SOROT 381

Indonesia Bikin Robot

Sumber :
  • VIVA.co.id/Agus T Haryanto

VIVA.co.id – Hening. Di ruangan seluas lapangan bulu tangkis itu nyaris tanpa suara. Duduk di kursi roda adalah seorang “pasien,” Jennifer Santoso. Sambil memangku laptop, dia diam seribu bahasa. Matanya terus fokus pada layar laptop yang menyala. Jarinya bergerak di papan ketik laptop.

Cerita Tim Robotik Indonesia Sempat Minder Lawan China

“Pasien” itu menunggu munculnya kedip lampu hijau di layar laptop. Beberapa saat setelah duduk di kursi roda itu, kedip warna yang menyala pada sketsa otak masih hitam. Pertanda masih belum fokus.

Di belakang kursi roda, bersiap seorang “trainer,” Ivan Halim Parmonangan. Melihat kedip hitam di layar, lalu sang ‘trainer’ ini membetulkan posisi neuroheadset yang ada di kepala ‘pasien’.

Juara Dunia, Robotik Indonesia Sempat Minder dengan China

Tak beberapa lama, kedip warna hijau muncul di bagian sketsa otak di layar laptop. Sang ‘pasien’ tetap fokus pada layar laptop. ‘Pasien’ menjalankan kursi roda dengan perintah otaknya. Dengan fokus berpikir, kursi roda ia gerakkan mengitari ruangan dengan jarak tiga meter. Tak jauh. Semua arah dicoba, ke depan, belok kiri, belok kanan sampai berhenti.

Trainer dan pasien tersebut bukan sedang di rumah sakit, bukan pula sedang dilaboratorium. Keduanya nyatanya sedang mendemonstrasikan apikasi Bina Nusantara Wheelchair (BNW) atau kursi roda kendali otak, di di Lantai 2 Gedung Kampus Anggres Bina Nusantara University, Kebon Jeruk, Jakarta Barat, Selasa 26 Januari 2016. Bentuknya seperti kursi roda pada umumnya, tapi bedanya, untuk menggerakkan kursi itu, butuh perintah dari otak.

Wali Kota Semarang Ingin Kembangkan Robot Pemadam Api

Kunci operasi BNW itu adalah pada neuroheadset. Perangkat ini menangkap sinyal otak Jennifer untuk dimasukkan dalam aplikasi yang namanya Bina Nusantara Wheelchair (BNW). Aplikasi ini bekerja menerjemahkan sinyal otak dengan algoritma, sebelum menggerakkan roda tersebut.

Ivan menjelaskan, pikiran seseorang bisa diterjemahkan melalui aplikasi buatannya, usai dipasang sebuah neuroheadset. Aplikasinya ini akan mengolah sinyal yang diterima dari perangkat di kepala itu, kemudian difilter untuk mengambil gelombang alfa dan beta.

Setelah itu, gelombang tersebut akan diterjemahkan ke dalam bentuk algoritma Fast Fourier Transformation yang nantinya dinput ke mesin. Lalu, aplikasinya ini akan meneruskan sinyal yang diproses ke Arduino Uno, yakni papan mikrokontroler dan diteruskan ke motor driver yang digunakan untuk menggerakan motor DC, motor listrik yang bekerja menggunakan sumber tegangan DC.

http://media.viva.co.id/thumbs2/2016/01/29/56ab4efb1c787-kursi-roda-canggih-yang-beroperasi-dengan-bantuan-sinyal-otak_663_382.jpg

Ivan Halim Parmongan dan Jennifer Santoso memperlihatkan cara kerja kursi roda yang beroperasi dengan bantuan sinyal otak. Foto: VIVA.co.id/Agus T Haryanto

 

Kursi roda itu memakai dua data dengan electroencephalograph (EEG) alias sinyal otak untuk penyandang disabilitas yang lehernya kesulitan untuk bergerak. Secara teoritis, otak manusia memancarkan sinyal dalam orde sekitar 50 mikroVolt atau kurang, yang namanya EEG. Teknologi EEG ini pun bukan hal baru, sebab seorang ilmuwan sudah menampilkan sinyal EEG pada 1929.

Selain itu, kursi roda khusus ini dilengkapi dengan gyroskop untuk menangkap sensor gerak, bagi penderita yang masih menggerakkan leher. "Kursi roda ini berguna bagi yang tangannya patah, cacat seluruh tubuh, lumpuh dari leher ke bawah. Kami ingin membuat sistem yang dapat menolong orang lain," ucap Ivan.

Dia mengaku bersama Jennifer hanya meneruskan penemuan kakak tingkat kuliah mereka. Dia mengatakan keduanya menyempurnakan kursi roda itu dengan aplikasi yang bisa menjalankan kursi roda. Senior keduanya sudah membuat alat kursi roda dan mereka hanya menyempurnakan dengan menghadirkan aplikasi software.

Dengan merendah, Ivan mengatakan bersama Jennifer sebenarnya tak menciptakan temuan apa pun. Teknologi pembaca sinyal otak, kata dia, juga sudah bukan barang baru. Di luar negeri, seperti di Amerika Serikat, Jepang sudah menjadi hal yang umum. Bahkan di kampus di Indonesia, ujar Ivan, juga sudah mengembangkan pola kerja seperti kursi roda tersebut, namun dengan pendekatan yang berbeda.

Namun demikian, Ivan mengatakan mereka tak meniru temuan yang sudah ada sebelumnya. Aplikasi itu untuk memastikan sinyal otak itu bisa lebih dapat dipercaya dan lebih akurat diproses.  

"Jadi nggak duplikat dan tidak membajak. Kami tidak memakai apa yang sebelumnya dipakai sinyal otak yang kami olah, kami klasifikasi, hingga bisa bergerak," kata Ivan.

Soal cara operasi kursi roda, pengguna hanya butuh fokus berpikir dan memaksimalkan kerja otak saja. Misalnya pengguna cukup fokus berpikir memajukan kursi roda. Memang untuk menjinakkan BNW itu butuh menyesuaian. Sebab fokus pikiran sangat dibutuhkan untuk mengendalikan kursi tersebut.

Tapi Ivan punya tips agar mudah fokus dalam memerintah kursi roda tersebut. Untuk bergerak maju, pengguna cukup fokus membayangkan objek yang ada di depan mendekati pengguna, untuk menghentikan gerak BNW, pengguna cukup mengedipkan mata. Untuk belok kiri atau kanan, pengguna cukup membayangkan objek atau benda di sebelah kanan atau kirinya.

Ivan mengibaratkan proses fokus pikiran otak pada saat duduk di kursi roda itu yaitu berpikir seperti orang sedang mengemudikan mobil. Saat akan berbelok, pengemudi pastinya akan melihat sisi kendaraan melalui kaca spion. Kurang lebih demikian.

Ini mengingat kursi roda khusus itu diposisikan untuk penyandang disabilitas atau patah tulang, maka pada sistem kursi itu disiapkan EEG. Ini menolong bagi pengguna yang lehernya tidak bisa bergerak.
"Kalau yang tidak bisa bergerak, kami pakai EEG juga, kami ambil sinyal otak juga. Kalau yang bisa bergerak, kami pakai gyroskop yang sudah embbed di alatnya," kata dia.

Ivan mengatakan belum berpikir jauh untuk mengembangkan karya bersama Jennifer tersebut, misalnya dipatenkan atau mau dipasarkan secara komersil. Dia mengatakan fokus jangka dekat ini adalah menjadikan kursi roda kendali otak itu bisa digunakan secara aman oleh pengguna. Sebab untuk memakainya masih memerlukan asisten yang mematikan fungsi BNW, dalam kasus alat tersebut mengalami malfunction.

Soal penyempurnaan kursi roda kendali otak tersebut, Ivan mengatakan, lebih ingin mengalir saja. Namun demikian, penemuan keduanya mendapatkan dukungan dari kampus mereka belajar.

Lili Ayu Wulandari, dosen Tim Riset Binus University mengatakan proyek BNW merupakan bagian dari skripsi Ivan dan Jennifer. Proyek itu juga merupakan salah satu topik dari proyek di Binus. Artinya ketika mengerjakan proyek tersebut bukan hanya berhenti pada proses skripsi saja. Kampus, kata Lili, akan terus berusaha mengembangkan, menyempurnakan kursi roda kendali otak tersebut.

Senada dengan Ivan, Lili mengatakan belum ada kepikiran untuk memasarkan karya tersebut ke masyarakat. Apalagi menurutnya, untuk bisa dipakai masyarakat, kemampuan akurasi BNW itu harus sudah sempurna. Saat ini tingkat akurasinya masih pada posisi 86 persen. Jika ingin meningkatkan atau memasarkan proyek kursi roda itu, kemampuan akurasi kursi paling tidak sampai 98 persen.

"Sehingga apa yang terbaca dalam pikiran kita itu benar-benar akurat, dapat digerakkan kursi roda," kata Lili.

Tantangan lainnya, tutur Lili, dibutuhkan kondisi yang tenang, agar pikiran pengguna bisa fokus dan menggerakkan kursi roda. Sementara dalam nantinya jika dipraktikkan dalam masyarakat untuk kehidupan sehari-hari, kursi roda itu bakal berpotensi bersentuhan dengan keramaian.

http://media.viva.co.id/thumbs2/2016/01/29/56ab4ff73692c-kursi-roda-canggih-yang-beroperasi-dengan-bantuan-sinyal-otak_663_382.jpg

Ivan Halim Parmongan dan Jennifer Santoso memperlihatkan cara kerja kursi roda yang beroperasi dengan bantuan sinyal otak. Foto: VIVA.co.id/Agus T Haryanto

 

Untuk itu, Lili mengatakan hal yang perlu disempurnakan dari kursi roda kendali otak ini adalah akurasi, penerjemahan sinyal otak, gestur, emosi ke pergerakan roda. "Sehingga gangguan apapun yang terjadi di sekelilingnnya penggunanya dapat menggerakan kursi roda dengan baik,” kata dia.

Binus University mengaku tak terburu-buru membuat proyek kursi roda itu bisa segera dipasarkan ke masyarakat. Prinsipnya kampus mendukung proyek inovasi yang bermanfaat untuk masyarakat. Lili mengatakan, dalam kurun waktu 1,5-2 tahun, kampus optimis bisa menciptakan sesuatu yang bisa digunakan masyarakat.

Dikatakan Lili, kampus juga sudah ingin memperluas aplikasi kursi roda kendali otak itu ke platform yang lain. Saat ini aplikasi itu, sudah berjalan pada laptop, dan sudah ancang-ancang untuk melahirkan aplikasi bisa berjalan pada platform Android dan iOS.

"Jadi, penyempurnaanya nanti ke arah sana," kata dia.

Ocha dan Ave saat menerima hadiah.

Anak Madrasah Rebut Medali Emas di Kompetisi Robot Asia

Tim ini terdiri dari kakak beradik.

img_title
VIVA.co.id
2 Agustus 2016