Logo BBC

Kisah 'Penebusan Dosa' Anak Algojo PKI di Blitar

Farid Masrurin (berjilab, tengah) dan penyintas tragedi 1965, Sukiman (kiri), serta Masrukin (kanan, suami Farid) di samping Gua Tikus, lokasi pembuangan orang-orang yang dituduh PKI di Dusun Bokolan, Desa Lorejo, Kabupaten Blitar. - BBC News Indonesia
Farid Masrurin (berjilab, tengah) dan penyintas tragedi 1965, Sukiman (kiri), serta Masrukin (kanan, suami Farid) di samping Gua Tikus, lokasi pembuangan orang-orang yang dituduh PKI di Dusun Bokolan, Desa Lorejo, Kabupaten Blitar. - BBC News Indonesia
Sumber :
  • bbc

Namun lambat-laun, ayahnya akhirnya tahu tentang kegiatan anaknya lantaran Farida acapkali mengundang teman-temannya dari Lakpesdam dan Syarikat berdiskusi di rumahnya.

Ayahnya juga diam-diam membaca dokumen atau majalah terkait program pendampingan yang dilakukannya dan kawan-kawannya.

Dalam wawancara dengan saya, Farida mengaku meletakkan dokumen itu di ruang tamu, dengan harapan ayahnya membacanya.

"Mungkin proses itu, termasuk pergesekan, atau diskusi, dan sering komunikasi, antara saya dengan bapak, yang suatu saat membuat ayah saya meminta maaf," ungkapnya.

Farida menambahkan, "Meminta maaf dalam artian bahwa, apapun, membunuh itu merupakan perbuatan yang salah."

Ayah minta maaf, sesuatu yang luar biasa

Kepada anaknya, sang ayah juga berulangkali meyakini bahwa orang-orang NU juga menjadi korban pada tragedi itu, sepertinya halnya para penyintas dari orang-orang yang dituduh PKI.

"Karena, ketika ditelisik, ternyata data yang diterima teman-teman Banser, itu dari siapa, itu juga tidak jelas sampai hari ini. Pihak penyintas `65 juga ternyata tidak tahu dari siapa catatan-catatan itu," katanya.

"Data"atau "catatan" yang dimaksud Farida itu adalah daftar nama orang-orang yang harus dibunuh, baik dari pihak PKI dan NU, seperti yang dia dengarkan dari para penyintas dan orang-orang NU.

Mengomentari kembali keputusan ayahnya untuk mengakui tindakannya salah dan kemudian meminta maaf, Farida menyebutnya sebagai luar biasa.

"Dan membiarkan kami untuk berproses dan mendampingi para penyintas, itu juga luar biasa." Seperti sebelumnya ketika menyinggung sosok sang ayah, mata Farida terlihat berkaca-kaca.

Meminta maaf di hadapan penyintas

"Bagaimana reaksi eks tapol saat mengetahui ayah Anda adalah tukang jagal orang-orang yang dituduh PKI?" tanya saya ke Farida.

"Bukan saya yang bercerita," kata Farida, masih tersendat, dan matanya menerawang jauh. Maksudnya, Farida belum berani secara terbuka bercerita tentang keterlibatan ayahnya dalam pembunuhan massal di Blitar selatan.

Di salah-satu forum Syarikat, yang dihadiri anak-anak muda NU dan para penyintas, Farida memilih diam dalam sesi berbagi pengalaman seputar terkait memori kekerasan pasca Oktober 1965.

"Saya belum berani mengutarakannya."

Justru peran ayahnya di seputar pembunuhan massal itu diungkapkan oleh rekan-rekannya dari Lakpesdam.

Di hadapan para penyintas, mereka menyebut sosok Hasim As`ari adalah eksekutor orang-orang PKI di Blitar selatan pada 1968.

"Saya tidak bisa membayangkan wajah para penyintas," ungkapnya, mencoba mengingat lagi apa yang ada di benaknya ketika peran ayahnya diungkit di forum itu.

Setelah kesaksian itu disampaikan melalui mulut rekan-rekannya, Farida - di hadapan forum - meminta maaf kepada para penyintas.

"Saya meminta maaf atas nama bapak, atas nama keluarga."

Hanya satu kalimat itu yang terucap dari mulutnya saat itu. Menurutnya, sampai di situ keberaniannya untuk mengutarakan permintaan maaf kepada eks tapol.

Dalam suasana hening, salah-seorang penyintas bernama Sukiman (kini berumur 71 tahun), warga Desa Pasiraman, Kabupaten Blitar, berdiri mendekatinya, lalu merangkul Farida.

Eks anggota Lekra, yang pernah dipenjara dan pernah bersumpah membalas dendam kepada Ansor itu, mengeluarkan sederetan kalimat yang terus diingat oleh Farida sampai sekarang.

"Sudah, sudah, kita tidak benci kepada bapakmu. Kita tidak benci sama orang NU, kita sama-sama korban.

"Kita tidak pernah tahu persoalannya, kita memang dipaksa untuk melakukan sesuatu yang kadang kita tak tahu."

Farida kaget mendengarnya. Dia tak pernah menyangka kalimat seperti itu bisa meluncur begitu saja dari mulut orang yang dulu termasuk dalam barisan yang diburu ayahnya.

Farida kemudian mengulangi permintaan maafnya.

"Karena apapun motif atau niatnya, membunuh itu sesuatu yang berdosa." Semenjak saat itulah, dia tidak ada beban psikologis untuk mengungkapkan apa yang dilakukan ayahnya di masa-masa kelam 1968.

"Saya Sukiman, saya dulu anggota Lekra"

Pada hari kedua liputan kami di Blitar selatan, kami bersama Farida menaiki kendaraan roda empat, untuk menemui seorang pria kelahiran 1948, yang mengaku pernah dipenjara - tanpa diadili - karena dianggap menjadi penghubung, atau kurir, orang-orang yang dituduh melindungi pimpinan dan anggota PKI di desanya.

Kami melewati jalanan beraspal yang menanjak dan memutari perbukitan nyaris tanpa pepohonan alias gundul.

Di sepanjang jalur itu, hanya didominasi ilalang kering kecoklatan, sesekali pohon sengon yang sengaja ditanam berjejer, wajah kota Blitar di kejauhan, serta langit kebiruan pucat.