Pengembangan Organisasi Pfizer dalam Merespons Kebutuhan Medis selama COVID-19

Vaksin Covid-19 hasil produksi Pfizer dan BioNTech. Sumber: Reuters (2021)
Sumber :
  • vstory

VIVA – Perubahan tak ubahnya menjadi hal yang tak terhindarkan bagi setiap individu dan organisasi. Terlebih dengan adanya pandemi Covid-19, guncangan yang masif di hampir seluruh sektor di dunia menjadi dampak dari perubahan yang ditimbulkannya.

Din Syamsuddin dan Ajakan untuk Dunia

Inventure Knowledge memetakan enam dorongan perubahan yang terjadi selama 2021–setahun lamanya pasca Covid-19 muncul–yang disebut pula sebagai 6 Forces of Change 2021.

1.Penyebaran Covid-19 dan ketersediaan vaksin

Pengembangan Organisasi di Masa Pandemi: BRI Jalankan BRIVolution 2.0

Perubahan industri sebagian besar dipengaruhi penyebaran virus dan kapabilitas pemerintah dalam menghasilkan dan menyalurkan vaksin kepada seluruh masyarakat. Saat ini, lebih dari 8 miliar orang telah divaksinasi penuh atau sekitar 46,8?ri populasi global (Our World in Data, 2021).

Kecemasan sosial. Lahir dari skala individu, kecemasan akan kematian, kemiskinan, dan kehilangan sarana aktualisasi diri merambat ke skala kolektif. Ketidakpastian yang senantiasa menanti di tengah jalan menghantui tiap langkah yang diambil sehingga kehati-hatian dan kesehatan fisik dan psikis menjadi aset penting di tengah berbagai kejadian selama Covid-19 sepanjang 2020.

Seberapa Penting Budaya Clock in dan Clock Out Karyawan Dorong Kinerja Perusahaan? Ini Penjelasannya

2.Bangkitnya coronationalism

Sebagian besar warga atau bahkan negaranya cenderung semakin mengedepankan ego dan kepentingan masing-masing. Hal tersebut ditunjukkan pelarangan dan pembatasan untuk warga domestik dan asing, negara saling menyalahkan, kohesi tiap negara meningkat (namun friksi/gesekan antar negara menjadi lebih intens).

Dilaporkan New York Times, Presiden Amerika Serikat Periode 2017–2021, Donald Trump, bahkan melabeli Covid-19 sebagai “Virus Tiongkok” (Rogers, Jakes, & Swanson, 2020). Pernyataan tersebut memicu tumbuhnya kebencian rasial dari pendukungnya dan terhadap warga Tionghoa dan bahkan warga negara Asia.

3.Kekeliruan kepemimpinan pemerintah (government (mis)leadership)

Kepemimpinan menjadi taruhan yang menentukan cepat lambatnya pemulihan ekonomi, industri, dan bisnis.

4.Disrupsi rantai pasok dunia

Berbagai bahan baku dan produk yang sebelumnya disalurkan dan disediakan melalui ekspor dan impor menjadi terhambat. Hal tersebut memengaruhi sebagian besar industri di seluruh dunia, baik industri hulu maupun industri hilir.

5.Percepatan digitalisasi

Kebijakan pembatasan menggeser kegiatan masyarakat dari yang bersifat on-site atau luring menjadi daring karena mereka diwajibkan untuk tetap tinggal di rumah.

Dari seluruh sektor industri, industri bidang kesehatan menemui tantangan untuk menjawab permasalahan yang diakibatkan Covid-19.

Khusus di bidang farmasi, seluruh organisasi mencoba menemukan pengobatan dan metode yang dapat mencegah dan menangani masalah kesehatan dan penyakit yang ditimbulkan Covid-19.

Target utamanya adalah menemukan penangkal virus. Vaksin menjadi output produk yang vital untuk membangun imunitas individu terhadap risiko penularan virus Covid-19.

Pfizer, perusahaan farmasi berbasis di Amerika Serikat, menjadi salah satu pelopor yang mengembangkan vaksin untuk Covid-19. Pfizer sendiri menghasilkan produk yang dikenal luas seperti Advil, Celebrex, Viagra, dan lain sebagainya.

Perusahaan ini mengerahkan segenap kapabilitas dan sumber dayanya dalam rangka menghasilkan produk yang dapat menurunkan risiko Covid-19. Bersama perusahaan bioteknologi asal Jerman.

BioNTech, Pfizer mengembangkan vaksin pertama yang berbasis messenger RNA (mRNA). Perusahaan telah meningkatkan perkiraan produksi obat mereka, dengan tujuan untuk menghasilkan tiga miliar dosis vaksin Covid-19 pada tahun 2021 dan empat miliar pada tahun 2022.

Dengan sekitar 80.000 karyawan dan budaya yang kuat dan mengikat, Pfizer juga menambahkan keunggulan manusia untuk mengatasi salah satu krisis kesehatan paling kompleks yang pernah dihadapi dunia (McKinsey, 2021).

Pada bulan Desember 2020, kemitraan Pfizer dan BioNTech (Pfizer–BioNTech) memproduksi salah satu vaksin Covid-19 pertama yang menerima Emergency Use Authorization (EUA) dari Food and Drug Administration (FDA) Amerika Serikat untuk masyarakat berusia 16 tahun ke atas.

Kemudian diperluas untuk mencakup remaja berusia 12 hingga 15 tahun. Pada bulan Agustus 2021, vaksin Pfizer–BioNTech COVID-19 diberikan persetujuan penuh FDA untuk digunakan di antara kelompok usia 16 tahun ke atas.

Upaya untuk penelitian dan pengembangan vaksin saat ini berfokus pada masalah pemulihan kritis, seperti jenis varian, serta potensi masa depan kebutuhan dan aksesibilitas booster.

Di balik layar dan jauh sebelum vaksin Pfizer-BioNTech mulai dikembangkan, dapat dipastikan bahwa terdapat guncangan di dalam internal perusahaan. Dalam tulisan ini, penulis akan menyusun langkah-langkah yang diambil Perusahaan Pfizer dalam merespons perubahan akibat Covid-19.

Tantangan yang dihadapi Pfizer terbagi menjadi manufaktur, logistik, etis, pemasaran, dan pembelajaran (Hamish Armstrong, 2020). Manufaktur melibatkan peningkatan produksi dengan cepat untuk menciptakan jutaan dosis vaksin.

Tantangan mempersiapkan kapasitas produksi sebagian telah diatasi melalui persiapan produsen vaksin atau sudah memproduksi vaksin. Namun, tantangan yang lebih besar adalah mempelajari cara memproduksi vaksin dan berbagi pengetahuan, sehingga berbagai produsen dapat meningkatkan skalanya dengan cepat.

Produsen vaksin cenderung melindungi pengetahuan spesialisasinya untuk meningkatkan keunggulan kompetitif, tetapi berbagi pengetahuan di antara para pesaing akan membantu meningkatkan produksi. Sebagai salah satu perusahaan biofarmasi paling terkemuka di dunia, Pfizer mengakui tanggung jawab, tidak hanya untuk memelopori terobosan medis dan ilmiah, tetapi juga untuk membangun tim ilmuwan, dokter, dan profesional yang mewakili dan mencontoh tenaga kerja yang beragam.

Pada aspek logistik, rantai pasokan yang memungkinkan vaksin disimpan pada suhu yang sangat rendah sangat penting agar vaksin tetap efektif. Vaksin sendiri memiliki persyaratan standar sistem penyimpanan pada maksimal suhu 0º celsius atau yang disebut dengan kualitas rantai dingin (cold chain).

Hal tersebut menimbulkan masalah karena tidak semua fasilitas medis memiliki kemampuan finansial yang mencukupi untuk membiayai perlengkapan penyimpanan vaksin. Proses distribusi yang sedikit banyak memakan waktu juga masuk ke dalam pertimbangan. Persyaratan standar penyimpanan justru dapat menjadi penghalang bagi negara-negara berkembang yang secara garis besar belum memiliki fasilitas medis yang merata.

Tantangan praktis dalam merancang rantai pasokan ini melibatkan apa yang disebut 'tantangan jarak jauh', yang membutuhkan pemikiran yang cermat tentang bagaimana vaksin didapat dari penyimpanan hingga administrasi. Ada kemungkinan besar tantangan tak terduga yang terlibat dalam memastikan vaksin yang efektif benar-benar dapat menjangkau orang-orang yang membutuhkannya.

Dari sisi etis, setidaknya pada awalnya, akan ada persediaan vaksin yang terbatas. Hal tersebut menimbulkan pertanyaan etis yang sulit dijawab mengenai siapa yang mendapatkan vaksin terlebih dahulu dan bagaimana hal itu harus diputuskan–apakah harus orang yang paling membutuhkan, atau mereka yang mampu membelinya.

Apakah menteri, CEO perusahaan, selebriti, atau figur publik lainnya yang mendapatkan vaksin lebih awal akan dituduh melampaui antrean? Akses yang tidak setara ke vaksin kemungkinan akan memicu konflik publik yang pahit. Ini memerlukan kerangka kerja yang disepakati dengan jelas untuk mengalokasikan vaksin.

Pada aspek pemasaran, tantangan yang timbul adalah upaya untuk meyakinkan masyarakat untuk mengambil vaksin. Meningkatnya pengaruh sentimen anti-vaksinasi yang berkembang pada populasi yang lebih luas memberikan ancaman terhadap pemberian vaksin secara massal.

Layanan kesehatan perlu meyakinkan orang bahwa adalah kepentingan terbaik mereka untuk divaksinasi, yang berarti menantang informasi yang salah dengan menandai hoaks, memberikan fakta yang mudah dimengerti dan melakukan kampanye pendidikan. Hanya memberikan fakta saja tampaknya tidak meyakinkan masyarakat anti vaksin atau 'anti-vaxxers'. Apa yang tampaknya berhasil adalah membingkai pesan dalam istilah yang menurut mereka menarik–tentang kemurnian dan kebebasan–dan menggunakan orang-orang terpercaya seperti dokter keluarga untuk berdiskusi seputar vaksin, daripada hanya mendorong fakta tentang vaksin.

Tantangan tersebut memunculkan urgensi bagi Pfizer untuk pengembangan organisasi. Pengembangan organisasi menurut Cummings & Worley, dalam buku Organization Development and Change (2009), adalah keseluruhan sistem penerapan dan transfer pengetahuan teoritis perilaku ke dalam pengembangan terencana, perbaikan, dan penegakan strategi, struktur, dan proses yang bertujuan pada efektivitas organisasi.

Dari definisi tersebut, dapat diketahui bahwa pengembangan organisasi merujuk pada implementasi teori dan konsep dalam kegiatan terkait pengembangan dan perbaikan untuk mencapai tujuan organisasi. Teori dan konsep tersebut berfokus pada domain perilaku karena untuk mengubah organisasi, diperlukan perubahan perilaku dari sisi personil dan tim agar organisasi dapat berkembang dengan baik.

Sementara itu, dari sisi pembelajaran, tantangan Pfizer menitik beratkan pada cara mempertahankan banyak pelajaran yang telah dipelajari selama krisis Covid-19. Untuk mencegah munculnya masalah yang dialami selama pandemi, sangat penting kesalahan yang dibuat oleh pemerintah dan organisasi ini didokumentasikan dengan jelas dan dikodekan dalam catatan organisasi. Ketika krisis berlalu, mudah bagi organisasi dan pemerintah untuk kembali normal dan melupakan banyak pelajaran yang diperoleh dengan susah payah yang mereka pelajari di sepanjang jalan.

Daft dalam Organization Theory and Design (2010) mengemukakan, bahwa organisasi pembelajar (learning organization) didefinisikan sebagai organisasi yang di dalamnya para anggota berupaya mengidentifikasi dan memecahkan masalah sehingga sangat mungkin organisasi tersebut akan selalu bereksperimen, berubah, dan berkembang dalam rangka memperbesar kapasitas dan kemampuan organisasi.

Perubahan organisasi yang disebabkan oleh perubahan lingkungan secara otomatis akan menuntut organisasi untuk beradaptasi. Proses adaptasi tersebut akan menghasilkan pengalaman dan ilmu baru bagi organisasi. Kemungkinan beberapa teknologi yang dikembangkan selama perlombaan untuk vaksin akan bertahan, ada juga bahaya bahwa banyak kesalahan yang dibuat akan dilupakan dan diulangi lagi.

Langkah Awal Pengembangan Pfizer dalam Merespons Covid-19

Ketika tingkat infeksi mulai meningkat, Pfizer sendiri, sebagai merk farmasi terbesar dunia, menyadari bahwa mereka perlu memberi kontribusi dengan cara mengembangkan vaksin dalam waktu singkat.

Dalam sebuah organisasi, perubahan dan pengembangan organisasi selalu dipengaruhi lingkungan organisasi. Lingkungan organisasi yang dinamis, dan disruptif menuntut organisasi untuk beradaptasi. Oleh karena itu, dinamika ketidakpastian lingkungan organisasi merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari oleh sebuah organisasi. Menurut Daft (2010), lingkungan organisasi merupakan semua elemen yang ada di organisasi dan memiliki potensi untuk mempengaruhi semua atau sebagian aspek dari organisasi.

Konteks tersebut cenderung meningkatkan pola pikir, tingkat energi, ketahanan dan tekad dalam mengatasi masalah. Keterbatasan waktu menjadi pendorong yang meningkatkan level kreativitas, kecepatan, dan pengambilan keputusan. Tetapi, Pfizer sendiri juga melakukan refleksi dan mempersiapkan diri dengan kapabilitas perusahaan untuk benar-benar mengembangkan vaksin Covid-19 yang notabene akan berdampak sangat masif bagi masyarakat global (McKinsey, 2021).

Pfizer berfokus untuk membuat segenap perusahaan percaya pada dirinya sendiri: bahwa mengembangkan vaksin ini, pada kecepatan ini, pada volume yang dibutuhkan—dan melakukan semua ini sesuai dengan standar kualitas dan keamanan Pfizer yang tinggi—sebenarnya sangat mungkin. Dengan demikian, Pfizer bekerja untuk membuat segenap personil perusahaan untuk percaya.

Setelah yakin pada kapasitas diri, kerja tim (teamwork) menjadi aspek yang penting untuk disorot. Kerja tim dan kepercayaan adalah bagian penting untuk dapat bergerak dengan kecepatan yang dibutuhkan.

Itu selalu menjadi bagian dari budaya Pfizer bahwa dengan tingkat kepercayaan yang tinggi, personil akan merasa lebih nyaman untuk menantang pemikiran orang lain, yang mendorong kita semua untuk terus mengejar keunggulan dan tidak pernah puas dengan sifat ‘cukup baik’.

Kemitraan yang dibangun Pfizer sejak awal menjadi pengetahuan tambahan untuk bekal perubahan ini. Terlepas dari rekam jejak vaksin, Pfizer belum pernah mengembangkan atau mengkomersialkan vaksin mRNA4 secara klinis sebelumnya. Pfizer telah bekerja dengan pelopor mRNA BioNTech, sebuah perusahaan biotek terkemuka di Jerman, sejak 2018.

Kolaborasi pertama Pfizer difokuskan pada pengembangan vaksin flu berbasis mRNA. Yayasan ini memungkinkan Pfizer dan BioNTech untuk mulai bekerja sama lebih awal untuk mengembangkan vaksin untuk Covid-19, dan dasar kepercayaan serta proses yang mapan membantu Pfizer mempersingkat waktu sebanyak mungkin.

Keyakinan, budaya, dan keahlian Pfizer ditambah dengan teknologi dan inovasi BioNTech adalah elemen yang menopang mereka sehingga dapat membawa vaksin ini ke pasar di bawah kerangka waktu yang singkat dan bahkan nyaris mustahil. Pfizer melibatkan semua situs uji klinis sementara protokol sedang ditinjau oleh FDA. Ketika FDA menyetujui protokol Fase III vaksin Pfizer-BioNTech, dalam waktu dua jam, Pfizer dapat memvaksinasi orang pertama dalam uji coba Fase III.

Pergerakan yang lebih cepat untuk memulai uji klinis dan menerima data dapat menjadi game changer untuk persetujuan obat darurat dan non-darurat di masa mendatang, bahkan di luar vaksin. Banyak obat dan terapi yang dihasilkan Pfizer sangat penting, dan perawatan itu juga diperlukan secepat mungkin. Sebagai sebuah tim, organisasi sekarang dikondisikan untuk menjadi tangguh terhadap kebutuhan untuk memecahkan masalah, kebutuhan untuk menyatukan orang, dan kebutuhan untuk bersikap tegas. Semua alat ini dapat direplikasi dan membantu personil bergerak lebih cepat daripada sebelumnya dalam semua program dan fase pengembangan.

Kepemimpinan dalam Pfizer sebagai Faktor Pendorong Perubahan

Salah satu perubahan kepemimpinan terpenting yang terjadi adalah di bidang pengambilan keputusan. Biasanya, dalam setiap program pengembangan, ada proses dan milestone yang harus dilewati. Terdapat tata kelola yang sangat ketat tentang bagaimana personil organisasi berpindah dari satu tahap perkembangan klinis ke tahap berikutnya.

Mengetahui bahwa mereka tidak punya banyak waktu, Pfizer harus menghapus semua struktur komando reguler dan hanya fokus pada apa yang perlu dilakukan untuk menyelesaikan masalah dan memobilisasi semua orang untuk melakukannya. Apakah itu sudah dilakukan sebelumnya atau tidak, Pfizer harus mengesampingkan semua gagasan sebelumnya yang dimiliki.

Seluruh personil organisasi duduk bersama hampir setiap hari—CEO, jajaran eksekutif, dan ahli kesehatan mengenai berbagai topik—untuk berbagi informasi, memperoleh pemahaman yang sama, dan hanya meninggalkan ruangan saat keputusan telah terbentuk sebagai basis pengembilan tindakan selanjutnya. Selalu ada masalah baru yang tidak pernah dimiliki sebelumnya karena dunia terus berubah. Dengan demikian, aliran informasi ini sangat penting ketika mencoba bergerak dengan kecepatan luar biasa.

Pengambilan keputusan yang cepat ini menguji prioritas risiko Pfizer dalam hal investasi modal dan alokasi modal. Perusahaan tidak punya waktu untuk mengkhawatirkan biaya, tetapi hanya perlu membeli semua bahan baku yang dibutuhkan. Pfizer sendiri memahami bahwa perusahaan harus memproduksi dalam skala besar karena tidak akan ada waktu untuk melakukan langkah-langkah khas dari program pengembangan vaksin secara konvensional.

Ada risiko yang terlibat dalam keputusan untuk membeli bahan baku dan dalam rancangan dan rekayasa unit manufaktur milik perusahaan untuk membuat vaksin (McKinsey, 2021).

Manajemen Pfizer mulai mendiskusikan kemungkinan kontrak dengan negara-negara selama proses pengembangan bahkan sebelum data tentang vaksin dimiliki. Semuanya perlu dilakukan jauh sebelumnya, yang berarti semuanya berisiko. Tetapi, ketika tujuannya sangat jelas, apa yang terjadi selanjutnya adalah pemecahan masalah yang luar biasa yang memungkinkan untuk menemukan "ruang hampa" dan mengidentifikasi apa yang dapat disingkirkan untuk mengantisipasi hambatan potensial.

Program Pfizer untuk Mengembangkan Kapasitas Internal

Untuk mengembangkan organisasi, dapat dilakukan beragam intervensi, dari aspek proses personil (human process), teknostruktural, manajemen sumber daya manusia, hingga perubahan strategis (Cummings & Worley, 2009).

Program berikut bertitik berat pada manajemen sumber daya manusia. Pada Mei 2021, Pfizer meluncurkan Breakthrough Fellowship Program dan Breakthrough R&D Rotational Program, dua program pendidikan pertama yang dirancang untuk meningkatkan beragam spesialisasi Pfizer.

Peningkatan keragaman tenaga kerja memberikan lingkungan yang sangat menantang bagi manajemen sumber daya manusia, dan peluang yang menarik bagi manajer lini yang mencari sumber inovasi. Perpaduan usia, jenis kelamin, ras, orientasi seksual, disabilitas, serta orientasi budaya dan nilai dalam angkatan kerja modern semakin bervariasi (Cummings & Worley, 2009).

Selama beberapa tahun terakhir, CEO Pfizer Albert Bourla semakin vokal tentang inklusi dan keadilan sosial, baik secara internal maupun eksternal. Dipandu oleh kepemimpinannya, Pfizer telah bekerja untuk mendidik karyawan Pfizer tentang masalah tersebut, termasuk pelatihan di seluruh perusahaan untuk mengatasi rasisme dan bias sadar dan tidak sadar, lokakarya seperti “Menjadi Pemimpin Inklusif” yang melatih manajer dan mendorong komunikasi di seluruh organisasi.

Program “In Kind” mendukung dan mendorong para manajer untuk melakukan percakapan yang berani, empati, dan produktif tentang kesetaraan, ras, dan bias. Lokakarya percontohan tambahan untuk manajer sumber daya dan mitra SDM dijadwalkan pada Agustus 2021.

Pada Oktober 2021, KTT Keanekaragaman, Kesetaraan, dan Inklusi Global Pfizer akan memfasilitasi percakapan global tentang ras. Dan pada akhir tahun 2021, setiap karyawan akan memiliki kesempatan untuk terlibat dalam lokakarya dan diskusi.

Kesejahteraan pegawai diindikasikan oleh kepuasan pegawai terkait kehidupan non pekerjaan, pekerjaan, dan kesehatan fisik dan psikis (Cummings & Worley, 2009). Mekanisme kerja seseorang, kepribadian, dan keterampilan menangani stres memengaruhi kesejahteraan secara keseluruhan.

Program keragaman lainnya membantu mendorong budaya inklusif setiap hari. CRGs (Colleague Resource Groups) menghadirkan pembicara dan lokakarya yang relevan, menciptakan ruang virtual yang menegaskan dan mendukung bagi karyawan yang termasuk dalam kelompok yang kurang terwakili dan sekutu mereka. Pfizer memiliki tujuh grup di AS: Global Back Community, Global Asian Alliance, Latino Community, OPEN (LGBTQIA+), POWER (Women), Veterans in Pfizer, dan DisAbility and Caregivers Network.

Di seluruh Eropa, Diversity & Inclusion Council Europe (DICE) Pfizer telah membentuk 27 CRG yang telah menjangkau lebih dari 7.000 karyawan di 14 negara sejak 2017. Sebagai contoh pekerjaan yang dilakukan CRG, Dewan Direksi CRG penyandang disabilitas menetapkan strategi yang diperbarui termasuk tujuan ambisius yang ditujukan untuk memajukan inklusi, pengembangan, dan kesuksesan karir rekan penyandang disabilitas dan pengasuh mereka.

Upaya itu sudah membuahkan hasil. Pada tahun 2021, untuk tahun kedua berturut-turut, Pfizer memperoleh skor 100% pada Disability Equality Index (DEI), sebuah inisiatif bersama dari American Association of People with Disabilities (AAPD) dan Disability:IN yang menggunakan pendekatan komprehensif alat benchmarking untuk mengukur inklusi tempat kerja disabilitas terhadap pesaing.

Pengembangan Organisasi Pfizer di Bidang Eksternal

Selain menumbuhkan inisiatif keragaman dan inklusi internal, Pfizer telah berupaya untuk memberikan dampak positif yang lebih luas. Komitmen Pfizer untuk meningkatkan keragaman pemasok tak hanya berkutat pada hubungan dengan pemasok manufaktur dan klinis, tetapi juga pada kemitraan dengan periklanan dan bisnis media lainnya.

Pfizer berkomitmen untuk memperkuat hubungannya dengan bisnis media yang dimiliki beragam dan mengidentifikasi peluang yang selaras dengan merek dan strategi serta sasaran pemasaran Pfizer. Faktanya, organisasi Pengadaan Global Pfizer telah menetapkan sumber daya khusus yang berfokus secara eksklusif pada identifikasi pemasok baru yang beragam dan mengelola hubungan pemasok yang ada.

Pada tahun 2020, Pfizer menambahkan 44 bisnis yang beragam/kecil ke dalam rantai pasokan dan bermitra dengan lebih dari 450 pasokan yang beragam. Langkah-langkah ini telah memperkuat keragaman dalam kemitraan dan menyebabkan peningkatan peningkatan di bidang manufaktur dan memperluas jaringan rantai pasokan untuk memenuhi permintaan global. Di antara manfaat dari peningkatan ini adalah kemampuan Pfizer untuk mencapai perkiraan 3 miliar dosis vaksin Covid-19 pada tahun 2021 (1 miliar di antaranya akan diberikan ke negara berpenghasilan rendah dan menengah ke bawah).

Sebagian berkat peningkatan dalam rantai pasokan tersebut, pada paruh pertama tahun 2021, obat-obatan dan vaksin Pfizer menjangkau 58 juta pasien melalui program akses dan keterjangkauan. Kemajuan itu dicatat dalam Access to Medicine Index 2021. ATMI memeringkat 20 perusahaan farmasi besar berdasarkan kemampuan mereka untuk membuat obat-obatan farmasi mereka lebih tersedia, terjangkau, mudah diakses, dan dapat diterima di negara-negara berpenghasilan rendah hingga menengah.

Dalam laporan tahun 2021, Pfizer melonjak dari peringkat ke-11 (pada 2018) ke peringkat ke-4, peningkatan terbesar dari semua 20 perusahaan peringkat pada tahun 2020. Hal ini terutama penting karena data yang dievaluasi untuk laporan tersebut memiliki batas akhir Juni 2020 dan tidak bukan faktor dalam vaksin Covid-19 atau respons kuat akhir 2020 terhadap pandemi.

Langkah Pfizer dalam Menghadapi Tantangan Logistik Vaksin

Pfizer telah mengantisipasi kebutuhan untuk membantu dokter dan rumah sakit memenuhi persyaratan penyimpanan untuk vaksin mereka. Pfizer mengklaim bahwa perusahaan siap menggunakan pengalaman manajemen rantai dinginnya untuk membantu penyedia layanan kesehatan di daerah miskin dan pedesaan. Rencana untuk manajemen juga telah dikembangkan untuk transportasi vaksin, penyimpanan, dan pemantauan suhu terus menerus dan akan mengirimkan botol beku ke titik vaksinasi dari situsnya di Kalamazoo, Michigan dan Puurs, Belgia. Pfizer juga akan menggunakan pusat distribusi yang ada di Pleasant Prairie, Wisconsin dan Karlsruhe, Jerman (CNBC, 2020).

Perusahaan Pfizer sendiri juga akan menggunakan pengirim termal yang dikendalikan suhu, yang menggunakan es kering untuk menjaga suhu penyimpanan sekitar negatif 70°C hingga 10 hari. Pfizer sendiri telah merencanakan penggunaan sensor termal berkemampuan GPS (Global Positioning System) di setiap pengirim termal dengan menara kontrol yang akan melacak lokasi dan suhu setiap pengiriman vaksin di rute yang telah ditentukan sebelumnya.

Setelah vaksin dikirim, penerima dapat menyimpannya dalam freezer bersuhu sangat rendah, memberikannya masa simpan hingga enam bulan. Itu juga dapat disimpan hingga lima hari pada kondisi dua hingga 8°C, yang Pfizer klaim sangat umum tersedia di rumah sakit. Fasilitas medis tanpa cold chain dapat menyimpan vaksin di pengirim termalnya dengan cara diisi es kering. Unit penyimpanan dadakan ini bisa bertahan hingga 15 hari.

Pandemi Covid-19 yang melanda menimbulkan dampak yang masif bagi organisasi mengingat masalah yang muncul menjadi tanggung jawab Pfizer yang notabene merupakan salah satu perusahaan biofarmasi terbesar di dunia. Pfizer mengambil langkah perubahan sedini mungkin dan memahami urgensi akan kontribusinya dalam menyediakan obat dan penanganan Covid-19, melalui kerja sama BioNTech.

Fokus pengembangan dilakukan pada aspek hard berupa struktur dan sistem dan aspek soft atau budaya perusahaan. Setelah vaksin diproduksi, tantangan yang muncul adalah sistem distribusi mengingat penyimpanannya mensyaratkan standar kualitas cold chain. Pfizer menanggulanginya dengan penggunaan sensor termal berbasis GPS. Program lokakarya internal juga dilaksanakan untuk penguatan kapasitas personil.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.