Kecanduan Smartphone Berisiko Picu Depresi

Aplikasi smartphone.
Sumber :
  • REUTERS/Phil Noble

VIVA – Penggunaan smartphone belakangan semakin tak bisa jauh dari kehidupan manusia. Penggunaan gadget ini bahkan mulai memberikan efek ketergantungan. Bahkan ada seseorang yang berharap dia tidak pernah memiliki ponsel. Setiap kali benda itu berdengung, dia dipenuhi rasa cemas karena harus menghadapi klien atau bosnya.

HP Oppo dengan Standar Militer Segera Hadir di Indonesia

"Saya tidak bisa mengabaikan notifikasi dan pesan yang masuk. Anda tahu saya suka teknologi, tetapi saya frustrasi karena saya tidak bisa hidup tanpanya," ujar seorang manajer akun di biro komunikasi, dikutip melalui situs The Star, Jumat, 17 Agustus 2018.

Ia tidak bisa mengabaikan ponselnya selama dua jam. Dia tidak ingin membiarkan kliennya menunggu lama. Namun dia juga selalu bertanya-tanya mengenai kebenaran perilakunya terhadap media sosial.

iPhone 15 Pro Max bikin Apple Bisa Bernafas Lega

Banyak peneliti menunjukkan, kecanduan smartphone dengan media sosial masih saling berkaitan. Akibatnya sering mengarah pada memburuknya kesehatan mental yang bisa diserang rasa cemas dan depresi.

Pada tahun 2016, Suleyman Demirel dari Universitas di Turki menunjukkan, depresi, kecemasan, dan kualitas tidur yang rendah berkaitan dengan penggunaan smartphone yang berlebihan. Penelitian yang dilakukan terhadap mahasiswa di sana menyatakan bahwa perempuan secara signifikan lebih kecanduan daripada pria.

Ngobrol Pakai Realme C65 dalam Keadaan Basah Enggak bikin 'Worry'

Dr Muhammad Najib menjelaskan, depresi dapat berarti gejala atau diagnosis. Ketika seseorang merasa tertekan, orang itu merasa rendah, sedih dan putus asa.

Seorang Ibu yang namanya disamarkan, Nadia Fernandez, bergabung dengan grup Facebook usai melahirkan. Di dalam grup itu dirinya ingin mendapat pengakuan bahwa sudah melakukan yang terbaik sebagai seorang ibu. Namun hal tersebut justru menjadi bumerang bagi dirinya, dia merasa tidak bahagia dan depresi.

"Mereka memiliki kartu laporan dan gambar-gambar lemari es penuh dengan ASI ekspres. Sedangkan saya hampir tidak memproduksi itu karena saya tidak tahu alasannya. Saya merasa menjadi ibu yang mengerikan," jelasnya.

Sebuah studi yang dilakukan oleh University of Copenhagen, Denmark, menemukan fenomena 'Facebook envy'. Pada 2015 lebih dari seribu peserta dipisahkan menjadi dua grup. Satu grup yang bisa mengakses Facebook, satu lagi tidak. Hasilnya mereka yang tidak menggunakan media sosial selama seminggu menjadi lebih puas dengan hidup mereka.

Psikolog klinis, Dr Shawn Lee mengatakan, smartphone yang saat ini ada di tangan masyarakat mungkin tidak realistis. Namun ada banyak dokter dan peneliti yang mengeksplorasi ponsel sebagai sarana intervensi psikologis.

"Ini menunjukkan bahwa smartphone itu tidak selamanya bahaya, sama seperti teknologi." (ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya