SOROT 562

Ngibing Ora Danta

Aksi Ondel-ondel Betawi
Sumber :
  • VIVAnews/Fernando Randy

VIVA – Matahari baru bergeser lepas tengah hari. Tiga pemuda di sudut Jakarta tampak bergegas dan berkemas. Satu orang mengenakan ondel ondel. Kemudian ada yang mendorong gerobak kecil yang sudah dimodifikasi dengan alat pengeras suara. Sementara satunya menyiapkan ember dari kaleng bekas cat tembok sebagai penadah uang. Setelah rapi, ketiganya segera berjalan bersama.

Angkat Keindahan Budaya Betawi, Indonesia Fashion Week (IFW) 2024 Siap Digelar

Nyok kita nonton ondel-ondel.. nyok! Nyok kita ngarak ondel-ondel.. nyok! Ondel-ondel ade anaknye... Anaknye ngider der ideran...

Alunan lagu Betawi yang dipopulerkan oleh almarhum Benyamin Sueb itu lalu menggema di sepanjang jalan Malaka Raya, Duren Sawit, Jakarta Timur. Lagu yang terdengar dengan volume besar itu bersaing dengan suara knalpot kendaraan dan teriakan bocah. Suara musik khas daerah Ibu Kota Jakarta itu terus terdengar sepanjang jalan,  menembus dinding-dinding dan kaca rumah yang dilewati. 

Peduli Kesenian Tradisional, Idris Sandiya Kampanye Kreatif Lewat Ondel-ondel

Aksi Ondel-ondel Betawi

Mengamen menggunakan ondel ondel

Lewat IYFDC, Desainer Muda Indonesia Ditantang Kreasikan Budaya Betawi

Tak peduli sengatan matahari sore dan kendaraan yang melaju kencang, tiga pemuda terus bergerak melawan terik matahari dan debu polusi. Ketiganya lincah berjalan mengamenkan ondel ondel, sebuah boneka raksasa khas Betawi. Mereka bergantian tugas mengusung ondel ondel. Sebab, dengan tinggi boneka yang mencapai 2,5 meter dan berat mencapai 7 hingga 10 kilo, mereka tak akan kuat terus menerus membopong hingga berjam-jam lamanya. 

Ketiga pemuda tanggung itu adalah Ijan (22), Arya Kamandanu (17), dan Fahmi (16). Ketiganya warga Kampung Jembatan, Penggilingan, Cakung.  Demi mengais rupiah, tiga pemuda itu kompak keluar rumah tepat pukul 14.00 WIB. Setelah persiapan beres, maka ketiganya akan berjalan kaki hingga belasan kilometer menyusuri trotoar jalanan Jakarta hingga permukiman padat penduduk di sekitar Jakarta Timur. Rute yang dipilihnya pada hari itu adalah perkampungan warga Duren Sawit, Kampung Sumur, Klender, Pondok Bambu, hingga Banjir Kanal Timur (BKT) Kalimalang.

Dengan wajah ceria, ketiganya menyusuri ruko, rumah-rumah warga, dan warung-warung di pinggir jalan. Pembopong ondel ondel akan menggerakkan ondel ondel hingga terlihat seperti meliuk menari. Musik terus dibunyikan sepanjang jalan. Sementara ember disodorkan kepada siapa saja yang mereka temui, berharap orang yang dihampirinya melempar receh ke kaleng cat kosong yang dibawa.

Aksi ngamen barongan atau ondel-ondel terus berlanjut hingga langit makin gelap. Rutinitas yang dilakukan membuat mereka sudah bisa memperhitungkan rute perjalanan dan waktu. Sebab, persis menjelang pukul 20.00 WIB posisi ketiganya sudah berada di sekitar pasar malam BKT yang setiap hari selalu ramai dikunjungi warga. Sasaran mereka kini sudah beralih, bukan lagi rumah-rumah warga, tapi pengunjung pasar malam, termasuk pedagang di sepanjang area BKT Kalimalang. Pukul 21.00 WIB, ketiganya mengakhiri 'tugas' mereka. 

"Alhamdulillah bang, hari ini kita dapat 270 ribu, lumayan lah," kata Ijan kepada VIVAnews, Selasa malam, 16 Juli 2019. 

Ondel-ondel

Mikrolet membawa ondel ondel

Itu belum penghasilan bersih. Pasalnya, uang tersebut harus disisihkan untuk membayar sewa mikrolet yang digunakan untuk mengangkut ondel ondel, membeli makan dan minum selama mengamen, juga setoran ke pemilik ondel ondel.  Setelah semua pengeluaran disisihkan, maka sisanya dibagi tiga. Selanjutnya, ondel ondel dan gerobak pengeras suara, juga Ijan, Arya dan Fahmi kembali pulang ke Kampung Jembatan diantar mikrolet sewaan. Biasanya, mereka bisa mengantongi 60-ribuan dari hasil berkeliling belasan kilometer itu. 

"Angkot mah udah pada paham bang, biasanya emang ongkos sekitar Rp30ribuan sampai rumah. Sama buat setoran ke Babe Kaliyat (pemilik ondel ondel) deh Rp50ribu," ujar Ijan.

Ijan menuturkan, pendapatannya sekarang jauh lebih sedikit jika dibandingkan penghasilan ngarak atau ngamen ondel ondel tahun lalu. Menurut dia, penyebab turunnya penghasilan ngarak ondel ondel karena sekarang semakin banyak orang yang melakukan hal yang sama, yaitu mengamen dengan menampilkan seni budaya Betawi itu.

Hal itu dibenarkan oleh Arya Kamandanu. Pria yang masih duduk di kelas 3 SMP swasta itu mengisahkan pengalamannya ketika profesi ngarak ondel ondel di Ibu Kota Jakarta masih menjanjikan, sekitar dua tahun lalu. Saat itu ondel ondel masih jarang ditemukan di jalan-jalan atau perkampungan Jakarta. 

Arya biasanya ngarak ondel-ondel bersama sepuluh orang temannya. Kesepuluh orang itu masing-masing membawa alat musik seperti gendang, tean (biola Betawi), biola, hingga gong yang dipikul oleh dua orang. Ketika itu, penghasilan ngarak ondel ondel atau barongan bisa mencapai Rp1 juta per hari. Dan itu didapatkan hanya dari mengamen di sekitar kampung, tak seperti sekarang yang harus berjalan belasan kilometer. 

"Dulu mah beneran enak, di kampung sendiri bisa dapet cepek (100 ribu) seorang paling dikit. Kadang 150 ribu seorang. Sekarang paling segitu, 60 ribu seorang. Itu juga udah jalan jauh ke Pancong, Pondok Bambu sono. Yaa lumayan deh itungannya mah," kata Arya.

Penghasilan besar dari mengamen ondel ondel kini hanya menjadi cerita. Ijan, Arya, dan Fahmi harus bersaing keras karena menjamurnya pengamen-pengamen yang memanfaatkan ikon budaya Betawi tersebut.

Pudarnya Sandaran Hidup 

Ijan, Arya dan Fahmi adalah pemuda yang tinggal di Kampung Jembatan, Penggilingan Cakung, Jakarta Timur. Wilayah tersebut didominasi warga asli Betawi. Ijan, Arya dan Fahmi teman main sejak kecil di kampung tersebut. Sebagai warga asli Betawi, ketiganya sudah tak asing dengan ondel ondel. Mereka mengaku sudah sejak kecil ikutan ngarak ondel ondel. Bahkan sejak usia lima tahun. Tetapi karena masih kanak kanak, mereka tak berani berkeliling jauh. Biasanya hanya ikutan ngarak di sekitar kampung, ketika ondel ondel tampil di berbagai acara dan kegiatan kampung.

"Meski masih bocah, kalau ikut ngarak ondel ondel ya kita dibagi duit juga. Ya seneng saja gitu," ujar Ijan.

Semakin besar, ketiga pemuda ini mulai punya keinginan untuk ngarak ondel ondel keluar kampung. Merasa senang karena bisa dapat uang dari hasil mengarak ondel ondel, mereka berharap bisa mendapat penghasilan lebih besar lagi. Tahun 2015, ketiga bocah ini mulai memberanikan diri untuk ngamen di wilayah sekitar kampung mereka.

Ondel-ondel

Para pengamen ondel ondel

Menurut cerita Arya ketika pertama mereka main ke luar kampung, saingan masih sangat sedikit. Situasi itu sangat menguntungkan mereka. Sebab penghasilan mereka meningkat drastis. Apalagi tahun-tahun itu mereka selalu tampil dengan formasi lengkap. Ada pemain musik dengan alat alat yang mumpuni. "Waktu itu mah masih sepi. Penghasilan sehari bisa satu juta, dibagi-bagi masih bisa kita dapat 150,000-an per orang," ujarnya. 

Arya berkisah, mereka bahkan pernah mengarak ondel ondel hingga ke wilayah yang sangat jauh. Mereka pernah pergi ke Cikarang, dan mengontrak rumah selama satu bulan. Mengamen di wilayah Cikarang dan sekitarnya, lalu kembali ke kampung sendiri dengan penghasilan yang membuat senyum mereka semua terkembang lebar. 

Sedikitnya pengarak barongan atau ondel ondel saat itu membuat kelompok ondel ondel panen besar. Tak perlu keluar jauh dari kampung, dengan durasi yang tak mencapai lima jam, penghasilan yang mereka terima cukup besar. Memang membutuhkan rombongan besar agar bisa memainkan alat musik lengkap, tapi itu tak jadi masalah karena penghasilan yang didapat melebihi ekspektasi. 

Tapi kondisi ‘basah’ itu perlahan berakhir. Arya, Ijan, dan Fahmi mulai berhadapan dengan kompetitor yang juga memainkan ondel ondel. Jika dulu hanya terlihat satu atau dua pengamen ondel ondel, sekarang jumlah mereka bertambah banyak dan datang dari berbagai penjuru Jakarta. 

"Sekarang ngider ke mana ketemu barongan, ke sini ketemu, ke sana juga ketemu," ujar Arya kepada VIVAnews. 

Arya mengakui, semakin ke sini semakin terasa keberadaan pengarak ondel ondel mulai menurun kualitasnya. Ia mengaku dulu setiap kali mau mengarak ondel ondel, maka minimal 10 orang pengiring akan mendampingi mereka sambil memainkan alat musik. 

Tapi sekarang tak berlaku lagi. Kini, tiga orang saja sudah cukup untuk membawa ondel ondel ke luar kampung, bahkan cukup  menggunakan tape recorder sebagai pengiring ondel ondel. Tak ada lagi alat musik yang ikut mengiringi perjalanan boneka raksasa itu. Keterbatasan personel menjadi alasan Arya, Fahmi dan Ijan. Sebagian besar personel yang kerap ikut mengiring dan kebagian membawa alat musik sering kali mengaku bentrok dengan jadwal sekolah atau kerjaan masing-masing. 

Dampaknya, penghasilan mereka menurun drastis. Menurut Arya, dalam satu hari penghasilan mereka kini hanya mampu menembus angka 300 ribu. Padahal sebelumnya, menghasilkan uang dalam setengah hari mengamen, apalagi mengamen dalam satu hari saja begitu mudah dan mereka bisa memperoleh penghasilan lumayan. Namun kini kondisinya jauh berbeda. 

Tetapi, tuntutan hidup membuat mereka tak terlalu bisa mempertahankan idealisme. Maka meski hanya bertiga dan tak menggunakan live music, Ijan, Fahmi, dan Arya tetap mendorong gerobak mereka dan membopong ondel ondel sambil menyodorkan ember bekas cat berharap ada seribu atau dua ribu rupiah dari orang-orang yang mereka temui. 

Ondel-ondel

Hasil mengamen ondel ondel

Babe Kaliyat, pemilik ondel ondel yang juga merangkap sebagai pengelola Sanggar Mustika Kampung Jembatan, Jalan Marzuki I, Penggilingan, Jakarta Timur, mengakui menurunnya peminat ondel ondel. Ia pertama memiliki ondel ondel tahun 2015. Saat itu tak banyak pemilik ondel ondel sehingga ondel ondel miliknya laris manis dibawa anak anak sekitar rumah. 

Babe Kaliyat menuturkan, tahun 2017-2018 adalah masa keemasan ondel ondel dan Sanggar Mustika yang ia kelola. Saat itu ia bisa mendapatkan hingga Rp70 ribu dari harga sewa ondel ondel. Tapi sekarang, hanya Rp40 ribu, paling mentok Rp50 ribu.

"Saat itu anak lagi rajin-rajinnya. Mereka bawa ondel ondel lengkap dengan alat musik. Meriah. Sekarang anak-anaknya udah pada kerja. Enggak ada lagi yang bawa alat. Engga resep sebenarnya, tapi ya mau gimana lagi," ujar Babe Kaliyat.

Ia mengakui, membiarkan anak-anak membawa ondel ondel tanpa alat musik lengkap jelas mendegradasi budaya. Niatnya untuk menghidupkan kembali budaya Betawi pupus karena tak ada lagi yang bisa membawa ondel ondel dengan alat musik yang lengkap. 

"Dulu tiap Minggu pagi kite mangkal di BKT. Pasang spanduk, gelar alat musik lengkap. Orang-orang udah pada riuh tiap kite dateng. Tapi setelah makin banyak ondel ondel yang asal tampil, orang orang kagak tertarik lagi. Niat kita lestariin budaya Betawi, bukan asal ngamen dapet duit."

Degradasi Ondel Ondel

Ketua Umum Sikumbang Tenabang Ronny Sikumbang menceritakan mengenai tradisi ondel ondel. Menurutnya, ondel ondel diarak keliling kampung awalnya adalah dalam rangka mengusir setan. Ondel ondel, tutur Ronny, dianggap sebagai raja setan sehingga setan kecil merasa takut dengan kehadiran ondel-ondel. 

"Para warga kampung yang kedatangan ondel-ondel merasa senang sehingga mereka memberikan uang kepada pemain ondel-ondel secara sukarela," ujar Ronny berkisah.

Ronny yakin, marwah ondel ondel tak akan menurun meski digunakan untuk mengamen. Hanya saja ia meminta penampilan dan kemasan dari kebudayaan itu bisa dijelaskan. Ronny mengatakan, mengamennya tidak masalah hanya penampilan dan packagingnya yang harus diperbaiki.

"Umpamanya ondel-ondel mesti sepasang, ada laki-laki dan perempuan. Peralatan musik yang dibawa mesti lengkap, bukan dari CD. Kalau sudah masuk suara adzan berkumandang mesti berhenti. Pemain ondel ondel juga mesti berpakaian rapi dan tidak merokok karena seringkali ditonton oleh anak-anak kecil," ujarnya.

Ondel-ondel Betawi di Festival Pesona Lokal

Ondel ondel di festival pesona lokal

Ronny menjabarkan, saat ini telah terjadi pergeseran makna kehadiran ondel ondel yang dulunya sebagai sarana untuk mengusir setan-setan kecil yang ada di kampung-kampung, menjadi sarana hiburan semata. Oleh karena itu, mengingat fungsinya yang sekarang sudah berubah, ia menyarankan sebaiknya seniman ondel ondel dibina secara serius oleh instansi terkait.

"Jangan hanya mengkritik keberadaan pengamen ondel ondel, tetapi kita tidak memberikan solusi yang memadai," ujarnya menegaskan.

Sekda Provinsi DKI Jakarta Saefullah mengakui, kini banyak ondel ondel yang digunakan sebagai alat mengamen. Ia meminta agar warga Betawi tak menggunakan ondel ondel yang menjadi simbol Betawi untuk mengamen. Ia berharap bisa meminta bantuan Bamus Betawi dan Lembaga Kebudayaan Betawi untuk memberi pengarahan. 

"Kalau bisa simbol itu jangan dipakai ngamen sama anak-anak itu," ujar Saefullah ketika ditemui VIVAnews usai meresmikan acara Lebaran Betawi 2019 di Monas, Jakarta Pusat, Jumat 18 Juli 2019. Saefullah mengakui, cara meminta-minta uang di jalan mengganggu ketertiban umum. Tapi ia mengatakan akan mengecek dulu mengapa sekarang seperti terjadi ledakan ondel ondel sehingga begitu banyak yang berkeliaran di jalanan, di berbagai penjuru kota Jakarta.

Ondel-ondel

Pengamen ondel ondel

Sejarawan dan budayawan Betawi JJ Rizal mengatakan, konsep dasar ondel ondel memang untuk mengamen atau diarak. Menurut JJ Rizal, Ondel-ondel memang mengamen. Konsepnya adalah alat tolak bala. Mereka "menjual" jasa pengamanan spiritual. Warga dan kampung yang didatangi arak-arakan ondel-ondel justru merasa diuntungkan krn diamankan dari bahaya yang karena itu mereka membalasnya dengan nyawer.

Rizal justru mengapresiasi semakin merebaknya pengamen ondel ondel. Ia mengganggap itu sebagai hal yang bagus, meski dengan sejumlah catatan. "Harus diingat bahwa di tengah ketakpedualian terhadap pelestarian budaya juga minimnya perhatian pemerintah terhadap aset budaya, ledakan pengamen ondel-ondel menjadi jalan bertahan kesenian Betawi itu. Wajar jika dalam konteks itu aspek-aspek penting tradisinya hilang, tetapi pendukung budaya ondel ondel meluas, terutama senimannya hidup," ujarnya.

Menurutnya, mengganggap warisan budaya berupa seni adalah sesuatu yang adiluhung adalah cara pandang yang salah. Karena dengan menempatkannya sebagai sesuatu yang adi luhung, maka seolah budaya itu sakral. Akibatnya justru menghilangkan kesempatan untuk berkreasi atas tradisi budaya atau sesuatu yang tinggi dan tak pada tempatnya dipopulerkan.

Rizal mengapresiasi Pemerintah DKI Jakarta yang menurutnya telah melestarikan ondel ondel dengan baik. Tapi ia memiliki beberapa pertimbangan.  Pertama, ujarnya,  Pemerintah DKI Jakarta perlu menertibkan kekacauan pikiran dan pengertian tentang ondel ondel pada seluruh jaringan bisnis mengamen ondel ondel, terutama tentang arti maknanya sebagai bagian dari tradisi budaya. 

Sebab itu, menurut Rizal, ada standar-standar yang harus dijaga agar tidak terjerumus pada sesuatu yang "asal-asalan" bahkan menjatuhkan nilai dari ondel ondel sebagai produk budaya. Pemkot DKI Jakarta bisa membuat semacam kartu layak tampil bagi pebisnis ngamen ondelondel. 

"Tetapi, ini juga menuntut Pemkot DKI Jakarta untuk melakukan sejumlah pelatihan budaya ngamen ondel-ondel untuk menjaganya tak melenceng dari tradisi. Juga penempatan di ruang-ruang publik kota atau kampung serta perkantoran juga perumahan." [mus]

Baca Juga

Filosofi Ondel Ondel 

Dari Tolak Bala hingga Cari Nafkah

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya