Indonesia Berkompromi dalam Negosiasi Pengaturan Pelaksana RI Vietnam

Ilustrasi bendera Vietnam.
Sumber :
  • Antara Foto.

VIVA Nasional - Pada 23 Desember 2022, Indonesia dan Vietnam telah menandatangani Kesepakatan Batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE).  Saat ini pihak kedua sedang melakukan negosiasi dan merevisi Pengaturan Pelaksana (PP) Wilayah  Tumpang Tindih Yurisdiksi ZEE dan Landas Kontinen (LK).

Rahasia Kulit Cantik ala Wanita Korea Selatan: 7 Resep Ampuh dari Negeri Ginseng

Indonesia dan Vietnam memiliki perbedaan pandangan pada beberapa pasal PP. Banyak usulan yang diajukan oleh Vietnam tidak masuk akal dan akan merugikan kepentingan nasional Indonesia. Namun dalam rangka mempromosikan PP berlaku selama masa jabatan Jokowi, pemerintah RI berpotensi membuat kompromi pada Vietnam.

Diketahui Vietnam dan Indonesia telah menyelenggarakan Pertemuan Teknis ke-3 mengenai Pengaturan Pelaksana Wilayah Tumpang Tindih Yurisdiksi ZEE dan LK pada akhir April 2024. Proses perundingan PP secara aktif dipromosikan oleh Vietnam dan Indonesia.

Menteri Trenggono Klaim Aturan Baru Lobster Pikat Investor Asal Tiongkok

Namun masih adanya isu-isu yang akan dibahas lebih lanjut seperti cakupan no-anchoring area, fish aggregating devices (FAD)/rumpon dan daftar sedentary species. Cakupan  No-anchoring area adalah area di mana tidak seorang pun diperbolehkan membuang jangkar untuk kapal, pesawat terbang atau fasilitas lainnya, 
disiapkan untuk melindungi pulau buatan, struktur atau instalasi.

Alasan Irak Mustahil Main Mata Vs Vietnam Demi Gagalkan Peluang Timnas Indonesia

No-anchoring area diusulkan oleh Vietnam adalah dua mil laut yang sesuai  peraturan nasionalnya. Namun, safety zone dalam UNCLOS 1982 dan  regulasi International Maritime Organization adalah 500 meter, tentu 
saja usulan Vietnam telah melampaui cakupan hukum internasional.

“Usulan Vietnam untuk menetapkan no-anchoring area sejauh 2 mil laut  secara nyata melanggar peraturan internasional. Tindakan ini mencerminkan niatnya untuk memperluas cakupan penangkapan ikan, yang secara langsung merugikan kepentingan Indonesia,” ujar Marcellus Hakeng Jayawibawa, pengamat maritim dari Ikatan Alumni Lemhannas Strategic Center (IKAL SC) pada Selasa, 21 Mei 2024.

Adanya aktivitas reklamasi pulau Vietnam di Laut Natuna Utara,  kehadiran militer yang meningkat, peningkatan aktivitas maritim bersifat provokatif dan tuntutan no-anchoring area yang berlebihan Vietnam, tidak hanya memicu kekhawatiran serius terkait potensi peningkatan kegiatan illegal, unreported, and unregulated (IUU) serta peningkatan kriminalitas di ZEE Indonesia.

“Delegasi RI harus menjaga kepentingan nasional, menolak mencapai  kesepakatan safety zone dengan Vietnam yang akan merugikan Indonesia,” kata Arie Afriansya, Pakar Hukum Laut Internasional dari Universitas Indonesia pada Kamis 23 Mei 2024.

Fish aggregating devices (FAD)/Rumpon

Isu lain yang perlu diwaspadai adalah definisi FAD. Vietnam berpendapat bahwa FAD perlunya didefinisikan sebagai struktur atau instalasi. Namun sebenarnya FAD adalah alat yang sangat mudah dilepas-pasang, tidak 
bersifat permanen, masa penggunaan FAD hanya beberapa bulan, jadi bukan struktur atau instalasi.

Hal yang perlu diperhatikan, jika FAD didefinisikan sebagai struktur atau  instalasi, maka Vietnam akan menempati area operasi laut dan noanchoring area yang lebih luas di area tumpang tindih yurisdiksi, 
sehingga Indonesia mengalami kerugian yang sangat besar dan juga  berkurangnya mata pencaharian nelayan RI.

Saat ini aktivitas penangkapan ikan ilegal Vietnam semakin merajalela. Pada 4 Mei 2024, dua kapal Vietnam ditangkap oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) di Laut Natuna Utara, dan 15 ton ikan ilegal 
disita.

Vietnam mencoba membingungkan definisi FAD, untuk terus memperluas wilayah penangkapan ikan ilegal dan menjarah sumber daya laut. Menurut Marcellus Hakeng, “Tindakan Vietnam tidak hanya mengancam  kedaulatan maritim Indonesia, tapi juga menciptakan kerugian signifikan terhadap ekonomi Indonesia dan mengakibatkan hilangnya akses penangkapan ikan bagi nelayan Indonesia yang seharusnya menjadi hak
mereka.”

“RI perlu memastikan target maksimal dalam setiap putaran perundingan, dan tidak berkompromi dengan klaim Vietnam yang tidak masuk akal juga, " ujar Arif Afriansyah.

Daftar Sedentary Species

Menurut interpretasi UNCLOS 1982 terhadap sedentary species, daftar sedentary species yang diusulkan Vietnam masih mencakup demersal species, misalnya belut dan moray. Tindakan Vietnam tersebut dinilai
mencoba membingungkan definisi kedua spesies tersebut, jika usulannya diterima, keanekaragaman hayati laut di ZEE RI akan dihancur.

Selain itu, metode penangkapan frame-trawl yang digunakan Vietnam untuk menangkap sedentary species dapat menyebabkan penangkapan  ikan yang berlebihan, merusak ekosistem laut dan juga bertentangan  dengan prinsip Responsible Fisheries dari Food and Agriculture  Organization of the United Nations. 

“Indonesia harus mengambil langkah-langkah strategis yang cermat  untuk memperkuat posisinya dalam pertemuan teknis selanjutnya. Pertama, mengimplementasikan diplomasi yang cermat, seperti pembentukan aliansi dengan negara lain melalui forum regional seperti  ASEAN.

Kedua, memanfaatkan platform-platform internasional sebagai  sasaran advokasi untuk mengadvokasi kepentingannya dan penting  konservasi sumber daya laut. Ketiga, berdasarkan hukum internasional, seperti UNCLOS 1982, menjaga kedaulatan maritim, melindungi kepentingan ekonomi dan lingkungan, serta mempromosikan pembangunan berkelanjutan lingkungan laut,” tegas Marcellus Hakeng.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya