SOROT 350

Hari Tua Tak Lagi Suram?

Buruh Tuntut UU BPJS
Sumber :
  • VIVAnews/Fernando Randy

VIVA.co.id - Tatang Raharja (40 tahun), tidak pernah membayangkan akan memperoleh pensiun jika nanti ia sudah tidak lagi berusia produktif. Sebagai buruh swasta sebuah pabrik di kawasan industri Pulo Gadung, Tatang hanya membangun harapan hari tuanya dengan memiliki tabungan di salah satu bank.

Simulasi Manfaat Pensiun

Ia sudah 15 tahun bekerja dan baru 10 tahun belakangan ini mulai rutin menabung. Uang untuk menabung pun dia ambil dari gaji yang diterimanya setiap bulan sebesar Rp3,5 juta.

"Sebisa mungkin, saya ambil untuk ditabung. Paling banyak Rp200 ribu, tidak cukup kalau di atas itu. Saya kan, bukan PNS (Pegawai Negeri Sipil) yang dapat pensiun," kata Tatang yang beristrikan Sari, saat ditemui VIVA.co.id, Kamis 25 Juni 2015.

Dengan satu anak berusia 15 tahun, Tatang juga harus memikirkan pendidikan anak semata wayangnya tersebut. "Ya, saya menabung buat hari tua, sesuai kemampuan saja. Rencananya, uang tabungan itu buat beli sapi untuk diternakkan di kampung kalau saya sudah tidak lagi bekerja," katanya.

Bagaimana Dunia Siapkan Pensiun

Hal yang sama juga dialami Ani (42), buruh pabrik garmen di Jakarta. Ani mengaku telah bekerja selama sembilan tahun dan berpenghasilan Rp2,1 juta.

"Sudah sembilan tahun kerja, enggak kebayang ada pensiun. Saya kan bukan PNS. Suami akhirnya berhenti dan garap kebun sawit dan kopi di Lahat, Sumatera Selatan," kata dia kepada VIVA.co.id, Kamis.

Imran Nahumarury Kenang Momen Kebersamaan Dengan Almarhum Syamsuddin Batola

Ia sengaja bertahan di Jakarta, karena masih menunggu anaknya yang baru naik kelas VI SD di Jakarta. "Kalau anak sudah lulus, saya ke kampung halaman suami, ikut berkebun. Saya kan cuma buruh pabrik, mana ada pensiun," ujarnya.

Bayangan suram masa depan memang menggantung di hati jutaan pekerja dan buruh swasta di Indonesia. Jika PNS di masa tidak produktif masih bisa menerima pensiun setiap bulan, pekerja/buruh swasta harus rela mencari cara untuk bisa tetap bertahan di hari senjanya.

Namun, kini tidak hanya PNS yang bisa menikmati jaminan hari tua, alias pensiun. Sebab, dalam upaya menjamin hari tua buruh dan karyawan swasta, pemerintah melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan akan memberikan program jaminan pensiun untuk para pegawai swasta.


Tatang dan Ani, hanyalah satu dari jutaan pekerja swasta/buruh di Indonesia, yang memang tidak memiliki jaminan pensiun layaknya PNS. 

Bagi mereka yang berpenghasilan mencukupi, mungkin bisa disiasati dengan ikut serta dalam program asuransi swasta yang memiliki program jaminan pensiun.

Tetapi, bagaimana halnya dengan Tatang, Ani, dan jutaan buruh yang penghasilnya hanya untuk mencukupi kehidupan sehari-hari? Untuk menabung pun harus berpikir 1.000 kali.

Pemerintah melalui Kementerian Tenaga Kerja dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial pun membuat usulan. Usulan yang juga  didasari adanya desakan kaum buruh, agar diberikan jaminan pensiun bagi pekerja swasta.

Sejak tahun lalu, guliran usulan sudah diajukan baik oleh Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kementerian Keuangan, BPJS, organisasi buruh, dan kalangan pengusaha.

Akhirnya, ada tiga opsi terkait besaran iuran jaminan pensiun BPJS Ketenagakerjaan ini. Opsi pertama adalah sebesar delapan persen, yang merupakan usulan Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Kementerian Ketenagakerjaan, Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), dan BPJS Ketenagakerjaan.

Opsi kedua, sebesar tiga persen yang dibayarkan perusahaan dan pekerja secara bertahap sesuai usulan Kementerian Keuangan. Sedangkan opsi terakhir, merupakan usulan pemberi kerja yang diwakili oleh Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) sebesar 1,5 persen.

Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja, Kemenaker, R. Irianto Simbolon, mengatakan berdasarkan perintah Undang-undang No.40 Tahun 200 tentang Sistem Program Jaminan Sosial Nasional mengamanatkan dari penyelenggara dari jaminan sosial itu ada empat program. Ada juga jaminan kesehatan. Jadi, ada lima program.

Untuk jaminan kesehatan dibentuk badan penyelenggara kesehatan. Ini atas dasar Undang-undang no 24 tahun 2011, yaitu badan penyelenggara jaminan sosial mengatur penyelenggara terdiri dari dua, satu jaminan kesehatan, dan satu lagi jaminan sosial ketenagakerjaan dengan empat program, yaitu program jaminan kecelaakaan kerja, jaminan kematian, jaminan hari tua, dan aturan baru, yaitu jaminan pensiun.

Jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, dan hari tua sudah berlangsung melalui Undang-Undang No 3 yang diselanggarakan oleh badan penyelenggaranyam yaitu PT Jamsostek. Jadi, Jamsostek itu mengubah diri dan bertransformasi kepada BPJS yang akan beroperasi penuh 1 Juli 2015.

Menteri Ketenagakerjaan, Hanif Dhakiri, Senin 18 Mei 2015 lalu, pernah mengungkapkan iuran yang ditetapkan pemerintah, yaitu sebesar delapan persen dari gaji pekerja masih belum disepakati oleh berbagai pihak, khususnya dunia usaha.

"Saya berharap, bulan ini (iurannya disepakati). Tapi kan, keputusan di politik," ujarnya di kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.

Rinciannya, lima dari delapan persen iuran yang ditetapkan pemerintah itu dibebankan kepada pengusaha, sisanya (tiga persen) ditanggung pekerja.

Sementara itu, karena kondisi ekonomi Indonesa yang sedang mengalami perlambatan, dan belum adanya aturan main yang jelas dalam implementasi program ini, pengusaha mengajukan usulan iuran yang dipatok hanya sebesar 1,5 persen. Dengan rincian, satu persen pengusaha, sisanya (0,5) persen ditanggung buruh.

"Saya sederhana saja, jaminan pensiun kan mandat UU (undang-undang), maka program harus jalan. Kedua, berjalannya program jaminan dana pensiun, tetapi jangan ngasal. Maksudnya, tidak boleh keluar dari hakikat dan substansi UU itu," tambah dia.

Berdasarkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Jaminan Pensiun, masa iuran untuk mendapatkan manfaat atas program ini minimal 15 tahun. Dana pensiun akan diberikan, saat usia pekerja 56 tahun. Selain itu, aturan ini hanya berlaku bagi peserta jaminan pensiun yang bekerja di perusahaan swasta, bukan di lembaga negara.

Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan, Elvyn G. Masassya, mengatakan besaran iuran delapan persen dihitung dari gaji yang diterima pegawai. Targetnya pada 2018, jumlah pekerja formal yang ikut dalam BPJS Ketenagakerjaan mencapai 80 persen. Sementara itu, untuk pekerja informal setidaknya ditargetkan sebanyak lima persen.



Masih ada penolakan
Pembahasan iuran jaminan BPJS Ketenagakerjaan pun sampai saat masih terjadi tarik-menarik. Kendati saat ini, formula besaran iuran BPJS Ketenagakerjaan yang disinyalir sebesar delapan persen sudah berada di tangan Presiden Joko Widodo untuk segera menjadi Peraturan Pemerintah dan harus terbit pada 1 Juni 2015 mendatang.

"Kita tunggu Peraturan Pemerintah saja," kata Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, saat ditemui di kantornya, Rabu 24 Juni 2015.

Seperti diketahui, terjadi perbedaan pendapat antara berbagai pihak terkait besaran iuran jaminan pensiun. BPJS Ketenagakerjaan dan Kemenaker memutuskan delapan persen, Kemenkeu tiga persen, dan Apindo 1,5 persen.

Kendala dari penetapan kebijakan tersebut, dinilai terlalu berat bagi pengusaha maupun pekerja jika harus wajib membayar besaran iuran tersebut.
Rinciannya adalah, bila iuran delapan persen, lima persen ditanggung perusahaan dan tiga persen oleh pekerja. Bila iuran tiga persen, dua persen ditanggung perusahaan dan satu persen pekerja.

Sebelumnya, Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri, mengatakan dalam RPP Jaminan Pensiun, masa iuran untuk mendapatkan manfaat atas program ini minimal 15 tahun.

Dana pensiun akan diberikan saat usia pekerja 56 tahun. Aturan ini hanya berlaku bagi peserta jaminan pensiun yang bekerja di perusahaan swasta, bukan di lembaga negara.

Bentuknya manfaat jaminan pensiun adalah dibayar secara bulanan atau berkala, jika sudah minimal membayar iuran 15 tahun dan mencapai usia pensiun; atau dibayar secara tunai jika kurang dari 15 tahun dan mencapai usia pensiun.

Ketua Dewan Pimpinan Harian Apindo, Shinta Widjaja Kamdani kepada VIVA.co.id, Rabu 24 Juni 2015, mengatakan saat ini pihaknya masih menunggu keputusan dari pemerintah.

"Sekarang kita masih menunggu keputusannya, rencananya kan delapan persen. Tapi nanti kita liat keputusannya, semoga masih ada langkah-langkah kompromi yang masih bisa dilakukan," kata dia.

Menurut Shinta, alasan Apindo menolak besaran iuran jaminan pensiun BPJS Ketenagakerjaan sebesar delapan persen, karena dalam melihat kebijakan tersebut harus ada timbal balik.

"Kami akan terus menolak itu. Setelah kita melakukan penghitungan, kami inginnya 1,5 persen. Menurut kami, delapan persen itu terlalu tinggi. Idealnya, ya 1,5 persen itu sudah paling pas," ujarnya.

Menurut dia, kalau delapan persen, banyak perusahaan yang tidak akan kuat. Dan, dikhawatirkan akan banyak yang tutup dan berhenti dari rutinitas kerjanya. Apindo, kata Shinta, akan berusaha menekan pemerintah.

Wakil Ketua Umum Bidang Tenaga Kerja Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Benny Sutrisno, juga mengaku ada penolakan pengusaha terhadap besaran iuran jaminan pensiun BPJS Ketenagakerjaan sebesar delapan persen.

Sebab, kata dia, karena perusahaan sudah memberikan jaminan hari tua (JHT).
"Kan, sudah ada jaminan hari tua 5,3 persen. Kalau ditambahin lagi jadi 13 persen, ya berat dong," ujar dia.

Benny membuat rincian, selama ini JHT sebesar 5,3 persen, ditambah saat pensiun akan diberi pesangon. Apabila iuran delapan persen jadi ditetapkan pemerintah, menurutnya, akan dobel.

Demo RUU BPJS SJSN

Ratusan buruh yang tergabung dalam Serikat Pekerja Nasional (SPN) melakukan aksi unjuk rasa menolak RUU BPJS di depan gedung DPR, Jakarta. Foto: VIVAnews/Ikhwan Yanuar

Mengenai rencana penetapan 1 Juli 2015, Benny pada dasarnya tidak mempermasalahkan. Cuma yang diharapkan, adalah mengenai besaran  iuran tersebut. "1 Juli memang harus jalan, tetapi jangan delapan persenlah, bisa saja bertahap."

Sementara itu, Ketua Perkumpulan Asosiasi Dana Pensiun Indonesia (ADPI) Mudjiharno M Sudjono, menyatakan sepakat jika pemerintah menetapkan iuran BPJS Ketenagakerjaan sebesar tiga persen.

"Semoga saja, apa yang didesas-desuskan tiga persen benar terjadi. Kalau tiga persen, dengan porsi dua persen pemberi kerja dan satu persen pekerjanya, kemungkinan (industri dana pensiun) masih mampu," ujarnya di kawasan SCBD, Senin 22 Juni 2015 lalu.

Pihaknya menyebutkan, Perkumpulan ADPI merasa perlu bersikap terhadap penentuan iuran BPJS Ketenagakerjaan. Sebab, jika pemerintah menetapkan besaran iuran delapan persen akan sangat memberatkan industri.

Karena, selama ini perusahaan sudah membayar tanggungan iuran antara 15,24 persen hingga 17,7 persen. Hal itu terdiri dari berbagai iuran seperti, Jaminan Hari Tua, Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kesehatan, dan lain sebagainya.

"Pada saat delapan persen, kita khawatir jadi beban. Itu akan sangat berat sekali, karena untuk beban kesejahteraan karyawan, perusahaan sudah mengeluarkan 12,24 persen sampai 17,74 persen," tuturnya.

Dengan begitu, kata dia, pihaknya berpendapat iuran sebesar tiga persen dinilai cukup dan sepadan dengan beban yang sudah diemban perusahaan.

Deputi Komisioner Pengawas INKB II Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Dumoli Freddy Pardede, mengatakan, usulan Apindo sebesar 1,5 persen dari gaji pegawai, lebih masuk akal. "Apindo punya dasar yang baik. Kami mendukung, karena masuk akal," kata Dumoli di Jakarta, Selasa 9 Juni 2015 lalu.

Ia mengungkapkan, alasan Apindo mengusulkan satu persen dari perusahaan, dan 0,5 persen dari karyawan merupakan kontribusi yang diasumsikan oleh perhitungan aktuaris independen. Aktuaris independen tersebut, diminta untuk menghitung program untuk mendanai dan mengumpulkan dana dalam rangka pembayaran masa pensiun.

"Uang jaminan pensiun di BPJS itu ada rumusannya, rumus itu pasti. Kami lihat cost place-nya masuk 10 keluar dua, asumsinya tidak perlu iuran besar. Dana 1,5 persen itu sudah cukup memenuhi pembiayaan benefit yang berjalan," ujar Dumoli.

Selain itu, Dumoli menuturkan, seharusnya para karyawan lebih melihat secara keseluruhan, karena tentu nantinya akan ada kenaikan iuran secara bertahap.
Dia mencontohkan, apabila pembiayaan perusahaan membengkak, maka daya saingnya akan melemah dan akhirnya merugikan para pegawainya.  Apalagi, sampai ada pemutusan hubungan kerja.

"Perusahaan membiayai semua struktur cost perusahaan. Mulai gaji, pesangon, asuransi, pensiun, dan kesehatan, salah satunya untuk BPJS. Kita harus lihat secara keseluruhan proses bagaimana costing itu diatur," ungkapnya.

Lebih lanjut, Dumoli mengatakan, yang paling penting adalah bagaiamana iuran tersebut dibangun secara bertahap dengan investasi untuk mengejarkeuntungan.



Pertahanan kaum buruh
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia  (KSPI) Said Iqbal, menegaskan, jika sampai 1 Juli Presiden tidak juga menandatangani RPP Jaminan Pensiun, hal itu menandakan Presiden dan pemerintah berpotensi melanggar undang-undang.

"Karena itu, kami mendesak per 1 Juli 2015 RPP Jaminan Pensiun sudah harus ditandatangani. Isi yang kita harapkan dari RUU Jaminan Pensiun tersebut tidak merugikan buruh," kata Iqbal, Kamis 25 Juni 2015.

Ia menjabarkan, ada tiga hal yang berkaitan dengan RPP Jaminan Pensiun, pertama usulan buruh yaitu 10-12 persen, di mana pengusaha membayar 7-9 persen dan buruh tiga persen dengan manfaatnya 60 persen dari gaji terakhir.

"Kalau akhirnya tidak disetujui, kami tetap meminta delapan persen seperti yang diusulkan Kemenaker. Pemerintah kan, ada dua usulan delapan persen dari Kemenaker dan tiga persen Kemenkeu. Kami tetap minta delapan persen, dengan manfaatnya 60 persen dari gaji terakhir, semua sudah kami hitung," katanya.

Hitungannya, kalau iurannya delapan persen, dengan melakukan iuran 15 tahun ke depan, atau  2030 akan terkumpul Rp2.500-3.000 triliun dana pensiun. Itu dana fantastis, dengan terkumpul dana sebanyak itu, untuk BPJS Ketenagakerjaan hanya akan membayarkan pensiun pada 2030, tidak lebih dari Rp2 triliun minimalnya.

"Dengan demikian, menunjukkan iuran delapan persen itu dengan manfaat pensiun 60 pensiun, jaminan pensiun bisa berkelanjutan. Kan, yang ditakutkan oleh Pemerintah itu bahwa jaminan pensiun itu tidak berkelanjutan, tetapi itungan kami bisa. Dengan iuran delapan persen manfaat pensiun 60 persen itu bisa," kata dia.

Menurut Iqbal, yang ditolak oleh buruh adalah manfaat dari yang diberikan. "Masa iuran delapan persen, tetapi manfaat pensiun yang diberikan itu 30-40 persen. Jadi, kalau manfaatnya di bawah 60 persen gaji terakhir jelas kami tolak.

Sedangkan alasan tuntutan 12 persen, Iqbal melihat sejumlah perusahaan swasta di Indonesia sudah menjalankan jaminan pensiun, seperti Astra Grup, Panasonic, Freeport, perusahaan pertambangan, dan perbankan swasta. Bahkan, iurannya punya antara 10-12 persen.

"Artinya, sudah ada benchmarking bahwa usulan 12 persen sudah terakomodasi dengan baik. Alasan kedua, saat ini, iuran pensiun TNI/POLRI dan PNS lebih kecil, tetapi manfaat pensiunnya 70-75 persen. Itu tidak masuk akal, jika dibandingkan dengan iuran swasta yang lebih besar, tetapi manfaat pensiunnya justru lebih kecil. Itu tidak masuk akal, diskriminasi. Makanya kita dorong iurannya delapan persen, setidak-tidaknya manfaat pensiunnya bisa 60 persen mendekati manfaat pensiunnya TNI/POLRI dan PNS," kata dia.

Alasan yang ketiga, di seluruh negara ASEAN yang ekonominya mirip dengan Indonesia, seperti Malaysia, Filipina, dan Thailand. Bahkan, Singapura 33 persen. Malaysia 23 persen itu, awalnya bertahap mulai dari 10–12 persen. Sekarang, kalau di Malaysia 23 persen dengan rincian 12 persen dibayar pengusaha, 11 persen dibayar oleh buruh.

Koordinator Aliansi Buruh Yogyakarta (ABY), Kirnadi, mengaku kecewa karena belum juga adanya kepastian mengenai RPP Jaminan Pensiun. "Kami di temen-temen buruh sudah sangat kecewa dengan keterlambatan pemerintah mengeksekusi sistem jaminan sosial nasional. Bahkan, sampai H-4 saat ini belum ada gambaran. Bahkan, pengusaha saja belum tahu mengenai besarnya iuran yang ditetapkan pemerintah," kata dia saat dihubungi VIVA.co.id, Jumat 26 Juni 2015.

Menurut dia, harusnya sesuai dengan UU BPJS Ketenagakerjaan, jaminan pensiun bagi buruh swasta sudah harus ditetapkan. "Ini sudah bertahun-tahun, tetapi belum juga ada kepastian. Kami ingin pensiun yang layak sebagai manusia. Idealnya, ya 75 persen dari gaji terakhir yang kami terima. Dan, kalau hanya tiga persen itu terlalu kecil, seharusnya di atas 10 persen."



Bola panas di tangan Presiden
Penolakan baik dari kaum buruh dan pengusaha memang masih terus bergulir, terkait besaran iuran jaminan pensiun BPJS Ketenagakerjaan, namun saat ini bola panas ada di tangan Presiden Joko Widodo.

"Kita masih menunggu Peraturan Pemerintah saja, kan saat sudah di Presiden," kata Menteri Keuangan Bambang  Brodjonegoro, saat ditemui di kantornya, Rabu 24 Juni 2015.

Sejumlah opsi ditawarkan terkait besaran iuran jaminan pensiun BPJS Ketenagakerjaan ini. Opsi pertama adalah sebesar delapan persen merupakan usulan Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Kementerian Ketenagakerjaan, Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), dan BPJS Ketenagakerjaan.

Opsi kedua, sebesar tiga persen yang dibayarkan perusahaan dan pekerja secara bertahap sesuai usulan Kementerian Keuangan. Dan, opsi terakhir, merupakan usulan pemberi kerja yang diwakili oleh Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) sebesar 1,5 persen.

"Kami ditemen-temen buruh sudah sangat kecewa dengan keterlambatan pemerintah mengeksksui sistem jaminan sosial nasional. Bahkan ,sampai H-4 saat ini belum ada gambaran. Bahkan, pengusaha saja belum tahu mengenai besarnya iuran yang ditetapkan pemerintah," kata Kirnadi dari ABY.

Pengamat dan Praktisi Jaminan Sosial, Abdul Latif Algaf, yang juga merupakan Kepala Divisi SDM BPJS Ketenagakerjaan, mengatakan bahwa iuran jaminan pensiun BPJS Ketenagakerjaan tinggal menunggu Peraturan Pemerintah (PP) yang akan segera diterbitkan.

"Masih menunggu dikeluarkan oleh Presiden, tetapi kami yakin 1 Juli sudah bisa diluncurkan. Mudah-mudahan besarnnya bisa diterima oleh semua pihak," katanya.

Mengenai masih adanya perbedaan pandangan Abdul Latif Algaf, menjelaskan saat ini posisi pemangku kepentingan saat ini memang mengalami perbedaan pendapat. Ada pun yang mengusulkan angka 1,5 persen adalah dari pengusaha, kemudian usulan angka tiga persen disampaikan oleh Kementerian Keuangan.
"Katanya sama OJK juga," tambah Abdul.

Kemudian, lanjutnya, untuk yang mengusulkan angka delapan persen itu antara lain adalah Kementerian Tenaga Kerja, BPJS Ketenagakerjaan, Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) , DJSN (Dewan Jaminan Sosial Nasional), juga termasuk Komisi IX DPR yang juga mendukung angka delapan persen.

Terkait perbedaan pandangan Beberapa stakeholder (pemangku kepentingan) ini, dinilainya sebagai hal yang biasa karena perbedaan adalah hal yang wajar, namun semua keputusan pun tentu ada di meja presiden.

"Nah, itu disampaikan dengan segala pertimbangan kepada Presiden untuk memutuskan," tambah dia.

Namun, dari kabar yang didengarnya, ada yang mengatakan bahwa Presiden sudah memberi sinyal menyetujui angka delapan persen, namun belum dipublikasikan. "Ada juga yang seperti itu tapi sulit dikonfirmasi, karena posisinya ada di Presiden. Katanya Presiden sudah memberi arahan," ucapnya.

Dia juga menilai, jika memposisikan pandangan dari sisi pengusaha memang angka delapan persen (lima persen dibayar pengusaha dan tiga persen dibayar pekerja) adalah angka yang cukup besar. Namun, bagi pekerja, atau buruh bersikap sangat mendukung hal tersebut.

"Tapi menurut buruh, dia sepakat dengan angka delapan persen, karena sudah digodok di Triparti juga, artinya antara pemerintah, pengusaha, dan pekerja pada waktu itu, semua cukup menerima dengan angka delapan persen, gitu loh," tutur Abdul.

Namun, Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja, Irianto Simbolon membantah jika besaran iuran jaminan pensiun sudah ditetapkan.

"Sekali lagi saya katakan, kalau belum diputuskan Presiden ya, kami juga belum tahu berapa nilai besaran iurannya, jadi tunggu saja. Memang, pemerintah usulannya ada yang delapan persen, 15 persen dan tiga persen, semuanya masih menunggu Presiden. Yang pasti adalah manfaatnya bisa diterima oleh pekerja swasta yang pensiun."



Perangkat dipersiapkan
Sementara itu, sejumlah persiapan terus dilakukan oleh pemerintah untuk menyelesaikan pelaksanaan jaminan pensiun BPJS Ketenegakerjaan ini.

Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Kementerian Tenaga Kerja, Irianto Simbolon, mengatakan saat ini, sejumlah persiapan dari mulai administrasi, perubahan pada penyelenggara, persiapan kantor personal, termasuk sistem, diadakan perubahan penyesuaian dan peningkatan telah dilakukan.

"Karena kepesertaannya ini bertambah banyak dan luas. Jadi, harus betul-betul lebih siap badan penyelenggaranya. Kami yakin semua akan berjalan lancar," kata dia.

Apalagi, sebelumnya tiga program tadi JKM, JKK, JHT telah berjalan lancar. Menurut Irianto, yang berubah hanyalah badan penyelenggaranya. Sementara itu, program baru jaminan pensiun, sebetulnya beberapa perusahaan sudah menyelenggarakan disebut program dana pensiun.

"Memang sukarela saja, mengikut pada Undang-undang 11 tahun 92. Kalau Undang-undang 40 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional itu hukumnya wajib dia. Mandatory. Semua pengusaha, atau pemberi kerja dan pekerja sama-sama menanggung jadi peserta dalam program ini. Kita yakin. Harus ada kerja sama juga dari semua pihak. Terlebih pada peserta program ini," tuturnya.

Terkait perangkat hukum, Irianto mengatakan bahwa saat ini masih menunggu satu, yaitu peraturan pemerintah tentang peraturan program jaminan pensiun.

"Itu saja yang kita tunggu keputusan dari Presiden. Peraturan mengenai besarnya iuran. Disebutkan kan, jaminan pensiun ditanggung peserta," tuturnya.

Mengenai masih adanya protes, baik dari buruh dan pengusaha, diakuinya semua pasti ada yang kontra. "Ya, intinya kita jalan dulu pada 1 Juli 2015 nanti. Jika ada perubahan akan dibahas lagi lebih detail. Ini kan untuk kepentingan, sama-sama yang lebih baik," kata dia.

Saat ini, lanjut Irianto, pihaknya sedang menyelesaikan sejumlah persiapan teknis. Perangkat dan kantor layanan bagi BPJS Ketenagakerjaan di seluruh Indonesia akan segera dionlinkan.

"Kami juga masih melakukan sosialisasi ke berbagai pihak mengenai program maupun mekanisme syarat-syarat yang harus dilengkapi dan ditindaklajuti oleh semua pihak," ujarnya.

Lebih lanjut, Irianto menjabarkan mengenai manfaat yang didapatkan buruh dengan mengikuti program tersebut, pertama adalah perlindungan mendasar, adanya jaminan sosial, dan sebagai income (pendapatan) saat berakhirnya hubungan kerja. Selain itu, jika terjadi kecelakaan kerja, pesertanya mendapatkan pertanggungan yang memadai.

Ketua Komisi IX DPR RI, Dede Yusuf menambahkan, program jaminan pensiun BPJS Ketenagakerjaan harus berjalan sesuai rencana.

"Ini kan, amanat UU dan legacy dari pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono. Saya lihat, BPJS dan menaker juga sudah mempersiapkan ini dengan matang. Namun, yang belum kita tahun mengenai PP, apakah sudah ditandatangani oleh Presiden, atau belum. Kan, janjinya 1 Juli diluncurkan."

Mengenai adanya penolakan dari kalangan pengusaha dan buruh, Dede mengatakan pemerintah harus mendengar semua masukan, agar tercapai titik temu antara keduanya.

"Tetapi, saya rasa angka delapan persen adalah titik tengah antara tuntutan pekerja, usulan pemerintah dan usulan pengusaha."

Menurut Dede, kendati dunia usaha sedang mengalami kelesuan hal itu jangan menjadi alasan terlambatnya jaminan pensiun BPJS Ketenagakerjaan untuk disahkan. "BPJS kan dibentuk saat pemerintahan Presiden SBY, dan saya kira sudah saatnya Pak Jokowi menyempurnakan hal itu dengan segera melaksanakan BPJS Jaminan Pensiun ini," ujarnya.

Sedangkan dari BPJS,  Kepala Divisi SDM BPJS Ketenagakerjaan, Abdul Latif Algaf,mengaku terkait kesiapan, pihaknya sudah siap dan tinggal menunggu PP yang akan dikeluarkan.

"Jika Presiden tidak segera menerbitkan dan melewati tanggal yang telah ditetapkan, sama saja dengan melanggar undang-undang. Kita semua sudah siap, baik kapasitas lembaga kita, aspek teknologi informasinya, prosedurnya, teknisnya, titik-titik pelayanan, itu semua sudah siap," kata Algaff.

Pemerintah, lanjutnya, sudah menjamin untuk segera menerbitkan PP tersebut, sebelum 1 juli 2015. Di mana BPJS, pada 1 Juli 2015 akan efektif beroperasi.
Dia memandang, memang angka delapan persen ini akan kurang mengenakkan bagi pengusaha.

"Jadi, itu yang agak perih bagi pengusaha, karena dampak ekonomi global saat ini, satu meriang, meriang semua, pengusaha masih merasa bebannya tinggi," tambahnya.

Menteri Tenaga Kerja, lanjutnya, sudah memberikan sikap, tinggal Presiden yang memutuskan, dan diharapkan segera dipublikasikan karena, perusahaan BPJS Ketenagakerjaan juga membutuhkan waktu untuk sosialisasi karena mulai efektif beroperasi pada tanggal 1 Juli.

"Presiden harus mengambil keputusan, karena ini juga amanat undang-undang. Kami 30 Juni ada rencana peresmian di Cilacap, sementara, 1 Juli sudah harus beroperasi," kata dia.

Ada pun mengenai perbedaan antara BPJS Ketenagakerjaan dengan Jamsostek, baik Irianto, Abdul Latif menyatakan hal yang sama, yaitu terletak pada adanya jaminan pensiun dalam BPJS Ketenagakerjaan.

"Kalau Jamsostek itu dulu untuk kecelakaan kerja, kematian, dan jaminan hari tua. Sedangkan BPJS Ketenegakerjaan itu ditambah dengan jaminan pensiun," tuturnya.

Sedangkan Ketua Komisi IX DPR RI, Dede Yusuf, mengatakan jika BPJS Ketenagakerjaan bukan lagi perusahaan seperti Jamsostek yang orientasinya profit. "Saat ini, BPJS Naker orientasinya pelayanan jaminan sosial, maka spiritnya harus demikian."



Akankan pamor lembaga asuransi meredup?

Ketua Umum Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI), Hendrisman, mengatakan sebaiknya dalam menetapkan premi besaran asuransi harus basic net dan mampu dibeli oleh semua kalangan.

"Kalau delapan persen sih, kami keberatan, tetapi saat ini kita semua kan masih menunggu berapa yang akan ditandatangani oleh Presiden. Harapannya adalah jangan sampai malah membuat perusahaan asuransi yang memiliki program dana pensiun, malah ditinggalkan oleh nasabahnya," kata Hendrisman saat dihubungi VIVA.co.id, Jumat 26 Juni 2015.

Saat ini, memang belum banyak perusahaan asuransi yang memiliki program pensiun, namun bukan berarti hal itu akan mengurangi jumlah nasabah. "Harapan kami, tentunya malah bisa bersinergi dengan BPJS Ketenagakerjaan terkait program jaminan pensiun ini."

Sebelumnya, Kepala Bidang Investasi Asosiasi DPLK, Daneth Fitrianto, menilai iuran program pensiun jaminan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan sebesar delapan persen sangat mubazir.

Menurut dia, iuran dana pensiun yang ideal untuk saat ini, yaitu 1,5 persen. Komposisinya, satu persen ditanggung oleh perusahaan dan 0,5 persennya ditanggung oleh karyawan.

"Jadi, kalau delapan persen itu, tinggi dan berlebih. Padahal, kan mau besar, atau kecil sama saja. Kan, ini manfaat pasti, bukan iuran pasti. Toh, yang akan dibayar pada 2030, kalau belum sampai 2030 hanya dibayar iurannya saja," ujarnya.

Menurut Daneth, dalam menetapkan iuran dana pension, jangan melihat negara-negara yang telah melaksanakannya sejak lama, sehingga tidak tepat ketika harus mengikutinya. Amerika Serikat ketika memulai program dana pensiun, iuran awalnya sebesar dua persen dan Kanada sebesar tiga persen.

"Janganlah membandingkan dengan negara yang sudah maju, dibandingkan dengan Malaysia juga tidak pas, karena negara sana iuran pasti bukan manfaat pasti," ujarnya.

Dengan begitu, Daneth menyarankan iuran dana pensiun sebesar 1,5 persen dan jika delapan persen, ada pengumpulan dana yang begitu besar di satu lembaga, yang dapat menimbulkan penyimpangan. "Lebih baik dananya itu, buat pengusaha untuk mengembangkan bisnis dan ini bisa mendorong perekonomian kita," ujarnya menambahkan.

Dia menyarankan, besaran iuran dimulai dengan angka 1,5 persen,  kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan kondisi perekonomian dan peningkatan pendapatan peserta. "Seiring peningkatan ekonomi secara PDB (produk domestik bruto), maka peningkatan pun tidak berasa oleh peserta," ujarnya.

Di samping itu, disusul dengan  kenaikan usia pensiun yang dilakukan secara bertahap pula. Jika ketiga hal tersebut ditetapkan, pihaknya percaya cakupan peserta dapat lebih banyak dari sekarang. Dengan demikian, sustainable program ini dapat berjalan.

Dengan iuran yang besarannya dimulai lebih kecil, dia menilai akan meringankan beban peserta, baik karyawan maupun perusahaan. Dengan demikian, sustainable program ini dapat berjalan.

Pengamat dan Praktisi Jaminan Sosial Abdul Latif Algaf, mengatakan keberadaan BPJS Ketengakerjaan bisa saja membuat bisnis asuransi dan sejenis akan meredup, namun tidak begitu signifikan.

"Jaminan pensiun ini bisa saja secara perlahan akan meredupkan bisnis mereka, tetapi asuransi itu sifatnya kan sukarela, jadi tidak begitu terancam," ujarnya.

Pemerintah, lanjutnya, juga harus objektif, karena jaminan pensiun ini merupakan kebutuhan buruh dan pekerja non PNS. "Agar kecukupan dana jangka panjang terjamin," kata dia. (asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya