Logo BBC

Kisah 'Penebusan Dosa' Anak Algojo PKI di Blitar

Farid Masrurin (berjilab, tengah) dan penyintas tragedi 1965, Sukiman (kiri), serta Masrukin (kanan, suami Farid) di samping Gua Tikus, lokasi pembuangan orang-orang yang dituduh PKI di Dusun Bokolan, Desa Lorejo, Kabupaten Blitar. - BBC News Indonesia
Farid Masrurin (berjilab, tengah) dan penyintas tragedi 1965, Sukiman (kiri), serta Masrukin (kanan, suami Farid) di samping Gua Tikus, lokasi pembuangan orang-orang yang dituduh PKI di Dusun Bokolan, Desa Lorejo, Kabupaten Blitar. - BBC News Indonesia
Sumber :
  • bbc

"Semua dijarah, pohon-pohon jati itu dibabat habis setelah 1998." Farida bercerita dan menekankan bahwa penggundulan hutan itu membuat desanya nyaris selalu kebanjiran setiap curah hujan tinggi.

Dari dalam mobil, saya justru membayangkan mengapa sebagian pimpinan PKI memilih wilayah perbukitan Blitar selatan sebagai lokasi persembunyian.

Dahulu, ketika pohon-pohon jati masih rimbun dan jalanan masih berlumpur, tentu tidak mudah mengakses kawasan berbukit-bukit itu.

"Ansor bantu mencari dan menangkap orang-orang PKI," Asmungi, eks Ketua Ansor anak cabang Wlingi, Kabupaten Blitar

"Saya tidak berperan apa-apa pada seputar Operasi Trisula 1968, kecuali hanya membantu ABRI (kini TNI) dan polisi, turut mencari dan menangkap orang-orang PKI.

Karena hanya membantu, Ansor hanya menyerahkannya kepada ABRI dan polisi. Jadi, Ansor tidak pernah berjalan sendiri. Kami bersama-sama ABRI dan polisi.

Beberapa anggota Ansor didampingi pasukan ABRI melakukan gropyokan (operasi) ke rumah-rumah warga untuk mengetahui apakah mereka menyimpan senjata atau menyimpan dokumen terkait PKI. Ternyata banyak sekali.

Anggota Ansor yang mau membantu diberi semangat mental, yaitu membaca shalawat , sehingga saat ditembak tidak mempan - Insya Allah .

Senjata yang dirampas dari rumah masyarakat, sebagian besar buatan China, yang merknya Cung. Sebagian disimpan di Museum Brawijaya di kota Malang, Jatim.

Pada awal 1968 di Blitar selatan itu adalah pemberontakan PKI. Kita berperang, karena PKI juga mempunyai senjata. Pimpinan mereka ada yang tokoh-tokoh eks ABRI.

Di wilayah itu, banyak sukarelawan PKI dan mereka bersenjata. Kita intinya berperang, karena melawan mereka yang bersenjata. Generasi muda sekarang harus tahu bahwa PKI mau berontak terhadap negara.

Mereka diantaranya adalah pimpinan pusat PKI, seperti Ir Surachman dan Oloan Hutapea, dan banyak lagi, bersama eks ABRI berkumpul kembali di Blitar selatan.

Oloan mati dibunuh massa di tempat persembunyiannya dan Ir Surachman ditembak mati.

Operasi yang berjalan sampai Agustus 1968, berhasil menumpas habis orang-orang PKI. Ada yang tertembak, ada yang ditangkap, dan ada pula yang diadili.

Sekarang ada informasi yang menyebut PKI itu adalah korban. Ini tidak betul. Mereka bersenjata dan kita berperang. Hanya saja mereka kalah.

Kalau ada upaya perdamaian atau rekonsiliasi dengan eks tapol yang masih hidup, pemerintah yang harus berperan. Kalau tidak dilakukan pemerintah, kedua pihak saling mengeklaim paling benar.

Sekarang keluarga eks tapol sudah bisa menjadi pegawai negeri, sehingga tidak ada bedannya dengan masyarakat lainnya.

Keadaannya sudah normal seperti sediakala, sehingga silaturahmi sudah berlangsung dengan baik secara alamiah, dan tidak ada lagi saling mencurigai.

Sekarang sudah normal, saya tidak perlu takut kalau seandainya mereka membalas.

Saya sudah tahu peta di wilayah Wlingi, saya tahu wilayah yang dulu dikuasasi kelompok merah. Sekarang saya biasa saja mengikuti pengajian di wilayah itu.

Hubungan saya dengan mereka saat ini baik-baik saja. Kalau saya diundang pada hajatannya, saya datang. Demikian pula sebaliknya. Tidak ada masalah.

Baik Ansor maupun eks PKI dan keturunannya sama-sama tidak merasa terancam, karena kedudukannya sudah sama di hadapan hukum.

Kalau memang ada yang mau mendamaikan, harus melibatkan pemerintah. Kalau tidak ada upaya itu, ya tidak apa-apa. Pokoknya jangan diungkit-ungkit lagi."

Kira-kira memakan waktu 30 menit, kendaraan kami menepi di rumah beton sederhana yang eksteriornya sudah bersentuhan dengan modernisasi.

Lokasinya di Desa Pasiraman, Kecamatan Wonotirto, Kabupaten Blitar. Sekelebat pikiran saya membayangkan ketika ratusan tentara berbaris di depan rumahnya di bulan-bulan awal 1968 - lalu satu per satu tentara itu menggedor pintu rumah warga untuk mencari orang-orang PKI.

Yang ada di hadapan saya justru semilir angin dan suara menggelegar dari depan pintu. "Saya Pak Sukiman... Saat usia 18 tahun, saya berhimpun di organisasi Lekra..."

Lembaga Kesenian Rakyat, atau Lekra, adalah organisasi kesenian yang disebut merupakan onderbouw PKI. "Saya dulu bermain sendratari, yaitu tari Remong."

Berperawakan agak tinggi, kurus, bahu lebar, dan sebagian rambutnya sudah memutih, tapi pendengaran Sukiman masih tajam. Dia juga suka menebar tawa lebar di sela-sela menjawab pertanyaan.

Dia masih mampu mengingat peristiwa horor yang menimpa keluarganya pada 1968, ketika pasukan ABRI dibantu Banser NU melakukan operasi penangkapan orang-orang yang dituduh anggota PKI atau orang-orang dianggap membantunya.

"Kakak-kakak saya hilang, mati. Sukadi, Sukemi, dan Duryadi, kakak ipar saya. Ada diantaranya yang dibuang ke luweng (gua) tikus,"

Sukiman- ayah tiga anak ini - mengutarakannya seperti tanpa beban. Dia sendiri adalah anak bungsu dari lima bersaudara.

Ketika Operasi Trisula digelar, Sukemi sempat kabur ke Jombang dan Malang. Namun dia memilih kembali ke desanya, tetapi ditangkap karena dituduh menjadi kurir yang menghubungkan para pimpinan PKI dan pendukungnya di wilayah itu.

"Padahal, saya tidak tahu menahu tentang politik. Saya juga tak tahu isi suratnya."