Logo BBC

Kisah 'Penebusan Dosa' Anak Algojo PKI di Blitar

Farid Masrurin (berjilab, tengah) dan penyintas tragedi 1965, Sukiman (kiri), serta Masrukin (kanan, suami Farid) di samping Gua Tikus, lokasi pembuangan orang-orang yang dituduh PKI di Dusun Bokolan, Desa Lorejo, Kabupaten Blitar. - BBC News Indonesia
Farid Masrurin (berjilab, tengah) dan penyintas tragedi 1965, Sukiman (kiri), serta Masrukin (kanan, suami Farid) di samping Gua Tikus, lokasi pembuangan orang-orang yang dituduh PKI di Dusun Bokolan, Desa Lorejo, Kabupaten Blitar. - BBC News Indonesia
Sumber :
  • bbc

`Saya dulu dendam dengan Ansor, tapi sekarang...`

Seperti kebanyakan penyintas `65 lainnya, dia mengaku disiksa dan kesulitan mendapatkan makanan secukupnya selama di penjara.

Setahun kemudian dia dikeluarkan dan diwajibkan wajib lapor ke instansi militer setempat.

Keluar dari penjara, seperti yang dialami eks tapol lainnya, Sukiman mirip pesakitan yang dianggap berbahaya oleh masyarakat lantaran pilihan politiknya dahulu.

Dia teringat putri sulungnya, Istini, yang pernah kesulitan berhubungan dengan lawan jenis, karena "latar belakang" ayahnya.

Di masa-masa itu, usai keluar dari bui, dia sempat bersumpah kepada dirinya sendiri untuk membalas dendam terhadap orang-orang Ansor - ormas kepemudaan onderbouw NU.

"Dendam kesumat, hutang darah dibayar dengan darah... Saya tahu segi tiga yang dinamakan Ansor," nada suaranya meninggi. Segi tiga yang dimaksudnya adalah bingkai pada logo Ansor yang berbentuk segi tiga.

Namun nada suara Sukiman kembali memelan, dan buru-buru menambahkan bahwa dirinya tidak lagi menaruh dendam kepada Ansor. Ini terjadi setelah dia mengikuti rekonsiliasi kultural yang ditawarkan anak-anak muda NU pada awal 2000-an.

"Setelah ada rekonsiliasi, kita sudah berdamai," kata Sukiman, masih dengan nada perlahan.

"Yang menyadarkan saya itu saudara Munif." Berulangkali Sukiman juga menyebut bahwa dirinya dan orang-orang Banser sebagai "sesama korban" karena keadaan dan hasutan pihak ketiga.

Munif adalah Ketua Lakpesdam NU pada awal 2000-an, yang ikut berperan mempertemukan pertama kalinya antara orang-orang yang selamat dari Operasi Trisula dan warga Nahdliyin yang menjadi Banser saat operasi tersebut.

Pada September 2001, seperti tercatat dalam buku Rekonsiliasi Kultural Tragedi 1965, terbitan Syarikat dan Tifa (2016), Munif dan kawan-kawan mempertemukan mereka yang dulu bermusuhan itu dalam acara kesenian bertema Rukun Agawe Santoso.

Acara yang diisi sholawatan , pengajian, dan kentrung dan campursari itu digelar di pelataran Tugu Trisula di Desa Bakung, Kabupaten Blitar.

"Tidak ada pemisahan tempat duduk bagi kedua komunitas memori itu," ungkap Moh. Asrofi, dalam tulisan berjudul Merajut kembali ingatan masa lalu, salah-satu tulisan di buku itu.

Acara ini kemudian ditindaklanjuti oleh acara silaturahmi di antara kedua pihak - termasuk memanfaatkan halalbihalal Idul Fitri. Walaupun masih ada penolakan dari sebagian anggota NU, proses rekonsiliasi ini terus bergulir.

"Farid a itu seperti anak saya sendiri"

Di ruangan tamu, usai wawancara, Sukiman terlihat bercengkerama dan sesekali bergurau dengan Farida - dalam bahasa Jawa.

"Farida itu seperti anak saya sendiri." Di lain sisi, Farid menganggap Sukiman sudah seperti ayahnya sendiri.

Suasana keakraban antara anak tokoh NU dan eks Lekra itu, tak pernah terbayangkan sebelumnya akan terjadi. Kedua pihak yang pernah berseteru akan terus menyimpan amarah dan dendam, apabila upaya membangun jembatan untuk mendekatkannya tidak dirintis sejak awal.

Saya pun membayangkan pula betapa tidak mudah bagi Farida dan, terutama, para pendahulunya dalam membangun komunikasi awal dengan Sukiman dan kawan-kawan.

Puluhan tahun mereka terjebak dalam memori kolektif yang terbelah dan hubungan sosial yang nyaris hancur akibat warisan kekerasan pasca Oktober 1965.

"Kami sempat bingung untuk mengawalinya," ungkap Moh, Asrofi, aktivis Lakpesdam NU Blitar, dalam buku Rekonsiliasi Kultural Tragedi 1965. "Bagi kami, rekonsiliasi kultural itu adalah hal baru."

Menimba pengalaman dari diskusi dengan lembaga yang sudah melakukan langkah serupa, mereka lantas mencari sosok yang bisa menjadi pintu pembuka untuk menjadi jembatan ke pihak para penyintas.

Langkah ini akhirnya bergulir, dan Farida mengingat betapa tidak gampangnya untuk meyakinkan para penyintas dari kalangan perempuan untuk bercerita terbuka tentang apa yang mereka alami di masa-masa itu - pada awalnya.

"Kita pendekatannya secara pribadi, tidak melibatkan organisasi apapun," katanya.

Diawali dengan membangun kepercayaan yang antara lain ditandai dengan beberapa kali pertemuan silaturahmi, para penyintas barulah merasa nyaman untuk mulai berbagi informasi perihal pengalaman pahit mereka di masa lalu.

Dalam beberapa pertemuan berikutnya, mereka lantas saling membuka diri, lalu "saling menyadari" bahwa mereka adalah "sama-sama korban". Di momen-momen itulah, menurut Farida, kedua pihak secara terbuka untuk saling memaafkan.

"Bahwa saya, beliaunya, yang tak luput dari salah, maka kita membuka diri untuk saling memaafkan, tidak ada dendam, dan kita saling melakukan sesuatu secara bersama," katanya.

Untuk memelihara kedekatan itu, Farida dan anak-anak muda NU serta para penyintas berjanji untuk saling bertemu, termasuk di acara-acara keluarga.

"Ketika ibu-ibu itu mengawinkan anak-anaknya, kita datang ramai-ramai."

Lokasi pembantaian orang-orang PKI: Gua Tikus

Ketika saya mengutarakan ide untuk mengajaknya ke salah-satu lokasi eksekusi dan kuburan massal orang-orang yang dicap PKI, yaitu gua tikus atau luweng tikus di Dukuh Bokolan, Desa Lorejo, Kecamatan Bakung, Farida tidak keberatan.

"Saya belum pernah ke sana," katanya. Masrukin, suaminya, yang juga pernah aktif di Lakpesdam NU Kabupaten Blitar dan turun mendampingi para penyintas, kami ajak pula.