laki, kerap bermain bola. Sementara dua anak perempuan yang masih kecil juga bermain sepeda bersama anak-anak lain. Khorihan mengakui, Dita memang tak pernah mengikuti kegiatan keagamaan yang diadakan di kompleks mereka.

"Tapi selebihnya dia biasa saja. Juga melakukan salat jemaah di musala bersama-sama. Dan tak ada yang aneh dengan gerakan salatnya," ujarnya.

Itu sebabnya, ketika nama Dita dan keluarganya mencuat sebagai pelaku bom bunuh diri di tiga gereja di Surabaya yang meledak pada Minggu pagi, 13 Mei 2018,  tetangga sangat kaget. Apalagi, Dita mengajak seluruh keluarganya, termasuk istri dan dua anak perempuannya untuk ikut beraksi.

Aksi mengebom bersama keluarga ternyata tak hanya dilakukan Dita. Minggu malam, di rusunawa di wilayah Wonocolo juga terjadi ledakan. Tiga orang meninggal dunia, mereka adalah bapak, ibu, dan satu anaknya. Satu anak lain selamat dan kini masih dalam perawatan di rumah sakit. Polisi mengatakan, keluarga tersebut tewas oleh bom rakitan mereka sendiri.

Senin, 14 Mei 2018, satu keluarga yang berboncengan menggunakan dua motor juga melakukan hal yang sama. Rombongan yang terdiri dari bapak, ibu dan tiga anak ini mencoba menerobos pintu gerbang Mapolrestabes Surabaya. Namun mereka dihentikan di pintu masuk. Tak lama bom meledak, empat orang pembawa bom tewas. Tapi salah seorang anak perempuan ternyata selamat setelah sempat terlontar.

Lokasi ledakan bom di Mapolrestabes Surabaya

Aksi Dita dan dua keluarga lain membuat Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini menangis tak berhenti. Risma mungkin tak pernah menduga, kota yang ia bangun dengan penuh harapan dan cinta itu menjadi sasaran aksi terorisme. Ia lebih terluka lagi ketika tahu bahwa para pelaku mengajak serta anak-anak mereka dalam aksinya. 

Anak dalam Lingkaran Terorisme

Pelibatan anak-anak dalam aksi terorisme yang terjadi di Surabaya memunculkan kengerian baru. Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengaku sangat prihatin. "Pelibatan anak-anak baru pertama di Indonesia. Memprihatinkan," ujar Tito.

Menurut Tito, serangan bom menggunakan perempuan dan anak-anak selama ini kerap dilakukan oleh kelompok militan ISIS atau Negara Islam Irak dan Suriah. Pola yang terjadi di Indonesia, ujar Tito, menunjukkan adanya keterkaitan antara jaringan militan di Indonesia dengan di Irak dan Suriah. 

Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian

Kapolri, Jenderal Tito Karnavian 

Pengamat terorisme Al Chaidar juga menengarai Jaringan Anshorut Daulah (JAD) memiliki kaitan dengan ISIS. "Jaringan yang lebih dominan saat ini memang ISIS yang bernama Jaringan Anshorut Daulah (JAD)," ujarnya kepada VIVA, Kamis, 17 Mei 2018.

Tapi Al Chaidar mengaku tak paham mengapa ada anak-anak dalam aksi di Surabaya. Ia mengaku sering melakukan penelitian tentang keluarga teroris. Menurutnya, biasanya rasa sayang orangtua kepada anak sangat besar sekali. "Bahkan mereka secara dunia itu betul-betul itu hidupnya untuk anak mereka, bahkan biasanya mereka itu saking protektifnya terhadap anak itu, anak mereka itu tidak boleh disekolahkan di tempat yang lain," ujarnya menambahkan.

Aktivitas bersama keluarga itu sangat penting, ujar Al Chaidar, sehingga mereka itu lebih menginginkan banyak menghabiskan waktu bersama keluarganya. Jadi setelah pulang sekolah itu biasanya anak-anaknya itu langsung diambil oleh orangtuanya. Dan biasanya mereka tak pernah marah pada anak-anaknya.

Pria yang banyak menulis buku mengenai terorisme ini mengakui, bahwa pelibatan perempuan dalam aksi teror sudah banyak terjadi di luar negeri. "Di Palestina malah sudah dilakukan sejak 1995-1996, kalau tak salah," tuturnya.

Serangan bom yang dilakukan bersama oleh suami-istri juga sudah banyak dilakukan di Suriah. Tapi melibatkan anak bagi Al Chaidar, baru sekali ini ia dengar. "Kalau anak dipersiapkan atau dilatih untuk memegang senjata, menembak, itu sudah banyak. Tapi kalau untuk amaliyat itu belum ada. Kalau untuk idad (pelatihan) itu banyak, dan itu biasa lah. Tapi kalau untuk melakukan amaliyat saya rasa baru kali ini, dan itu sangat mengejutkan," ujarnya menjelaskan.

Ia bahkan mempertanyakan ayat dan hadist yang digunakan para pelaku untuk membawa serta anak-anak mereka. "Ayatnya apa, hadistnya apa? Itu tidak ketemu. Fatwanya pun, mungkin ada fatwa dari ulama, itu tidak ada fatwanya untuk anak-anak berjihad melakukan bom bunuh diri itu, tidak ketemu kita itu. Itu aneh sekali," ujarnya mempertanyakan. 

Foto keluarga Dita Upriyanto saat penggerebekan rumah terduga teroris di kawasan Wonorejo Asri, Rungkut, Surabaya

Al Chaidar menengarai, ada beberapa hal yang menjadi alasan, mengapa kini anak-anak dilibatkan. Pertama, ia menduga ini adalah semacam pesan yang ingin disampaikan pada  Amerika, Israel, Rusia, dan negara-negara maju lainnya yang menyerang anak-anak di Afganistan, Suriah, Irak, Palestina dan lain sebagainya. Mereka ingin menyatakan kepada negara-negara maju itu bahwa anak-anak mereka bisa melakukan atau menuntut balas. Hanya saja, kejadiannya di Suriah, tapi menuntut balasnya di Indonesia.

Kedua, ia menduga pelaku sangat terpengaruh dengan Surat At-Tahrim (QS:66) ayat 6 yang berbunyi, "Ku anfusakum waahlikum naarra" yang artinya, "Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka." Menurut Chaidar, dalam kondisi ini bisa saja orangtua beranggapan. Jika hanya orangtua yang berjihad dan kemudian meninggal, maka keluarganya tidak terurus, bahkan keluarganya itu bisa masuk neraka. Jadi mereka ingin memasukkan anak-anak itu ke dalam serangan bersama.

Hal yang ketiga adalah karena ada kepercayaan teologis, yaitu mereka ingin masuk surga bersama. Chaidar meyakini, kepercayaan teologis yang sangat kuat itulah yang menyebabkan mereka melakukan penyerangan bersama-sama anak-anaknya. Karena mereka berkeyakinan bahwa orang yang mati karena melakukan bom bunuh diri atau jihad itu akan masuk surga. Dan mereka ingin masuk surga bersama.

Mantan anggota Jamaah Islamiyah, Nasir Abbas juga menyatakan keheranannya dengan aksi teror yang melibatkan anak-anak. "Ini akal-akalan mereka. Ya minimal ini modus baru. Belum pernah terjadi di dunia, di tempat konflik sekalipun, pelaku melibatkan anaknya yang umur sembilan tahun. Ini enggak pernah terjadi di belahan dunia manapun," ujarnya.

"Anak-anak ini kan nurut sama ortu. Jadi apa saja yang diperintahkan orangtuanya, mereka akan menurut. Apa lagi kalau anaknya baru berusia sembilan tahun. Kecuali anaknya sudah berusia 20 tahun." ujar Nasir menambahkan.

Direktur Komunikasi Badan Intelijen Negara Wawan Putranto sependapat dengan Tito. Wawan menduga, aksi pelibatan anak-anak adalah meniru dari luar.  "Pola itu biasanya meniru dari luar. Misalnya mereka yang di luar sana pernah melakukan apa, di sini mereka akan mengikuti pola itu. Di sini itu dulu pernah ada yang namanya pola bom remote di bom Bali II, kemudian ada bom motor yang menabrakkan dirinya, ini meniru apa yang dilakukan di Afganistan, Pakistan. Di sana kan begitu juga pola terornya," ujarnya.

Wawan yakin, peniruan itu memang terjadi karena perubahan pola yang terjadi di sini sangat bergantung dengan perubahan atau yang terjadi di 'sana.' Jadi, ketika sekarang di sini melibatkan perempuan dan anak, itu terjadi karena 'di sana' juga sudah lebih dulu melakukannya.

Jaringan ISIS Menguat?

Aksi teror yang beruntun dan menyasar polisi disikapi Tito dengan ketegasan. Di acara Indonesia Lawyers Club atau ILC tvOne, Tito dengan gamblang menceritakan bagaimana pergerakan jaringan terorisme di Indonesia makin menguat. 

Tito mengatakan, pada 2010 ada tiga jaringan besar, yaitu Jamaah Islamiyah, Taufiq wal Jihad, dan NII ring Banten. Tapi ketika para pentolan kelompok ini di penjara di LP Cipinang, mereka saling berkoordinasi. Ketika tahun 2014 ISIS mendeklarasikan berdirinya Khilafah, maka mereka di sini mendeklarasikan berdirinya Jamaah Anshorut Tauhid, dan akhirnya menjadi Jamaah Anshorut Daulah. Tito mengatakan, hal paling berbahaya dari kelompok ini adalah berkembangnya ideologi 'takfiri,' atau mudah mengkafirkan.

"Suriah lalu dideklarasikan sebagai daulah. sedangkan Indonesia dianggap masih wilayah perang. Itu sebabnya banyak warga Indonesia yang berangkat ke Suriah. Mereka ingin tinggal di sana," ujar Tito.

Ketika ISIS Internasional berhasil ditekan oleh kekuatan-kekuatan besar, termasuk pemerintah Suriah, juga Barat dan Rusia, serta kota-kota di Irak berhasil direbut kembali. Kekuatan ISIS di Suriah dan Irak mulai goyah, maka Baghdadi memberikan instruksi kepada jaringan mereka di seluruh dunia untuk melancarkan serangan besar untuk mengalihkan perhatian. Di Indonesia JAT yang berubah jadi JAD juga bagian yang mendapat instruksi itu.

"Jadi ketika ada kasus Brimob, kami langsung sadar, ini tak sekedar masalah makanan," ujar Tito. Kekhawatiran Tito terbukti. Anggota mereka berdatangan ke Mako Brimob. Dua ditembak mati, beberapa ditahan, termasuk dua perempuan, ada juga yang dicegat di jalan.

Selain itu, Kepolisian juga mewaspadai gelombang kembalinya warga Indonesia dari Suriah. Setelah sadar di Suriah tak mendapat apa-apa, dan kemudian ISIS goyah, sebagian di antara mereka memilih kembali dengan sadar ke Indonesia. Sebagian lainnya kembali karena dideportasi.

Pelaku penyerangan aksi terorisme di Mapolda Riau

Bagi Kepolisian, ujar Tito, mereka yang kembali dari Suriah tak bisa diperlakukan sama seperti warga biasa. Sebab, meski di antara mereka ada yang kembali karena kecewa, tapi ideologi mereka sudah terbentuk. "Pemahaman mereka adalah pemahaman takfiri, dan itu adalah ancaman," ujar Tito, Selasa, 15 Mei 2018.

Kepolisian mengaku tak bisa bertindak lebih jauh untuk menghentikan mereka, karena tak ada payung hukum yang kuat untuk mereka melangkah. Itu sebabnya ia menginginkan agar RUU Terorisme yang sudah dua tahun tertahan di DPR bisa segera disahkan. Tito mengakui, permohonan revisi UU datang dari pihaknya. Tapi tujuannya jelas, untuk mencegah meluasnya pemahaman radikal.

"Kami berharap mereka yang bisa kembali dari Suriah bisa diproses secara hukum. supaya setelah mereka kembali bisa kita monitor. Saat ini kita menghadapi orang-orang terlatih yang tahu cara menghadapi monitoring intelijen," ujarnya.

Wawan Putranto juga mengakui peran ISIS dalam aki teror terhadap polisi yang terjadi sejak Mako Brimob hingga Polda Riau. Wawan mengatakan, dua pentolan teroris Indonesia, yaitu Aman Abdurrahman (pemimpin Jamaah Anshorut Daulah) dan Abu Bakar Ba'asyir (pemimpin Jamaah Islamiyah) dengan kelompok mereka telah berbaiat ke ISIS. Jadi apa saja perintah ISIS, maka di sini akan melakukan.

"Seruan dari ISIS itu meminta  sel-sel ISIS ini bergerak di mana saja, di negara masing-masing. Oleh karena itu, mereka yang di Indonesia ini, pengejawantahannya itu ya ke situ. Mereka ingin menyerang polisi-polisi di seluruh wilayah ini," ujarnya menjelaskan.

Tapi, karena penjagaannya sangat ketat (Mako Brimob) itu, mereka engga bisa menyerang ke sana ke mari, maka mulailah mereka mencari titik-titik alternatif untuk melakukan serangan. Titik alternatif itu adalah rumah ibadah. "Tapi sasaran utamanya tetap polisi juga, karena mereka tertahan di pintu masuk, jadi hanya bisa sampai di gerbang."

Menangkal Terorisme, Menyelamatkan Banyak Nyawa

Kasus penanganan teroris atau mereka yang sudah terpapar paham radikal sebenarnya sudah diantisipasi. Pemerintah sudah membentuk Badan Nasional Penanggulangan Terorisme atau BNPT. Namun ternyata dalam pelaksanaannya tak mudah. Tak semua terduga teroris atau mereka yang berpaham radikal langsung menjadi bagian dalam pengawasan BNPT.

Kepala BNPT Suhardi Alius mengatakan, BNPT baru terlibat ketika mereka sudah divonis, sudah menjadi narapidana, kemudian diserahkan ke lapas. "Nah baru lah kita masuk di situ, program deradikalisasi," ujarnya kepada VIVA, Kamis, 17 Mei 2018.

Ia menampik lembaganya dianggap gagal melakukan proses deradikalisasi. Menurut Suhardi, tak banyak yang paham apa yang saat ini dilakukan BNPT. Padahal, ada dua program besar hingga saat ini, yang pertama adalah melaksanakan program deradikalisasi yang ditujukan kepada para narapidana teroris yang di dalam lapas atau yang di luar lapas atau yang sudah terpapar radikalisme. Kedua, adalah melakukan deradikalisasi pada keluarga napi teroris.

BNPT Gelar Rapat Koordinasi Program Deradikalisasi

BNPT menggelar program deradikalisasi

Selain itu, BNPT juga melakukan upaya pencegahan dengan melakukan sosialisasi ke kampus dan sekolah-sekolah untuk menyampaikan program deradikalisasi. Suhardi mengakui, tak semua kelompok bersedia bergabung, termasuk para simpatisan gerakan radikalisme. Ia juga merujuk UU Terorisme yang ada sekarang tak memberi ruang untuk menangkap mereka yang diduga terlibat jaringan, kecuali mereka sudah jelas melakukan kejahatan. Itu sebabnya, sepertinya halnya Kapolri Tito Karnavian, Suhardi juga menginginkan revisi RUU Terorisme segera disahkan agar penanganan terorisme bisa maksimal. 

Sementara Wawan Putranto mengatakan, pihaknya selalu siap memberi dukungan informasi bagi semua lembaga. "Mereka kan tak harus dibunuh atau dihabiskan. Tugas kita adalah membuat pikiran mereka kembali normal. Kalau perlu, yang sudah tobat dipisahkan dari mereka, supaya tidak balik lagi pikirannya. Begitu juga di tahanan, selnya harus terpisah," ujarnya.

Wawan mengatakan, ini menjadi tugas bersama dengan kementerian atau lembaga terkait, Kepolisian, TNI, termasuk juga Kementerian Agama, Kementerian Sosial, MUI, dan Pemda. "Dalam proses pembinaan, tak hanya psikiater yang harus terlibat aktif, juga tokoh agama, tokoh masyarakat yang memang cukup dipandang oleh mereka. Karena yang mau kita ubah adalah 'soft ware' mereka. Dan tak mudah mengubah itu," ujarnya menambahkan.

Menyadari tak mudah mengubah pemikiran seseorang yang sudah terlanjur terpapar radikalisme, Kementerian Sosial yang ikut terlibat dalam program ini memberikan penanganan secara komprehensif. Ada empat kegiatan utama yang menjadi penanganan kementerian ini, yaitu edukasi, konseling, rehabilitasi sosial, dan pendampingan sosial.

"Edukasi mencakup tentang pendidikan, ideologi, nasionalisme. Untuk konseling, adalah tentang bahaya teroris. Rehabilitasi sosial dilakukan sebelum mereka kembali ke tempatnya masing-masing. Di tahapan rehabilitasi ada pembimbingan mental, psiko sosial, juga keterampilan. Lalu setelah mereka kembali, ada pendampingan sosial. Ketika sudah dipulangkan maka daerah lah yang mendampingi," ujar Nahar, Direktur Rehabilitasi Sosial Anak, Dirjen Rehabilitasi Sosial Kemensos.

Kepala BNPT mengakui, belum semua upaya yang sudah dilakukan berjalan efektif. Namun ia mengatakan, upaya itu tak akan berhenti. Ia juga berharap RUU Terorisme bisa segera diselesaikan, karena itu adalah instrumen yang bisa membuat mereka bekerja dengan maksimal.

Harapan segera disahkannya RUU Terorisme juga disampaikan oleh Kapolri Tito Karnavian. Tito berpendapat, UU ini banyak nilai positifnya. "Karena isinya tidak melulu keras, tapi juga soft karena ada pembinaan, peningkatan ekonomi, dan lain lain. Dan soft approach ini tak cukup dilakukan oleh satu instansi saja," ujarnya.

Tito menegaskan, mereka adalah orang-orang yang terlatih, bahkan tahu bagaimana menggunakan senjata, jadi penanganannya harus serius dan membutuhkan tim yang solid agar informasi tak mudah bocor, termasuk menyediakan lapas dengan tingkat keamanan maksimal.

Bagi Tito, meski mereka adalah pelaku, tapi mereka juga korban atas penyebaran ideologi yang salah. Dengan pandangan seperti itu, maka ia memilih terus mengedepankan pendekatan lunak.

Tito bisa benar, mereka yang saat ini menjadi pelaku teror adalah sekaligus korban dari penyebaran ideologi yang salah. Permasalahannya, jika sudah bicara keyakinan, maka sulit memberitahu bahwa mereka berada di jalan ideologi yang salah.

Tapi, upaya penyadaran tentu tak bisa berhenti. Bagaimana pun, negeri ini pasti tak berharap ada Dita, Anton, dan Tri yang baru, yang dengan tega melibatkan anak dan istri mereka dalam aksi kekerasan hingga bunuh diri dengan dalih membela agama dan bertemu kembali di surga.

Negeri ini pasti menginginkan warganya hidup dalam iklim yang penuh cinta, saling menghargai perbedaan, dan tak perlu meledakkan diri hanya karena berharap meraih surga secepatnya dengan cara menyakitkan. (mus)

Baca Juga

Transformasi Terorisme di Indonesia

Menakar Taktik Kikis Teroris

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya