Logo BBC

Kisah 'Penebusan Dosa' Anak Algojo PKI di Blitar

Farid Masrurin (berjilab, tengah) dan penyintas tragedi 1965, Sukiman (kiri), serta Masrukin (kanan, suami Farid) di samping Gua Tikus, lokasi pembuangan orang-orang yang dituduh PKI di Dusun Bokolan, Desa Lorejo, Kabupaten Blitar. - BBC News Indonesia
Farid Masrurin (berjilab, tengah) dan penyintas tragedi 1965, Sukiman (kiri), serta Masrukin (kanan, suami Farid) di samping Gua Tikus, lokasi pembuangan orang-orang yang dituduh PKI di Dusun Bokolan, Desa Lorejo, Kabupaten Blitar. - BBC News Indonesia
Sumber :
  • bbc

Dalam buku Rekonsiliasi Kultural Tragedi 1965: Catatan Pengalaman Syarikat Indonesia (2016), organisasi ini menyebut dirinya sebagai jangkar dalam merajut kembali hubungan sosial di tingkat akar rumput yang hancur akibat tragedi `65.

Mereka berjejaring dengan sejumlah organisasi LSM, serta sesama aktivis muda NU, di berbagai daerah yang memiliki kepedulian yang sama - termasuk di Blitar, tempat Farida lahir dan tumbuh besar.

Ketika rekonsiliasi terkait warisan kekerasan 1965 di tingkat nasional "macet", Syarikat dan aktivis NU muda menggulirkan apa yang disebut sebagai rekonsiliasi di tingkat akar rumput.

Dan akhirnya "di tingkat akar rumput justru bisa berjalan, kendati terkadang tidak semulus yang diharapkan," demikian tim penulis buku tersebut menyimpulkan.

Di Kabupaten Blitar, rekonsiliasi dengan penyintas kekerasan 1968, dirintis oleh aktivis muda NU - yang tergabung dalam Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia, atau biasa disingkat Lakpesdam - pada awal 2000-an.

Salah-satu figur pentingnya adalah M Munif, Ketua Lakpesdam NU saat itu.

"Banyak cerita sangat menyesakkan"

Beberapa tahun kemudian, sekitar 2003, ketika terjun sebagai relawan Lakpesdam di Kabupaten Biltar, Farida mulai bersentuhan langsung dengan upaya rekonsiliasi tersebut. Semula hanya ikut diskusi kecil, dia kemudian "ikut senior-seniornya ke rumah para penyintas kekerasan 1965".

Sebagian para penyintas itu adalah orang-orang yang dulu aktif di sejumlah organisasi di bawah naungan PKI, seperti Lekra, Sarbuksi, atau Barisan Tani Indonesia.

Tapi tak sedikit yang menjadi korban lantaran ikut-kutan atau menjadi simpatisan semata - atau bahkan mungkin tidak tahu-menahu, tetapi terjebak dalam situasi.

Mereka pernah ditahan militer atau polisi, dan beberapa diantaranya dibuang ke pulau Buru.

Dua tahun kemudian, Farida dan suaminya mulai berinteraksi langsung dengan para penyintas. Ini terjadi setelah mereka terlibat penelitian tentang kekerasan pasca Oktober 1965 di wilayah Blitar Selatan, dengan berbasis isu perempuan.

Saat itu, Farida mengaku "belum selesai secara batin" terkait kasus kekerasan itu, lantaran belum mampu melepaskan dari perspektif sejarah ala Orba yang diterimanya selama belasan tahun.

Perlahan-lahan cara pandangnya makin meluas setelah mengikuti pelatihan di organisasi Syarikat tentang menganalisa persoalan dan, terutama, interaksinya secara mendalam dengan para ibu penyintas di Blitar selatan - diantaranya dengan Put Mu`inah, eks Ketua Gerwani, Gerakan Wanita Indonesia, Kabupaten Blitar.

"Di situ saya justru menemukan banyak cerita yang menurut saya sangat menyesakkan," Farida berkata dengan suara tercekat.

Dia menarik napas panjang dan matanya terlihat basah. "Ada penyiksaan (terhadap korban di pihak orang-orang yang dituduh PKI) yang luar biasa."

Fakta tentang kekerasan yang dialami ibu-ibu penyintas ini, ditambah pengalaman serupa para penyintas di kota-kota lainnya, menyadarkannya bahwa apa yang terjadi di desanya dan desa-desa lainnya di perbukitan gersang di wilayah Blitar selatan pada sekitar 1968, selama ini ditutup-tutupi.

Dilatari itu semua, Farida makin tertarik mendalaminya. Apalagi di sisi lain dia dibenturkan kenyataan bahwa ayahnya terlibat dalam kekerasan di sekitar tahun 1968.

"Apalagi saya kaitkan pengalaman saya dengan bapak," ujarnya lirih. Suaranya kembali tercekat. "Jadi, saya harus melakukan ini."

Melanjutkan rintisan para seniornya di Lakpesdam yang membuka pintu rekonsiliasi kultural, Farida secara gamblang mengaku itu dilakukannya karena juga faktor apa yang diperbuat ayahnya.

"Putra eksekutor"

"Karena berposisi putra dari pelaku eksekutor dari tragedi `65, jadi membuat saya merasa sangat perlu untuk bagaimana cara menebus kesalahan yang pernah.... bapak lakukan itu, dengan proses rekonsiliasi," kata Farida dengan suara tercekat.

Dia menambahkan, "Itu penting dilakukan, karena dari kejadian kekerasan itu menumbuhkan banyak kebencian, banyak persoalan yang mungkin sampai hari ini belum tuntas."

Sejauh ini, sulit menemukan sosok seperti Farid, yang secara terbuka mengakui dan mengungkap kepada umum tentang keterlibatan ayahnya dalam tragedi kekerasan pasca Oktober 1965.

Bagi sebagian pihak, apa yang dilakukannya dapat dianggap membuka aib keluarga sendiri.

"Itu bukan aib," katanya. Menurutnya, apa yang dibanggakan ayahnya saat membunuh orang-orang yang disebut PKI, seharusnya bukan sebuah kebanggaan.

Dia juga menekankan bahwa kesaksiannya tentang peranan ayahnya di masa itu adalah perwujudan dari "kebenaran yang harus diungkap".

"Agar penerus bangsa ini juga benar-benar tahu bahwa peristiwa itu memang ada kebohongan publik yang terstruktur sehingga membuat sejarah menjadi runyam, menjadi tidak jelas," jelasnya.

`Saya tidak mau seolah-olah menghakimi ayah`

Awalnya, Farida tidak bercerita kepada ayahnya tentang aktivitasnya mendampingi para penyintas kekerasan pasca Oktober 1965.

Para penyintas itu dahulunya - secara langsung atau tidak langsung - adalah musuh ayahnya ketika operasi pembersihan digelar pada 1968.

"Saya tidak berani mengorek secara langsung (kepada ayahnya)," katanya. Dia takut ayahnya akan "terluka" dan lagi pula dia tidak mau seolah-olah menghakimi ayahnya.

Dia memilih bersikap pasif dengan harapan ayahnya yang bersikap aktif untuk bertanya perihal "sejarah baru" terkait operasi pembasmian orang-orang yang dituduh PKI pada 1968.