Pakar Sebut Mycoplasma Pneumonia Sudah Ada Sebelum COVID-19, Bagaimana Kondisi di Indonesia?

Wabah Pneumonia Misterius Merebak di China
Sumber :
  • India Today

JAKARTA –  Kasus mycoplasma pneumonia belakangan terus menjadi sorotan dunia. Menyusul dengan anak-anak yang dilaporkan masuk rumah sakit.

Keberadaan Astronot Terancam, Hal Mengerikan Ini Muncul di Luar Angkasa

Berdasarkan laporan media lokal Global Times pada Selasa kemarin, Rumah Sakit Anak Beijing menerima 9.378 pasien. Rumah sakit itu juga menyampaikan dalam dua bulan terakhir selalu full kapasitas.

Lantas bagaimana mycoplasma ini menginfeksi tubuh? Spesialis Paru RSUP Persahabatan, yang Ketua POKJA Infeksi PDPI, Prof. Dr.dr. Erlina Burhan, M.Sc, SpP(K) angkat bicara. Dijelaskan oleh Erlina, Yuk lanjut scroll artikel selengkapnya berikut ini.

Pendingin Udara Ini Bisa Mendeteksi Pergerakan Manusia

Bakteri ini merupakan patogen ekstrasel sangat bergantung pada epitel sistem pernapasan dan faktor virulensinya untuk bertahan hidup.

Pemeriksaan virus corona atau pneumonia Wuhan di Korea Selatan.

Photo :
  • Allkpop
Pasien Imunodefisiensi Primer Minta Pemerintah Masukkan Terapi IDP ke dalam Formularium Nasional

“Jadi menempel pada epitel memproduksi hidrogen peroksida dan super oksida. Produksi keduanya menyebabkan kerusakan pada sel epitel dan sillia di sekitarnya,” jelas Erlina dalam virtual press conference, Jumat 1 Desember 2023.

Di sisi lain, Erlina juga menyebut bahwa mycoplasma yang mewabah di China ini bukanlah sesuatu yang baru melainkan bakteri yang sudah ada sejak lama.

Disebutnya bakteri ini sudah ada sebelum pandemi COVID-19.

“Mycoplasma Pneumonia ini merupakan bakteri atipit. Merupakan salah satu penyebab infeksi saluran pernafasan sebelum pandemi COVID-19. Kuman ini sudah ada sebelum ada pandemi yang menyebabkan pneumonia,” ujarnya.

Diungkap Erlina lebih lanjut Mycoplasma ini sudah lama ditemukan. Namun karena tidak rutin diperiksa, bakteri ini umumnya ditemui saat dilakukan pemeriksaan terhadap pasien yang mengalami gejala.

“Mycoplasma ini sudah lama bukan sesuatu yang baru. Sudah lama ditemukan tapi karena tidak rutin diperiksa, bukan suatu pemeriksaan yang rutin maka ketemunya biasanya ketika kita melakukan penelitian,” ungkapnya. 

Erlina juga mengungkap bahwa gejala mycoplasma pneumonia yang dialami antara orang dewasa dan anak-anak akan berbeda. Pada dewasa, kata Erlina gejala ringan saja berbeda dengan anak.

“Ada batuk demam tidak terlalu tinggi kemudian dahaknya tidak banyak tidak hijau atau kekuningan atau kecoklatan tapi bening. Leukositnya tinggi,” ujarnya.

Dia menambahkan,”Intinya biasanya ringan saja itu mengapa pemerintah maupun dokter serius karena tingkat kesembuhan tinggi tidak perlu dirawat cukup istirahat di rumah minum obat asymtomatis seperti obat flu, paracetamol minum yang cukup istirahat cukup kalau memerlukan antibiotik yang makrolab. Itulah kenapa Mycoplasma tidak jari sesuatu yang dikhawatirkan,” ungkapnya.

Wabah pneumonia di China.

Photo :
  • The HealthSite.

Namun hal ini akan berbeda jika terjadi pada anak. Terutama pada anak yang memiliki riwayat alergi dan asma.

Selain itu pasien dewasa dengan komorbid seperti hipertensi, asma dan PPOK juga bisa mengalami gejala yang lebih berat jika terkonfirmasi dengan mycoplasma pneumonia. 

“Kalau anak punya alergi dan asma biasanya agak berat akan menimbulkan penyempitan saluran nafas sehingga menjadi sesak nafas. Untuk dewasa ringan kecuali orang dewasanya lansia. Ini akan lebih berat apalagi kalau ada komorbid PPOK, Asma, hipertensi ini membuat gejala lebih berat dan mungkin dirawat karena komorbidnya,” ujar dia. 

Erlina juga mengungkap berdasarkan penelitian terhadap pasien yang dirawat dj rumah sakit ketika dilakukan pemeriksaan khusus diketahui 26 persen dari kasus pneumonia ditemukan adanya Co-infeksi.

“Kalau dirawat berat. Ketemu kuman klepesi pneumoni, tetapi ketika dilakukan pemeriksaan khusus 26 persen dari kasus pneumoni ditemukan ada Co-infeksi pneumonia mycoplasma. Akan lebih berat kalau Co-infeksi. Kalau tunggal hanya pneumoni tidak akan berat. Kalau kita risiko berat jalani kembali prokkes seperti pada covid,” ujar dia.  

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya