Kembali ke Indonesia Raya Tiga Stanza

- ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha
"Sebetulnya enggak bisa dipisah, karena satu kan, 'Marilah kita berseru Indonesia bersatu'. Baru sampai pada seruan. Yang keduanya, 'Marilah kita mendoa Indonesia bahagia'. Yang ketiga, 'Mari kita berjanji Indonesia abadi'," ujarnya saat ditemui VIVA di kantornya, di kawasan Sudirman, Jakarta, Kamis, 9 November 2017.
Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbud RI Hilmar Farid saat ditemui VIVA.co.id di Jakarta. (VIVA/M Ali Wafa)
Ia menekankan, bahwa lagu Indonesia Raya tak bisa dipisah sebagai teks. Ibarat baca puisi, baru bait pertama. Itulah mengapa ia merasa sebuah kesalahan jika pihaknya tidak memperkenalkan tiga stanza tersebut kepada anak-anak sekolah.
"Apalagi teksnya itu mengandung pesan-pesan yang luar biasa. Dibilang, 'Selamatlah rakyatnya, selamatlah putranya, pulaunya, lautnya, semuanya'. Jadi sangat membangkitkan nasionalisme," kata Hilmar.
Sebenarnya, Hilmar menuturkan, selama ini sudah ada organisasi-organisasi kemasyarakatan yang menyanyikan Indonesia Raya tiga stanza. Hanya saja kurang dikenal luas karena dinilai terlalu panjang, sedangkan waktu upacara terbatas.
Lalu, kenapa baru sekarang pemerintah menggaungkan kembali tiga stanza lagu kebangsaan Indonesia?
Hilmar menilai karena momen yang tepat. Ia melihat belakangan banyak sekali pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang Indonesia, banyak isu perbedaan, identitas dan kegelisahan yang sedang dialami bangsa ini. Apalagi di era teknologi digital, kehidupan sosial warga Indonesia juga tengah mengalami transformasi.
"Banyak anak lebih merasa sebagai warga dunia daripada warga Indonesia. Bahkan menganggap Indonesia mungkin cuma paspor atau KTP (Kartu Tanda Penduduk). Jadi kita melihat kenyataan-kenyataan ini, rasanya perlu sesuatu yang secara efektif bisa 'mengikat' orang," ucapnya.
Memang tidak cukup hanya dengan lagu untuk mengembalikan rasa nasionalisme, tapi paling tidak, kata Hilmar, dari lagu ini pihaknya mendapat respons yang positif dan muncul resonansinya. Secara emosional, orang akan memikirkan kembali apa yang pernah dilakukan pendiri bangsa ini.
"Mereka bikin lagu dan kita perhatikan, cerita-cerita orang di zaman itu kan mereka selfless (tidak egois). Seperti kayak enggak ada kepentingannya dia. Segalanya untuk (kepentingan) yang lebih besar. Itu yang defisit sekarang kan," katanya.
Sementara sekarang semua selalu berpikir, 'Untungnya buat gue apa?'. Padahal karakter orang zaman dulu, cara berpikirnya enggak begitu. Memang tidak salah memikirkan kepentingan sendiri, namun kata Hilmar, seharusnya tidak terlalu ekstrem, melupakan bahwa sebetulnya ada ikatan-ikatan kolektif.
"Dan, itu lagu dan ceritanya WR Soepratman sendiri sangat membantu. Ada filmnya sekarang. Orang bisa lihat. Hidupnya (Wage) susah, mikirin lagu kebangsaan, makan aja enggak," ujarnya menambahkan.
Belum Diwajibkan
Sejarawan Asvi mengungkapkan Indonesia Raya yang utuh memiliki makna yang lebih kaya, karena pada stanza dua dan tiga digambarkan tentang kekayaan alam. Dan sebagai warga negara Indonesia, wajib mengetahui dan memahami bahwa kita adalah bangsa yang memiliki kekayaan alam seperti yang ada di dalam lirik tersebut, dan wajib menjaganya.