Jejak Samar Yahudi di Jakarta

Yudaisme/Ilustrasi
Sumber :
  • world religion

VIVA – Kaum Yahudi masuk ke Indonesia sejak abad ke-8 Masehi. Di Jakarta, dari 4.000-an orang keturunan Yahudi, hanya 40-an orang yang resmi menganut Yudaisme. 

Israel Tutup Masjid Ibrahimi di Kota Hebron karena Dipakai Umat Yahudi untuk Paskah

Monique Rijkers sigap membuka laptop. Ia lalu memperlihatkan beberapa fotonya saat mengunjungi Israel. "Setelah pulang dari Israel itu, saya baru diberitahu nenek bahwa saya berdarah Yahudi, tapi sekarang ini saya memeluk agama Kristen," ujarnya.

Monique adalah mantan jurnalis radio, juga televisi swasta. Lebih dari 14 tahun ia menjadi wartawan. Ia baru tahu bahwa dirinya keturunan Yahudi setelah sang nenek secara tak sengaja menyampaikan hal tersebut. Selama berpuluh tahun, yang ia tahu ia adalah keturunan Belanda dan Portugis. Apalagi saat ini sang nenek menetap di Belanda.

5 Film Romantis Berlatar Perang Dunia II, Kisah Cinta di Tengah Kekacauan

"Nenek memilih tak menceritakan asal usul kedua orang tuanya. Sebab, selama ini warga Yahudi tak pernah aman. Warga Yahudi sejak masa Perang Dunia II sudah menjadi incaran untuk dimusnahkan," tuturnya.

Jauh sebelum mengetahui bahwa dirinya keturunan Yahudi, perempuan berambut pirang kecoklatan itu  justru pernah membuat sebuah feature untuk televisi tempatnya bekerja. Ia memberitakan tentang pembakaran sebuah sinagog, tempat beribadah orang Yahudi, di Surabaya. Akibat pemberitaan itu, Monique menjadi sasaran kemarahan dari sekelompok masyarakat. Kantor tempatnya bekerja bahkan didatangi demonstran. 

Mahasiswa Yahudi Ketakutan usai Demo Anti-Israel Merebak di Kampus-kampus New York

"Saya tak paham, mengapa harus sampai demonstrasi. Pembakaran sebuah rumah ibadah itu kan pelanggaran hak asasi," ujarnya. Mediasi akhirnya mendapat titik temu. Pelaku pembakaran hanya meminta televisi meminta maaf. Kasus selesai. Tapi tidak buat Monique. Sejak itu ia merasa penasaran, bagaimana sebenarnya keturunan Yahudi di Indonesia.

Rasa penasaran  membuatnya melakukan penelusuran dan akhirnya menuntunnya bertemu dengan keturunan Yahudi di Indonesia. Menurut Monique, mereka tersebar di berbagai wilayah. Jakarta, Surabaya, Aceh, Papua, Manado, dan Ambon. 

Enam kota ini adalah wilayah yang terhitung cukup banyak keturunan Yahudi. "Itu adalah jalur pelabuhan. Masuknya mereka sebagian besar memang sebagai pedagang. Tapi ada juga yang berprofesi sebagai dokter atau profesi lain. Indonesia 350 tahun dijajah Belanda. Ada juga penjajahan Portugis dan Inggris. Banyak keturunan Yahudi yang berasal dari Eropa," tuturnya. 

Meski banyak keturunan Yahudi di Indonesia, tak semuanya masih bertahan dengan Yudaisme, agama orang Yahudi. Banyak yang sudah berpindah keyakinan, dengan alasan yang beragam. Nenek Monique, juga ibu dan ayahnya sudah lama meninggalkan keyakinan Yudaisme, dan beralih menjadi Kristen. "Yudaisme adalah agama asli orang Yahudi. Mereka menjaga tradisi dan bahkan sangat ketat menjaganya," ujar Monique. 

Beberapa tahun lalu Monique mendirikan yayasan Hadassah of Indonesia. Sudah beberapa kali perizinan yayasan tersebut ditolak. Sebab, awalnya ia menyertakan nama Yahudi. Tapi setelah kompromi dan memilih nama Hadassah of Indonesia, izin yayasan diberikan. Monique memutuskan untuk melakukan edukasi tentang Yahudi dan keturunan Yahudi di Indonesia. Ia menyelenggarakan pemutaran film, dan diskusi tentang Yahudi. Meski sudah beragama Kristen, namun Monique merasa memiliki kewajiban untuk mendudukkan permasalahan soal Israel, Yahudi, dan Yudaisme. 

Masuknya Yahudi ke Indonesia 

Yahudi di Indonesia tidak serta merta ada atau baru kali ini saja. Mereka, seperti yang disampaikan Monique, memang sudah ada sejak berabad-abad lampau.  Kisah masuknya Yahudi ke Indonesia disampaikan dengan detil oleh Teuku Cut Mahmud Aziz, S.Fil., M.A, dosen program studi Hubungan Internasional, Universitas Al Muslim, Aceh. 

Pria yang akrab disapa Pon Cut ini sudah berulang kali meneliti soal masuknya Israel dan Yahudi ke Indonesia, terutama melalui Aceh. Menurut Pon Cut, gelombang masuknya orang Yahudi ke Indonesia terpecah dua. Pertama pada abad ke 8 dan 11 Masehi, dan gelombang kedua adalah awal abad ke 20, dibarengi dengan VOC. 

Renovasi makam seorang Yahudi di Aceh

Pada Abad ke-11 ditemukan Arsip Geniza di Synagogue di Fustat, Mesir. Penemuan ini memperkuat bukti sejarah bahwa pada Abad Pertengahan telah terjadi hubungan perdagangan antara Mesir, India, dan nusantara. Dalam arsip berisi informasi tentang seorang pedagang Yahudi dari Mesir berlayar menuju Barus (Fansur) di Tapanuli Tengah, dan meninggal di sana. Di masa itu Barus menjadi pusat perdagangan emas dan kapur barus terbaik di dunia," ujar Pon Cut.

 Ia menyampaikan, informasi tersebut ditemukan dalam buku yang berjudul Letters of Medieval Jewish traders, karya Goitein, 1973. Alasan mereka datang adalah untuk berdagang, dengan transportasi kapal laut. 

Menurut Pon Cut,  orang Yahudi telah melakukan perjalanan sebelumnya ke Sumatera dan Acheh pada abad ke-8. Seperti sejarah abad ke-9, seorang pedagang Yahudi dari Sohar-Oman, Ishaq ben Yahuda yang berlayar ke Cina, tetapi kapalnya tertangkap. Dia terbunuh di pelabuhan di Sumatera.

Gelombang kedua kedatangan Yahudi ke Indonesia terjadi pada Abad ke-20. diawali dengan sejarah VOC di Nusantara. Mengutip buku berjudul Harmonic, yang ditulis pada tahun 1996, seorang utusan Zionis, Israel Cohen bepergian ke Hindia Belanda pada tahun 1921. Israel Cohen mengatakan ada sekitar 2.000 orang Yahudi yang tinggal di Pulau Jawa.

Umumnya mereka berasal dari Eropa Tengah, Rusia Soviet, Irak, Aden, Malaysia, Belanda, India, dan Singapura. Ditambahkan oleh kesaksian Hen et S.I Van Creveld tahun 1930-an bahwasanya orang-orang Yahudi di Hindia Belanda diperkirakan berjumlah 2.000 orang. "Diperkirakan 1.500 orang dari mereka menetap menyebar di beberapa kota di Pulau Jawa sedangkan 600 lainnya memilih menetap di Jawa Timur, khususnya di Surabaya," tutur Pon Cut.

Jejak sejarah kedatangan mereka tersebar mulai dari Aceh, Medan, Padang, Palembang, Bangka, Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Malang, Kalimantan, Maluku, hingga Sulawesi. Alasan awal mereka datang adalah untuk berdagang, seiring dengan keberadaan VOC di Nusantara hingga masa Hindia Belanda. Pon Cut menyampaikan, tak semua Yahudi yang datang ke Indonesia adalah pedagang. Ia mencontohkan kehadiran seorang Yahudi bernama Abraham Nabarro. Tahun 1689, Nafarro yang berprofesi sebagai penerjemah bahasa telah melakukan pelayaran dari Malaka menuju Kerajaan Aceh. 

Ada data menarik, pada tahun 1689 orang Yahudi yang bernama Abraham Nabarro, seorang penerjemah bahasa, melakukan pelayaran dari Malaka menuju Kerajaan Aceh, dan pada Abad ke-18 orang Yahudi yang bernama Isrealiet Abraham Geheeten menjadi ahli bahasa (linguistik) di Kesultanan Aceh Darussalam.

Makam seorang Yahudi di Jakarta.

Saat awal kedatangan ke Indonesia, kehidupan mereka secara ekonomi sangat bagus, dengan status sosial yang tinggi.  Mereka, ujar Pon Cut, mendapat fasilitas dan hak istimewa dari Pemerintah Hindia Belanda dalam kepemilikan tanah, perkebunan, hingga usaha dagang. Tapi syaratnya harus menjadi warga Negara Kerajaan Belanda terlebih dahulu. Program naturalisasi ini diberlakukan oleh Kerajaan Belanda bagi warga Negara Eropa termasuk yang beragama Yahudi yang ingin berusaha atau bekerja di Wilayah Hindia Belanda. Proses naturalisasi ini dimulai tahun 1850 hingga berakhir tahun 1934. 

Pon Cut mengatakan, dalam data antara periode tersebut, jumlah orang yang mengikuti naturalisasi yang berasal dari berbagai Negara di Eropa berjumlah 11.091 orang. Contohnya di Aceh, banyak orang Yahudi Rumania, Eropa Timur yang ikut program naturalisasi, yang akhirnya berkebangsaan Belanda. Di Rumania mereka berasal dari Kota Botosani, Bojan, Piatra, Harlou, dan Braila. Selain dari Rumania, ada juga yang berasal dari Rusia dan Austria.

Kehadiran mereka di Indonesia ternyata tak semua untuk kepentingan bisnis. Ada juga orang Yahudi yang menjadi anggota dari kepolisian Pemerintah Hindia Belanda, yaitu Mr.C.J van der Zijl. Ia adalah seorang pria kelahiran Groningen, 15 Mei 1839. Van der Zijl berprofesi sebagai polisi di Aceh Besar yang meninggal karena luka tertembak di Kroeng-Kali pada 4 Agustus 1881.

"Proses akulturasi warga Yahudi sangat baik. Karakteristik akulturasi mereka adalah integrasi, di mana mereka mampu mempertahankan budaya mereka seperti banyak keluarga keturunan Yahudi yang dapat berbahasa Hebrew dan mempertahankan tradisi agama dan budayanya, tapi juga menjadi bagian dan terintegrasi dalam nilai, sikap, dan budaya Indonesia. Mereka telah lama hidup di Indonesia. Mereka keturunan ketiga hingga keempat. Jika kita tanya kepada mereka, mereka orang mana? Mereka akan mengatakan “Kami orang Indonesia dan mencintai Indonesia,” urainya.

Bahkan, di antara keturunan Yahudi itu ada yang telah beragama Islam atau menikah dengan pasangan yang beragama Islam. Dan mereka hidup sebagai warga negara Indonesia, tak berbeda dengan warga negara pada umumnya. 

Jejak Yahudi di Jakarta

Mencari jejak kaum Yahudi di Jakarta ternyata tak mudah. Tak banyak yang berani menampilkan diri sebagai seorang Yahudi. Bahkan sebisa mungkin mereka menghindar.  Beberapa kali mengajukan permohonan wawancara, tiga narasumber yang awalnya setuju, akhirnya membatalkan. Penulis juga sudah sempat diizinkan datang ke sebuah upacara yang akan diadakan, namun akhirnya dibatalkan. Dipersilakan untuk datang, tapi tak diizinkan untuk liputan atau pemberitaan.

Situasi yang bisa dipahami karena kondisi yang terjadi saat ini jauh berbeda dibanding masa sebelum kemerdekaan. Menurut Teuku Cut Muhammad Aziz, masyarakat Indonesia di masa lalu sangat kosmopolitan dan tak peduli pada agama seseorang. Kehidupan orang Yahudi di negeri Muslim, atau mayoritas Muslim seperti Indonesia jauh lebih aman dibanding kehidupan mereka di Eropa yang penuh penindasan, hingga genocida. 

Kehidupan mulai berubah setelah terjadi perang Israel-Palestina. Kemerdekaan Israel dianggap menafikan kemerdekaan Palestina. Dampaknya, kasus perebutan tanah ditarik ke ranah agama. Permusuhan kepada warga Yahudi berkembang menjadi aksi antisemitisme. Dan kondisi itu juga berimbas pada kehidupan kaum Yahudi di Jakarta. Menurut Pon Cut, warga Yahudi perlahan memilih menyingkir dan menyembunyikan identitasnya.

Rabbi Benjamin Meijer Verbrugge dari The United Indonesian Jewish Community (UIJC). Rabbi Ben, begitu ia biasa disapa, mengatakan jumlah keturunan Yahudi di Jakarta saat ini diperkirakan ada 4.000 hingga 5.000 orang. Tapi tak semuanya masih menganut Yudaisme. Banyak diantara mereka sudah berganti. Di komunitas yang ia pimpin, hanya ada 38 orang Yahudi yang sudah sah, dan berada di bawah supervisinya. Yahudi yang sudah sah adalah mereka yang sudah mendeklarasikan diri untuk kembali pada agama leluhur dan mendapat sertifikasi dari Rabbi dan organisasi Yahudi internasional. 

Tapi tak mudah untuk seorang Yahudi yang ingin kembali. Sebab tak serta merta langsung diterima. Ada proses yang harus dilalui selama 1,5 hingga dua tahun untuk disahkan dan diberikan sertifikat sebagai penganut Yudaisme yang tercatat dan diakui.

"Saya tak mau menerima mereka yang hanya ingin datang sesekali, lalu kembali lagi ke agama asalnya. Saya ingin bertemu mereka yang komit untuk kembali menjalani kehidupan sebagai orang Yahudi. Karena memang menjalankan tradisi leluhur itu berat. Jadi butuh keinginan yang sungguh-sungguh untuk kembali dan menjalankan lagi tradisi leluhur. Kalau merasa agama asalnya lebih baik, silakan keluar dari supervisi saya, dan teruskan ajarannya. Bagi saya, meyakini agama asal jauh lebih baik, yang penting selalu tumbuh," ujar Rabbi Ben kepada VIVA. 

Ia juga mengatakan, meski saat ini sedang menguat penolakan pada kaum Yahudi ia memilih tak terganggu. Rabbi Ben menegaskan, agama Yahudi bukan agama syiar. Jadi tak ada kewajiban bagi kaum Yahudi untuk mengajak orang lain untuk ikut memeluk agama mereka. Tak perlu ada yang takut warga Yahudi akan membesar. Meski, menurut Rabbi Ben, jumlah pertumbuhan warga Yahudi terus bertambah, tapi sifat agamanya yang tidak menyebarkan agama seharusnya tak dikhawatirkan. 

Soal habisnya Sinagog di Jakarta juga tak ia persoalkan. "Agama Yahudi bukan agama gedung, tapi agama keluarga. Pembukaan ibadah Sabat selalu dilakukan di rumah, dengan bapak sebagai imam yang memimpin ibadah. Maka meski Sinagog enggak ada, tidak penting buat kami," ujar Rabbi Ben kepada VIVA. 

Rabbi Ben menegaskan, bagi dirinya dan keluarganya, fokusnya beragama adalah membesarkan anak-anak sebagai Yahudi. Caranya dengan membawa kebanyakan tradisi di rumah, karena ke Sinagog hanya dilakukan setiap Sabtu. Tapi kebutuhan Sinagog tetap penting, karena Sinagog berfungsi juga sebagai rumah untuk doa atau bait el silah, rumah untuk belajar atau bait midraz, atau madrasah tempat studi Torah, dan rumah perkumpulan atau bait neseb. Namun jika tak ada, ibadah tak akan berhenti.

Bagi Rabbi Ben, agama selayaknya adalah hubungan personal atau pribadi seseorang dengan Tuhannya. Bahkan ia mengaku sangat tidak setuju dengan pencantuman kolom agama pada KTP. Meski demikian Rabbi Ben mengaku sejauh ini sudah menjalankan ibadah dengan tenang tanpa intimidasi. Ia tetap bisa menjalankan ibadah Sabat, yang dimulai pada Jumat Sore dan berakhir pada Sabtu sore. Rabbi Ben juga mengatakan bahwa sinagog memang dibutuhkan, tapi jika tidak ada, maka ibadah tetap bisa berjalan. 

Hanya sedikit keturunan Yahudi yang bersedia terbuka, seperti Monique Rijkers atau Rabbi Ben. Pun keduanya tetap berhati-hati menjaga identitas diri. Jejak Yahudi di Jakarta memang samar, tapi bukan berarti tak terdengar. Mereka masih ada, bukan tiada.  (umi)
 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya