SOROT 332

Sampah Bawa Berkah

Santri Ponpes Al Ashriyyah Nurul Iman sedang memilah sampah untuk didaur ulang.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Mustakim

VIVA.co.id - Pagi itu, sejumlah remaja beragam usia terlihat sibuk. Ada yang duduk sembari menunduk, berjongkok, dan ada juga yang berdiri.

Mereka Hidup dari Gundukan Sampah

Posisi mereka beragam. Namun, mereka sibuk kerjakan hal yang sama: memilih dan memilah sampah yang berserakan.

Mereka berjibaku dengan sampah yang menumpuk. Berbagai jenis sampah mereka aduk-aduk, guna dipilih dan dipilah sesuai jenisnya.

Denda Sampah Rp500 Ribu Tak Efektif, DKI Pakai Cara Ini

Sesekali terdengar gurau dan canda renyah dari para remaja ini. Meski bergumul sampah, tak tampak mimik jijik dari wajah para pria tanggung ini.

Sebaliknya, mereka bekerja dengan semangat meski tubuh dan dahi mulai berkeringat. Sejauh mata memandang, tampak sampah berserakan.

Dibuang Sayang

Ada beragam jenis sampah di tempat ini, mulai dari plastik, kertas, besi, kardus, botol juga jenis sampah lain. Tak jauh dari mereka, terlihat mesin pencacah plastik dan mesin untuk mengolah sampah menjadi pupuk kompos.

Para remaja ini adalah santri Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman. Daur ulang sampah merupakan salah satu unit bisnis di boarding school yang terletak di Desa Waru Jaya, Parung, Bogor, Jawa Barat ini.

Wakil Ketua Divisi Daur Ulang, Khosyiin (23) mengatakan, ada sekitar 22 santri yang terlibat dalam daur ulang sampah, mulai dari mengambil sampah hingga membersihkan dan memilah. Setiap pagi, mereka menyisir pesantren guna memungut sampah.

Gundukan sampah di Ponpes Al Ashriyyah Nurul Iman siap untuk didaur ulang

Gundukan sampah di Pondok Pesantren Al Ashriyyah Nurul Iman siap untuk didaur ulang. Foto: VIVA.co.id/Mustakim

Setelah itu mereka akan membersihkan dan memilah sampah sesuai jenisnya. “Tiap hari kerja. Kalau kita rehat sehari saja dampaknya sampah di pondok akan menumpuk,” ujar mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa Arab ini kepada VIVA.co.id , Selasa, 17 Februari 2015.

Mahasiswa semester VIII ini menjelaskan, saat ini ia dan rekan-rekannya di Divisi Daur Ulang hanya memilah dan mengolah sampah kering. Sementara untuk sampah basah dan organik ditangani Unit Bisnis Peternakan.

Hal itu dilakukan karena unit peternakan juga mengelola limbah atau kotoran sapi dan kambing. “Di sini kita fokus memilah sampah kering. Untuk sampah organik kita minta bagian peternakan, supaya mereka juga punya pemasukan,” ujar santri asal Kabupaten Indramayu ini menambahkan.

Selain itu, sampah-sampah ini juga dibuat aneka barang kerajinan. Sejumlah santri yang tergabung di dalam Divisi Kesenian mengolah sampah menjadi tas, lampion, tempat buah dan beragam jenis barang kerajinan lain.

“Kalau untuk tas dari plastik. Lampion dari koran bekas atau buku bekas,” ujar Muhamad Buchori (22) salah satu anggota Divisi Kesenian. Ia mengatakan, semua kerajinan tangan bahan bakunya berasal dari sampah.

Hidup dari Sampah

Pengasuh Ponpes Al-Ashriyyah Nurul Iman, Umi Waheeda mengatakan, lembaga pendidikan yang ia pimpin sudah menggeluti bisnis daur ulang sampah sejak pesantren berdiri 17 tahun lalu.

Awalnya, pendiri pesantren, Habib Saggaf Bin Mahdi Bin Syekh Abi Bakar Bin Salim (alm), prihatin dengan sampah yang menggunung di Pasar Parung. Pria yang akrab disapa Abah ini akhirnya mengambil sampah tersebut dan didaur ulang.

Sampah itu dipilah kemudian dicacah atau diolah menjadi pupuk. Daur ulang sampah ini menjadi unit bisnis pertama pesantren ini.

Saat ini, ada sekitar 20 unit bisnis yang dimiliki Nurul Iman, di antaranya pabrik roti, tempe, tahu, konveksi, percetakan, perikanan, peternakan, pertanian, air heksagonal, susu kedelai, warnet dan sejumlah unit bisnis lain.

Mesin pengolah sampah di Ponpes Al Ashriyyah Nurul Iman

Mesin untuk mengolah sampah menjadi kompos dan mesin pencacah sampah plastik yang dioperasikan di Ponpes Al Ashriyyah Nurul Iman. Foto: VIVA.co.id/Mustakim

Meski sudah memiliki banyak usaha, pesantren ini tetap mempertahankan bisnis daur ulang sampah. “Bagi saya sampah adalah rezeki dari Allah. Sekarang saya punya banyak unit usaha, semuanya dimulai dari sampah,” ujar Umi Waheeda kepada VIVA.co.id.

Istri almarhum Habib Saggaf ini menuturkan, santri akan memilah sampah sesuai jenisnya. Sampah anorganik akan diolah untuk kemudian dijual ke pabrik. Sementara sampah organik akan diolah menjadi kompos.

“Dari sini kami bisa bikin unit usaha pabrik tahu, tempe, percetakan, pabrik roti, susu kedelai dan unit usaha lain. Semuanya dimulai dari daur ulang sampah,” lanjut Umi.

Sampah yang diolah tak hanya berasal dari dalam, namun juga dari luar pesantren. Salah satunya dari pemulung dan Pasar Parung. Bahkan, saat ini Nurul Iman ‘memborong’ sampah dari sejumlah rumah makan dan restoran untuk didaur ulang.

Hasil olahan sampah pun berkembang. Jika dulu hanya dicacah dan dibuat pupuk kompos, saat ini mereka mengembangkan Enzime Solution.

“Kami sekarang punya Enzime Solution. Itu juga dari sampah, kulit sayur, kulit buah yang kami campur dengan gula merah,” ujar perempuan kelahiran Singapura 47 tahun lalu ini.

Menurut dia, Enzime Solution ini bisa menjadi pupuk. Selain itu juga bisa untuk mencuci pakaian dan membersihkan wastafel serta toilet.

Bahkan, produk baru ini bisa untuk obat sakit kulit. Sementara, sampah dari restoran dan rumah makan akan diolah untuk menjadi pakan ikan.

“Kami punya empang 6,5 hektare. Selama ini makanannya masih alami. Kami bikin pakan ikan dari sampah rumah tangga dan restoran. Saya ga mau pakan dari pabrik. Kami ingin dari buatan tangan kami,” ujarnya.

Umi mengaku masih kekurangan sampah untuk diolah. Ia pernah meminta agar Pemerintah Daerah Tangerang Selatan mengirim sampahnya ke Nurul Iman.

Menurut dia, banyak sampah yang berserakan di wilayah tersebut. Namun, karena alasan administrasi, rencana tersebut batal dilakukan.

Untuk itu, ia berencana memberdayakan pemulung untuk mencari dan memilah sampah. “Kita bisa gaji pemulung. Nanti kita bagi, ada pemulung yang khusus sampah organik dan anorganik. Mereka sudah pisahkan nanti kita tinggal olah,” ujarnya menjelaskan.

Perempuan yang fasih berbahasa Inggris ini menerangkan, saat ini ada 10 ribu lebih santri yang belajar di Nurul Iman. Menurut dia, pesantren tak menarik biaya sepeser pun dari santri.

Pesantren menanggung biaya hidup dan pendidikan anak-anak yang sebagian besar berasal dari keluarga tak mampu ini. Untuk membiayai mereka, pesantren memaksimalkan unit usaha yang ada di dalam pesantren.

Selain itu, pesantren juga memiliki sawah, kebun kopi, kayu dan tambang batu bara. “Kami tak ada sumbangan. Ribuan santri bisa hidup dan belajar semua dibiayai karena awalnya dari daur ulang sampah.”

Kerajinan tangan karya santri Ponpes Al Ashriyyah Nurul Iman

Tas yang terbuat dari sampah yang didaur ulang karya santri Pondok Pesantren Al Ashriyyah Nurul Iman. Foto: Mustakim

Sulap Masalah

Ponpes Nurul Iman tak sendiri. Sebagian warga di Yogyakarta juga berusaha mengubah sampah menjadi berkah. Warga di RW X, Kampung Gondolayu Lor, Kelurahan Cokrodiningratan, Jetis, Kota Yogyakarta misalnya.

Sampah limbah rumah tangga yang selama ini menjadi masalah mereka ‘sulap’ menjadi penghasilan. Caranya, warga mengolah sampahnya secara mandiri.
Rejeki ini berawal dari program Pemerintah Kota Yogyakarta pada tahun 2005.

RW yang memiliki tujuh rukun tetangga (RT) ini dipilih untuk pengelolaan sampah secara mandiri. Hasilnya, permukiman ini tampak bersih dan asri.

Beragam tanaman terpajang sejak dari pinggir gang hingga depan rumah warga. Tiap rumah juga memiliki tempat sampah yang sudah dipilah.

"Kesadaran warga untuk menjaga kebersihan sudah tinggi. Warga dengan sendirinya memisahkan sampah organik dan nonorganik," kata Ketua RT 54, Sugiyarto kepada VIVA.co.id, Rabu, 18 Februari 2015.

Yuli Woro Utami, warga RT 48 mengatakan, mengelola dan mengolah sampah sudah menjadi bagian hidup warga. Kesadaran warga ini tak hanya membuat kampung asri dan bersih, namun juga memberi nilai tambah.

Pasalnya, setiap sampah yang merupakan limbah rumah tangga baik organik dan nonorganik akan diolah. Misalnya, saat ia memasak sayuran, maka sisa sayuran yang tak terpakai akan dimasukan ke dalam ember yang sudah dibuat sedemikian rupa.

Sampah lalu diberi cairan kemudian ditutup. “Dalam beberapa hari sampah tersebut dapat menghasilan pupuk cair yang disebut lindi. Pupuk cair tersebut bermanfaat sebagai nutrisi untuk tanaman sayur dan bunga,” ujarnya.

Sementara, untuk sampah nonorganik, seperti kaleng, kardus dan botol akan disetor ke Bank Sampah. Sekali dalam sepekan, warga akan mengumpulkan sampah nonorganik tersebut.

Bank Sampah yang dikelola oleh ibu-ibu ini akan menjual sampah dari warga kepada pengepul. "Tidak dikumpulkan begitu saja, sampah itu kami beli. Setiap warga yang datang kami catat berapa kilo yang dikumpulkan," ujar Kuspilah, ketua Bank Sampah Bumi Lestari.

Untuk bungkus deterjen, biasanya diolah menjadi tas atau kerajinan tangan lain. Namun, mereka akan mengerjakan itu jika ada pesanan. [Lihat juga video di]

Pasalnya, saat ini banyak orang membuat produk yang sama. "Di sini sampah membawa berkah, kami selalu memanfaatkan sampah dan mengolah sampah sehingga memiliki nilai jual."

Seolah tak mau ketinggalan, warga di RT 12 Badegan, Kabupaten Bantul, Yogyakarta juga melakukan hal yang sama. Guna mengelola sampah, sejumlah warga di daerah ini mendirikan Bank Sampah dengan nama Bank Sampah Gemah Ripah.

Bank yang berdiri sejak 5 Juli 2008 ini diinisasi oleh perkumpulan bapak di wilayah ini. Mereka mendaur ulang sampah gabus menjadi kerajinan seperti asbak dan burung garuda.

Kegiatan ini tak hanya dilakukan oleh para bapak, namun juga melibatkan ibu-ibu, remaja dan anak-anak dengan hasil kerajinan beragam. "Kami menggunakan sistim penabungan dengan dua tipe. Tipe individu dan induk,” ujar Juniati (22), pengelola Bank Sampah Gemah Ripah kepada VIVA.co.id, Rabu, 18 Februari 2015.

Ia menjelaskan, tipe individu adalah sampah yang disetor oleh rumah tangga. Sementara tipe induk adalah sampah yang dikirim oleh perkumpulan masyarakat.

Menurut dia, sampah cukup dibawa ke Bank Sampah kemudian petugas akan mencatat dan memberikan surat keterangan sesuai beratnya. Jika sampah sudah terjual, barulah nasabah bisa menggambil uangnya.

Juniati menambahkan, setiap tiga pekan, lebih dari satu ton sampah masuk ke bank yang ia kelola. Nasabahnya juga mencapai ratusan kepala keluarga dan kelompok masyarakat.

Mereka tak hanya berasal dari Bantul, namun juga dari Kabupaten Kulon Progo dan Sleman. Selain dijual, sebagian sampah diolah menjadi kerajinan tangan seperti tas, dompet, baju, bunga dan berbagai kerajinan tangan lain.

Hari beranjak siang. Khosyiin dan sejumlah rekannya masih asyik bergumul dengan sampah.

Sesekali terdengar derai tawa dari para pemuda tanggung ini. Bagi Khosyiin, mendaur ulang sampah bukan sekadar kewajiban yang harus ia tunaikan.

Namun juga bagian dari pembelajaran. Sebab, setelah lulus, ia berencana mengembangkan keahlian mengolah sampah yang ia dapatkan di Nurul Iman.

“Di daerah saya masih minim usaha daur ulang sampah. Di sini saya mendapat banyak pelajaran yang bisa saya kembangkan dan manfaatkan.” (ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya