VIVA.co.id - Meski tidak jauh-jauh amat dari tanah air, tentu sulit menyamakan suasana puasa di Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim dengan negara di belahan Asia lainnya.
Di Indonesia, kebersamaan menjadi kata kunci. Ya, Ramadhan biasanya selalu dikaitkan dengan suasana guyub. Buka bersama, sahur bersama, mempererat simpul kekeluargaan maupun pertemanan dalam jalinan silaturahmi. Apa jadinya kalau kemudian kita menjalani puasa di negeri orang, apalagi di negara yang muslimnya minoritas?
"Menjalani puasanya, sih, biasa saja. Sedihnya karena tidak bisa buka bersama dan tarawih bersama keluarga, teman-teman," kata Yuniar Sari Ayudhia, yang telah sembilan tahun bermukim di luar negeri.
Ibu satu putra bernama Antonino Rafael Greco itu, kini tinggal di Macau, bersama suaminya yang keturunan Italia, Francesco Greco. Francesco yang sudah menjadi mualaf berprofesi sebagai chef pada salah satu hotel di negeri kasino itu.
Sari yang telah berpindah di banyak negara Asia, seperti Singapura, China, Thailand dan Hong Kong menyebut, tidak ada yang berbeda dalam hal puasa, selain kondisi di negara yang pernah disinggahinya. "Ada enak, juga tidaknya," kata Sari.
Satu contoh adalah hari, dimana ia tepat berusia 31 tahun, saat ia berbincang dengan VIVA.co.id. Ia membayangkan berapa menyenangkan buka puasa bersama keluarga, sekaligus merayakan hari kelahiran.
Tapi itu tidak dapat terlaksana. Jangankan merayakan ultah, buka bersama suami pun tidak bisa, karena Francesco tak akan ada di rumah sebelum usai jadwal kerja pada pukul 10 malam.
Di Macau waktu puasa hampir serupa dengan Indonesia. Tidak ada larangan, tapi tidak ada penyesuaian jam kerja seperti halnya pekerja di tanah air.
Pemerintahan China yang 'mengendalikan' Macau, Shanghai dan Hong Kong, tidak memberikan keistimewaan pada muslim yang berpuasa saat bekerja. "Dipersilakan (puasa), tergantung kita menjalaninya saat kerja," katanya.
Yuniar Sari Ayudhia mengatakan, pemerintah China tidak memberikan keistimewaan pada muslim yang berpuasa saat bekerja.
Sari yang bekerja sebagai resepsionis di sebuah hotel menuturkan, jam kerjanya setiap hari delapan jam dengan 30 menit waktu istirahat. Tidak ada pengurangan jam kerja atau penambahan waktu istirahat. "Kalau di Indonesia bulan puasa, waktu kerja kan lebih fleksibel. Di sini puasa boleh asal jangan mengganggu kerja," ucap Sari.
Meski jam kerjanya cukup ketat, Sari beruntung memiliki manajer yang baik sehingga tidak pernah mengalami kendala dalam menjalankan ibadah, termasuk salat lima waktu. "Kebetulan manajer saya baik, jadi boleh meminta izin salat di sela jam kerja," ujarnya.
Satu yang paling 'menggoda iman' berpuasa di Macau adalah, tempat makan. Di Macau tidak ada restoran yang tutup saat puasa. "Jangan harap (tutup), buka semua. Kasino juga di mana-mana," kata Sari membandingkan suasana di tanah air dengan negara tempatnya kini bermukim. Di Indonesia, meski tidak ada larangan menutup restoran, pengelola tempat-tempat makan biasanya cukup tahu diri dengan menutupi bagian resto yang terlihat dari luar. Tempat hiburan pun juga diatur jam bukanya, dengan persyaratan tertentu.
Beruntungnya Sari, di antara ratusan resto yang bertebaran di Macau ia masih bisa mendapatkan makanan halal di restoran khas India. Namun itu pun jumlahnya bisa dihitung jari. "Jadi saya pilih masak sendiri untuk berbuka," kata dia. Sebelum berangkat kerja, Sari menyempatkan diri masak makanan untuk berbuka. Dan, di situlah nikmatnya berpuasa di negeri minoritas.
Beda Macau beda Bangladesh. Di negara yang mayoritas penduduknya muslim, puasa bisa dijalankan seperti halnya di tanah air. Satu yang berbeda. Jika di Indonesia, pemerintah memajukan jam kerja agar pekerja bisa pulang lebih cepat, di Bangladesh justru sebaliknya. Akivitas di negeri ini molor. Kantor dan pertokoan baru memulai aktivitas sekira pukul 10 pagi. "Dan, sama seperti di Indonesia, pada pukul 16.30 jalan-jalan macet karena pekerja pulang. Dan, menjelang maghrib jalanan jadi sepi," cerita Fitri Tjandra Prijanti.
Diplomat Indonesia di KBRI Dhaka itu menjelaskan, sudah kebiasaan penduduk Bangladesh setiap memasuki Ramadhan, masuk kerja menjadi lebih siang dan pulang lebih cepat.
Abdullah Zulkifli, Diplomat RI di Maladewa.
Suasana berbeda saat Ramadhan akan ditemukan di Maladewa. Negeri yang menjadi destinasi orang kaya dunia itu mirip Arab Saudi saat puasa. Diplomat RI di sana, Abdullah Zulkifli menuturkan, penduduk Maladewa 100 persen beragama Islam.
"Masyarakatnya begadang sampai pagi. Menikmati malam Ramadhan karena siang panas," kata Zulkifli, yang bertugas pada bagian protokoler dan konsuler KBRI Colombo, Sri Lanka, merangkap Maladewa.
Menariknya terkait Ramadhan dan Maladewa, adalah bahwa negara berpenduduk 300 ribu orang yang bermukim di wilayah seluas dua kilometer persegi itu ternyata mengikuti jadwal puasa Indonesia.
"Maladewa secara resmi memulai puasanya mengikuti pemerintah Indonesia. Sudah biasa kita mendapat nota diplomatik dari Kementerian Luar Negeri Maladewa, bertanya kapan Indonesia memulai puasa," kata Zulkifli.
Diceritakannya, setelah sahur dan salat subuh, rakyat Maladewa akan kembali tidur. "Malam jadi siang kalau Ramadhan di Male (ibu kota Maladewa). Masuk kantor lebih siang, jam kerja juga berkurang," ujarnya.
Masyarakat Maladewa disebutnya sangat menyukai olahraga, terutama sepakbola dan voli. Kegiatan itu tidak ditinggalkan saat Ramadhan, tapi bergeser waktunya jadi malam hari.
"Malam hari mereka kumpul di kafe atau olahraga," ucap Zulkifli. Sementara pada siang hari, tidak ada restoran yang boleh buka. Peraturan di Maladewa diterapkan ketat, sekalipun mereka jadi destinasi wisata.
Walau begitu ada undang-undang wisata, yang mengatur wilayah khusus resor di pulau-pulau yang terisolasi. Restoran tetap diperbolehkan buka, namun tetap ada peraturan ketat soal minuman beralkohol.
"Turis tidak boleh bawa minuman beralkohol. Resor-resor di pulau menyediakan, tapi tidak boleh dibawa, hanya dapat diminum di dalam hotel," ujarnya. Peraturan itu berlaku baik saat Ramadhan atau tidak.
Kesenjangan Sosial
Berpuasa di negara non-muslim tentu ada kendala-kendala, seperti yang dialami Sari. Tapi di negara mayoritas muslim pun bukan berarti tanpa persoalan. Di Bangladesh, misalnya.
"Selama puasa kami tidak kemana-mana, karena staf setempat mengatakan tidak aman. Jadi kita selalu buka di rumah. Masyarakat Indonesia di Dhaka juga rata-rata begitu," kata Fitri.
Suasana Tarawih warga negara Indonesia di KBRI Dhaka.
Faktor keamanan menjadi salah satu alasan, mengapa jarang masyarakat Indonesia bertemu untuk buka puasa bersama. "Sebelum puasa, ada orang Indonesia yang apartemennya dibongkar maling. Lalu ada staf lokal yang dirampok saat pulang kantor. Dia naik rikshaw atau becak," ujar Fitri.
Menurutnya situasi Bangladesh cukup kacau, dengan kesenjangan yang mencolok antara si kaya dan miskin. Ada kalangan yang sangat kaya, sehingga anak-anak mereka disekolahkan ke luar negeri. Sementara di sisi lain adalah masyarakat yang sangat miskin. "Di jalan banyak gembel, tidur di jalan-jalan."
Selama Ramadhan masyarakat Bangladesh hanya berbuka puasa dengan keluarga besarnya. Tidak ada perhatian khusus untuk masyarakat miskin, yang biasanya akan berkumpul di depan masjid-masjid jelang waktu buka puasa.
Bagaimana dengan Sri Lanka? Muslim di Sri Lanka, muslim bukan mayoritas. Namun jumlahnya menurut Zulkifli cukup signifikan, terutama di ibukota Kolombo, sehingga mereka memiliki majelis ulama untuk menentukan waktu berpuasa.
"Di Kolombo, gubernur dan walikotanya beragama Islam. Mereka (komunitas Muslim Sri Lanka) sering menggelar acara buka puasa bersama, biasanya di hotel-hotel mewah. Bahkan yang terbesar digelar presiden Sri Lanka," ucapnya.
Suara adzan juga dapat terdengar dari masjid-masjid di pemukiman Muslim. Hanya pada 2013 pemerintah Sri Lanka mengeluarkan kebijakan kontroversial, dengan larangan pencantuman kode halal.
"Umumnya bulan puasa aman. Sentimen ada, tapi umumnya terjadi di luar Kolombo, bahkan kadang-kadang cukup radikal juga. Konflik biasanya melibatkan garis keras, seperti ormas di Indonesia," kata Zulkifli.
Kelompok garis keras di Sri Lanka populer dengan nama Buddhi Balasena, yang artinya pasukan pembela Buddha. Tapi berbeda dengan di Myanmar, kelompok itu hanya melakukan gangguan, tidak sampai membunuh.
"Gaya-gaya ormas," ujar Zulkifli, merujuk pada salah satu ormas agama di Indonesia, yang kerap melakukan aksi meresahkan. Di Sri Lanka, kelompok itu memusuhi Kristen dan Islam yang menjadi minoritas.
Banyak orang Sri Lanka yang malu dengan ulah Buddhi Balasena. Sebagian orang menduga kelompok itu didukung figur yang kuat, mengarah pada keluarga mantan presiden Sri Lanka.
"Saat pilpres Sri Lanka kemarin, kekuatan moderat dan muslim bersatu mendukung calon alternatif. Akibatnya presiden Mahinda Rajapaksa bisa dikalahkan," kata Zulkifli.
Secara umum di negeri ini, muslim memiliki posisi yang setara. "Di Sri Lanka Muslim dikategorikan sebagai etnis," kata Zulkifli. Tradisi dan budaya, termasuk parade saat Ramadhan pun dapat dilakukan dengan leluasa.
"Kecuali saat Idul Adha, yaitu penyembelihan. Sering muncul ketegangan, karena Buddha tidak boleh membunuh hewan. Jadi penyembelihan dilakukan di kampung-kampung muslim dan tertutup," ucapnya.
Untuk pengeras suara masjid tidak di larang, tapi kemudian orang-orang Buddha juga menggunakannya di kuil-kuil. "Terutama saat acara keagamaan. Saat membaca kitab, sejelas seperti orang mengaji," kata Zulkifli. (umi)
Halaman Selanjutnya
"Maladewa secara resmi memulai puasanya mengikuti pemerintah Indonesia. Sudah biasa kita mendapat nota diplomatik dari Kementerian Luar Negeri Maladewa, bertanya kapan Indonesia memulai puasa," kata Zulkifli.