Logo DW

ASEAN Lupa Soal Perlindungan Pekerja Migran Dalam Protokol COVID-19?

picture-alliance/AP Photo/K. Jebreili
picture-alliance/AP Photo/K. Jebreili
Sumber :
  • dw

Keterbatasan untuk dapat mengakses informasi secara bebas di negara Brunei, Laos dan Myanmar juga menjadi penghambat mengenai kinerja penanganan COVID-19 dan gambaran kasusnya. Ini juga menjadi masalah bagi ASEAN untuk mendapatkan gambaran yang utuh tentang peta jalan penanganan COVID-19 secara regional berbasis data dan informasi akurat.

Pekerja migran merupakan salah satu sektor yang sangat terdampak oleh pandemi ini. Untuk mereka yang bekerja di sektor pengasuhan, perawatan, kesehatan dan pelayanan publik, rentan menghadapi penularan langsung. Karena mobilitasnya, pekerja migran rentan distigma sebagai pembawa virus. Sementara itu sebagai warga negara asing, pekerja migran rentan mengalami diskriminasi dalam pelayanan kesehatan dan pelayanan publik lainnya. Kerentanan yang lebih dalam dihadapi oleh pekerja migran yang tidak berdokumen (biasanya berada di Malaysia dan Thailand), mereka harus berhadapan dengan ancaman kehilangan pekerjaan dan sasaran penangkapan operasi keimigrasian.

Paling rentan

Badan-badan internasional di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa pun juga menegaskan bahwa pekerja migran adalah kelompok yang paling rentan dalam analisis global tentang krisis COVID-19. ILO menempatkan pekerja migran sebagai kelompok pekerja paling terdampak bersama kelompok pekerja informal dan kaum muda pengangguran. UN Women mengkhawatirkan kerentanan yang dihadapi perempuan pekerja migran di sektor pengasuhan, perawatan dan kesehatan karena sehari-hari mereka bersentuhan langsung dengan virus berbahaya tersebut. Sementara itu beban kerja pekerja rumah tangga migran makin bertambah, sebaliknya mobilitas terbatasi dan potensi terjadinya kekerasan fisik/seksual berbasis gender makin tinggi.

Secara ekonomi, World Bank memperkirakan adanya penurunan remitansi dari migrasi tenaga kerja di tahun ini. Kontraksi ini akan menjadi pemicu eskalasi angka kemiskinan. Masih terkait dengan situasi ini, UNDP pun telah meluncurkan laporan Indeks Pembangunan Manusia dan COVID-19. Menurut laporan ini penurunan volume remitansi juga menjadi pemicu penurunan kualitas hidup manusia serta melebarkan jurang ketimpangan.

Realitas kerentanan tersebut ditunjukkan pada situasi yang terjadi di Malaysia ketika melakukan penerapan Movement Control Order. Jutaan pekerja migran (terutama yang berstatus tidak berdokumen) selain harus bertahan hidup dengan keterbatasan logistik, namun juga harus berada dalam situasi tak menentu ketika Malaysia menerapkan pendekatan keamanan dalam operasi pembatasan mobilitas. Malaysia juga tidak mau merelaksasi kebijakan keimigrasiannya yang represif. Padahal sesuai dengan protokol WHO, penanganan COVID-19 harus mengedepankan penanganan kesehatan dengan mengesampingkan aspek-aspek pembeda seperti asal usul dan status kewarganegaraan, ras, gender, agama dan orientasi seksual.

Alih-alih mampu meminimalkan penularan COVID-19, pendekatan keamanan yang dilakukan pemerintah Malaysia terhadap pekerja migran tidak berdokumen bahkan telah menimbulkan klaster penularan baru COVID-19 di beberapa penjara imigrasi Malaysia. Para pejabat hak asasi manusia PBB dan berbagai lembaga hak asasi manusia juga mengecam Malaysia yang tetap melakukan operasi penangkapan pada para pekerja migran tak berdokumen dan menghalangi masuknya pengungsi Rohingya dengan alasan mencegah penularan COVID-19. Operasi Benteng yang dilancarkan pemerintah Malaysia adalah pendekatan keamanan pencegahan penularan COVID-19 yang berbasis pada prasangka dan stigma.