SOROT 541

Golput, Dulu dan Sekarang

Demonstrasi mendukung Golput itu Halal
Sumber :
  • Antara/ Fanny Octavianus

VIVA – Tahun 1971, atau 48 tahun yang lalu Arief Budiman dan para aktivis mendeklarasikan gerakan moral untuk tak memilih partai tertentu dalam Pemilu. Kekecewaan pada sistem dan ketidakpercayaan pada penyelenggara pemerintahan dan penyelenggara Pemilu menjadi penyebabnya. Kini, gerakan moral yang digaungkan Arief Budiman masih tetap relevan meski zaman terus bergerak dengan cepat.

AROPI: Dibanding Musim Pemilu 2019, Tingkat Kepercayaan Terhadap Lembaga Survei Naik 7,6%

Bulan April 2019, warga negeri ini akan menentukan nasibnya melalui pemilihan wakil rakyat dan pemilihan presiden. Gelaran Pemilu legislatif berbarengan dengan pemilihan presiden akan menentukan siapa yang akan memimpin negeri ini lima tahun ke depan. Hanya ada dua paslon yang tersedia, yaitu pasangan petahana bernomor urut 01, Joko Widodo dengan cawapres KH. Ma'ruf Amin dan pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, dengan nomor urut 02.

Seorang pria melintasi baliho sosialisasi Pemilu 2019.

50 Ribu Warga Aceh Besar Tidak Nyoblos saat Pemilu 2024

Baliho sosialisasi Pemilu

Sengitnya pertarungan pendukung dua kubu semarak di media sosial. Kedua kubu saling menyampaikan keunggulan calon yang mereka dukung, sekaligus menampilkan kesalahan calon kubu lawan. Fanatisme para pendukung bahkan begitu sangar sehingga sering kali membuat risih mereka yang berada pada garis netral.

Ratusan Warga Kalbar Pilih Golput untuk Pertahankan Wilayah

Di tengah ketat dan hiruk pikuk persaingan, satu kelompok masyarakat yang tak yakin ada perubahan yang telah terjadi atau akan terjadi memutuskan tak akan memberikan suara mereka dalam pemilu kali ini. Sebagian di antaranya bahkan pernah menjadi pendukung paslon 01. Tapi kekecewaan membuat mereka kali ini memilih menjadi golongan putih atau golput, yaitu tak memberikan suara mereka dalam pemilu kali ini. 

Salah satu diantara mereka yang dengan sadar memutuskan tak memilih adalah Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia atau YLBHI Asfinawati. Ia secara terbuka mengaku memutuskan untuk golput karena tak ada calon yang layak dipilih. Ia mengaku bisa saja berubah pikiran jika terjadi perubahan besar yang luar biasa. Tapi ia pesimis. April tinggal dua bulan, rasanya tak ada perubahan besar yang akan terjadi.

"Saya merasa tidak ada harapan sama sekali dari kedua paslon, artinya sama saja. Saya sadar betul, dalam advokasi lima tahun ini ketika sudah memerintah, mereka akan mengatakan, yang menentukan pemerintahan ini bukan hanya presiden dan wakil presiden saja, ini ada menteri, ada DPR RI, dan lain sebagainya," ujarnya kepada VIVA, Rabu, 21 Februari 2019.

Ketua YLBHI Asfinawati

Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia atau YLBHI Asfinawati.?

Asfinawati tak sendiri. Sejumlah aktivis hak asasi manusia, aktivis gender, dan kelompok terpelajar lainnya mulai mendeklarasikan pilihan mereka untuk tak memilih alias golput.  Jumlah mereka yang memilih golput diprediksi meningkat.  Data KPU menunjukkan pemilih terdaftar yang tak memilih pada pemilu 2009 berjumlah 48,3 juta orang. Angka ini meningkat menjadi 58,9 juta pada 2014, atau 30,4 persen dari sekitar 190 juta pemilih. 

Pada pemilu 2019 ini, KPU menetapkan jumlah pemilih 192.828.520 orang. Jika tren Golput sama dengan Pemilu sebelumnya, diperkirakan ada sekitar 60 juta pemilih yang tidak akan memilih. Namun jika tren itu naik jadi 40 persen, bisa dipastikan justru "suara" Golput akan lebih besar dari kemungkinan perolehan suara masing-masing capres. Angka Golput 40 persen setara dengan 77.131.408 suara. Artinya, kedua capres hanya memperebutkan sekitar 115 juta suara, dengan survei yang menyebutkan selisihnya tidak akan besar.

Gerakan golongan putih yang dideklarasikan pada 48 tahun lalu tetap menjadi pilihan bagi mereka yang tak yakin bahwa pemilu akan memberi perubahan besar bagi kehidupan negeri ini. 

Arief Budiman, Deklarator Golput

Gonjang ganjing tragedi politik pada 30 September 1965 berujung pada digantinya Presiden Soekarno oleh Letjen Soeharto. Selama empat tahun Soeharto memegang tampuk pimpinan tertinggi di negeri ini. Pada 5 Juli 1971, Pemilu pertama setelah tragedi berdarah itu digelar. Pemilu ini didengungkan sebagai upaya untuk menciptakan kehidupan yang demokratis setelah rangkaian peristiwa politik yang membuat negara terus berada dalam kondisi tak stabil. Sayangnya, upaya Soeharto untuk mempertahankan kekuasaan begitu kental, sehingga upaya melegitimasi kekuasaan melalui Pemilu lebih kentara. 

Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian.

Pemilu 2024 Lebih Teduh Dibanding 2019

Pelaksanaan Pemilu 2024, yang rekapitulasi suara tuntas dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum, KPU pada Rabu malam, 20 Maret 2024, dinilai sangat kondusif. Dibanding 2019.

img_title
VIVA.co.id
21 Maret 2024