- iStock
VIVAnews – Tahun 2013, pengguna mobile data di Indonesia hanya mampu merasakan kecepatan internet sekitar 512 Kbps sampai 1 Mbps. Kini, setelah layanan Long-Term Evolution alias 4G LTE di komersilkan, masyarakat diiming-imingi kecepatan data hingga ratusan Kbps. Namun ternyata kecepatannya tidak seperti apa yang diharapkan.
Kecepatan LTE di Indonesia memang belum maksimal. Teorinya, sebuah layanan LTE bisa menghadirkan kecepatan hingga 100Mbps lebih. Namun para operator yang bertanggung jawab mengkomersilkan layanan tersebut mengaku jika kecepatan LTE mereka maksimal hanya 36 Mbps saja. Indosat bahkan mengaku tidak antusias dengan kecepatan ini karena pada dasarnya, layanan 3G mereka diyakini mampu memliki kecepatan lebih ketimbang 4G.
“Dikasih yang lebih pelan dari 3G ya, tidak semangat. Kecepatan 4G di 900 MHz (TDD LTE) dengan lebar pita 5 MHz baru bisa 36 Mbps, sedangkan di jaringan 3G, kami mencapai hingga 42 Mbps,” ujar Dirut Indosat, Alexander Rusli.
Menurut Alexander, kecepatan LTE akan lebih terasa bedanya jika mereka bisa bermain di 1,8 GHz (FDD LTE). Tidak seperti Indosat yang blak-blakan dengan pesimismenya, meski senada, Telkomsel dan XL terlihat lebih comply. Pasalnya, dua operator terbesar di Indonesia itu diberi kesempatan lebih dulu untuk menggelar LTE. Total ketiga operator itu telah menguasai 83 persen pangsa pasar seluler Indonesia.
Riset GSMA Intelligence menunjukkan jika Indonesia bisa mendapatkan 10 juta koneksi LTE dalam kurun dua tahun sejak komersialisasi terjadi. Dengan catatan, jika masalah regulasi bisa ditangani dengan baik. Menurut mereka, meski Indonesia berhasil melakukan migrasi 3G namun untuk urusan LTE, prospek di Indonesia masih terganjal masalah regulasi.
“Regulator Indonesia menetapkan 1,8GHz sebagai frekuensi yang ideal, namun butuh proses refarming untuk ‘membersihkannya’ sehingga bisa maksimal digunakan. Frekuensi lainnya yang potensial adalah 2,6 GHz, namun spektrum ini berpotensi bergesekan dengan TV berbayar, satelit dan layanan penyiaran lain,” ujar Joss Gillet, Senior Analis dari GSMA Intelligence.
Menurut Gillet, Indonesia memiliki potensi besar untuk mendukung perkembangan layanan LTE. Dengan sedikitnya 10 juta pengguna, sama dengan 11 persen dari total koneksi LTE di Asia Pasifik. Prediksi ini hampir sama dengan target yang digelontorkan para operator penggelar LTE. Telkomsel dan XL misalnya, yang menargetkan masing-masing 3 juta pelanggan LTE di 2015 nanti. Jika ditambah dengan Indosat dan Smartfren, yang juga akan menggeber LTE di tahun depan, bisa jadi jumlah itu akan tercapai. Beberapa wilayah yang menjadi target adalah kota-kota besar seperti Jakarta, Bogor,atau Bali.
Banyak Tantangan
Gelaran layanan 4G LTE di frekuensi 900 MHz ini dianggap sebagai pemborosan yang dilakukan operator hanya untuk memenuhi regulasi dan melengkapi roadmap telekomunikasi di Indonesia. Ekosistem yang belum matang, isu regulasi, dan keterbatasan frekuensi menyebabkan banyak orang pesimis dengan layanan ini.
“Langkah pemerintah memaksakan 4G di 900 Mhz terkesan hanya memenuhi jadwal adanya FDD LTE pada 2014. Pemerintah minta operator jangan jualan saja, tetapi pemerintah tahu sebenarnya barang yang dijual tak ideal. Ini seperti mengalihkan beban ke operator.
Bagi operator, ini jelas secara investasi jadi boros karena tak ideal dan optimal memberikan layanan mengingat kondisi di 900 Mhz. Dari sisi kompetisi pemerintah tak memberikan equal treatment karena di spektrum itu tak semua memiliki alokasi,” ujar pengamat telekomunikasi dari Indotelko Forum, Doni Darwin.
Menurutnya, pemerintah masih bisa memperbaiki langkah dengan menetralkan 1800 dan 2,1 Ghz agar minimal ada agregasi kanal. Tahun depan, kata dia, beberapa vendor mulai keluarkan smartphone dengan teknologi Tri Band CA (carrier agregation). Ini menunjukkan mulai adanya ekosistem LTE.
Pemerintah memang berencana akan membuka 1,8GHz untuk LTE di tahun depan. Pasalnya, hampir semua operator LTE dunia menggunakan frekuensi ini. Menurut data Global mobile Suppliers Association (GSA), ada sekitar 331 layanan LTE di dunia dengan asumsi 291 layanan berbasis FDD dan hanya 27 yang berbasis TDD. Di Indonesia, operator hanya diberi jatah maksimal 5 MHz di frekuensi 900 MHz tersebut. Sedangkan di spektrum 1.800 MHz, frekuensi yang tersedia mencapai 75 MHz, dimana Telkomsel menguasai 22,5 MHz,
Indosat 20 MHz, XL 22,5 MHz, dan sisanya Tri dengan 10 MHz. Namun sayangnya, blok frekuensi itu terpisah-pisah. Asumsinya, semakin lebar pita frekuensi maka semakin baik kualitas yang dihadirkan.
“Pemerintah menggunakan alasan posisi yang tak ideal itu untuk menunda dibukanya 4G di 1.800 MHz. Pemikiran pemerintah adalah, jika frekuensi 1.800 MHz dinetralkan, akan semakin sulit menatanya ke depan. Padahal, frekuensi ini salah satu andalan untuk melayani pelanggan 2G di Indonesia,” ujar Doni.
Selain masalah frekuensi, vendor handset juga belum banyak yang menggelontorkan smartphone LTE di jaringan 900 MHz. Jika pun ada, harganya masih sangat mahal. Sebut saja buatan Samsung atau LG yang harganya mencapai Rp6 jutaan.
Harapan satu-satunya adalah dengan mengandalkan keterlibatan vendor lokal. Mereka dipercaya mampu menghadirkan handset LTE dengan harga murah. Bahkan beberapa vendor seperti Evercoss, Mito dan Advan, yang notabene telah memiliki pabrik perakitan ponsel di daerah, telah berkomitmen untuk menggelontorkan smartphone LTE dengan harga Rp1 jutaan di tahun 2015.
Yang menjadi kendala adalah, ekosistem dan antusias pengguna yang belum terlihat, membuat vendor memilih untuk wait and see. Pasalnya, tidak mungkin juga bagi mereka untuk memproduksi handset dalam jumlah yang besar jika peminatnya belum terlihat. Tidak heran jika mereka pun berharap ada niat baik pemerintah untuk memberikan mereka insentif dalam memproduksi handset 4G LTE.
Study GSA melaporkan jika cakupan LTE di pita 1800 MHz di suatu wilayah lebih murah 60 persen ketimbang cakupan di wilayah yang sama dengan menggunakan pita frekuensi lebih tinggi. Bahkan pengembangan LTE di frekuensi tersebut akan lebih cepat diadopsi pasar pengguna akhir. Ericsson Mobility Report baru-baru ini juga memberikan solusi adanya adopsi LTE-Advanced (LTE-A), yaitu memadukan frekuensi yang dimiliki untuk dimanfaatkan secara maksimal.
Gelaran layanan 4G LTE di frekuensi 900 MHz dianggap sebagai pemborosan. (Foto: www.cnmeonline.com)
Turunnya Layanan SMS dan Suara
Ericsson Mobility Report juga menunjukkan jika konsumsi mobile data akan semakin meningkat seiring dengan semakin cepatnya akses data. Bahkan mobile video akan memberikan kontribusi terhadap konsumsi data terbesar. Sayangnya, kebanyakan konten yang ada, termasuk mobile video, berasal dari luar atau OTT besar, macam YouTube dan Netflix.
Dalam masa itu, layanan suara dan SMS, yang membutuhkan koneksi tradisional jaringan generasi kedua akan semakin tergantikan oleh layanan berbasis internet. SMS digantikan dengan instan messaging atau pesan singkat macam WhatsApp, Blackberry Messenger, Wechat, Line dan Kakaotalk. Sedangkan layanan panggilan suara akan semakin menurun penggunaannya digantikan oleh layanan Voice over Internet Protocol (VoIP) seperti Skype, Viber atau Tango.
Di 2014, dalam sebulan, konsumsi data rata-rata tiap smartphone per bulannya mencapai 0,9 GB. Sedangkan tablet mencapai 1,9 GB dan konsumsi data di PC mencapai 4,3 GB. Dengan 4G LTE, tahun depan, angka ini diprediksi akan naik hampir 30 persen, seiring dengan meningkatnya pengguna smartphone dan dukungan akses cepat 4G LTE. (ren)