- ANTARA/Prasetyo Utomo
VIVAnews–Masa buram itu masih hinggap di ingatan. Jhony Sardjono Tjitrokusomo. Didapuk menjadi Direktur Utama Merpati 27 Mei 2010, ketika perusahaan itu sedang terbang ke titik nadir. Jhony membedah situasi. Dari pesawat hingga karyawan. Semua buram.
Merpati cuma punya tujuh pesawat. Itu pun bukan pesawat baru. Pesawat andalan mereka, ATR 72, sudah lumpuh. Beberapa pesawat CN-235 yang sudah lama beroperasi, teronggok di sejumlah tempat. Dua di Medan. Empat di Surabaya.
Pembukuan juga buram. Membuka hitung-hitungan keuangan hanya membuat kepala pening. "Waktu itu hutang dan tunggakan kami bejibun,” kata Jhony kepada VIVAnews, Kamis 12 Mei 2011. Hutang Merpati saat itu tak kurang dari US$24,88 juta.
Hutang segunung, setoran cicilan terseok-seok. Sejumlah perusahaan penyewa pesawat sudah naik pitam. Mengumbar ancaman. Menarik pesawat jika setoran seret terus-terusan.
Jhony mengisahkan, saat itu dua tim dari Jetscape aviation, lessor atau perusahaan yang menyewakan pesawat kepada Merpati, sudah bersiaga di Hotel Sheraton Bandara Sukarno Hatta Jakarta. Mereka siap mengangkut pesawat yang pembayarannya lama menunggak.
Keuangan perusahaan terus tersuruk. Dan penderitaan itu lengkap sudah sebab gaji karyawan sulit dibayar. Tiga bulan tersendat. Jumlah karyawan 1400. Gaji mereka sepanjang Maret, April dan Mei 2010 terpaksa dicicil dua kali.
Suatu ketika Jhony membaca dokumen perjanjian kontrak MA-60 dan mengaduk-aduk sejumlah dokumen di kantornya. Dia menemukan addendum. Kontrak pembelian 15 pesawat Xian MA60 dengan suku bunga yang ringan. Buru-buru Jhony membaca dan mengecek isi kontrak itu. Ternyata izin prinsip maupun skema pembiayaan sudah tersedia.
Peluang di depan mata itu langsung disambar. Direktur Utama ini memanggil tim legal. Meminta opini dari sisi hukum. Tim itu menegaskan bahwa kontrak itu belum mati. Jhony girang bukan kepalang. Siapa tahu pembelian MA-60 itu bisa menjadi malaikat penyelamat Merpati, yang keuangannya terus menukik menurun.