-
VIVA – Di kampung saya, azan adalah sebuah polemik. Tidak diperbolehkan azan di siang hari. Nekat melakukannya, maka harus siap didatangi tetua adat dan dikalungi golok lehernya. Saya menjadi satu-satunya manusia di bumi Tomia yang pernah mengalami hal itu.
Pada umur belasan, sekitar kelas 5 atau 6 Sekolah Dasar (SD), saya pernah sekali dua kali menanyakan perihal azan di kampung saya yang hanya dilakukan pada saat salat di malam hari (maghrib, isya, subuh).
Pada waktu zuhur dan ashar, sejak kecil saya mengira bahwa ketentuannya, tidak ada azan. Terlebih, pengetahuan agama saya berangkat dari buku-buku macam tata cara salat (bukan fokus pada azan) hingga buku yang bikin merinding yang pernah saya baca saat masih kecil, buku Hidup Sesudah Mati karya Arifin Bey.
Televisi menjadi referensi paling kuat saya mengenai azan pada zaman itu, malah hanya menayangkan azan maghrib dan subuh kalo kebetulan listrik menyala sampai pagi. Masih lengkapan apa yang diajarkan turun-temurun di kampung saya perihal azan saat maghrib, isya, dan subuh.
Saya sebenarnya menemukan beberapa tambahan ilmu tentang azan ketika sekolah dasar dari beberapa guru saya yang berasal dari seberang pulau. Sayangnya, saya sendiri tidak terlalu yakin dengan mereka bahwa azan juga dilaksanakan saat siang hari.
Hijrah ke pulau besar di seberang saya pada usia belasan (SMP) mata saya terbuka bahwa ada sesuatu yang salah dengan yang terjadi di kampung. Maka saya mencari berbagai informasi tambahan mengenai ini. Saya bertanya kepada beberapa imam masjid di Pulau Tomia yang mengumandangkan azan pada waktu zuhur dan ashar.
Termasuk kemungkinan apa sebabnya di kampung saya yang masuk kategori terpelosok itu meniadakan azan saat zuhur dan ashar.
Penjelasan dari beberapa imam yang saya tanyai itu sangat masuk akal dan logis sekali. Kira-kira begini, "Azan itu adalah panggilan orang untuk salat. Lazimnya panggilan, maka harus ada suaranya, tidak peduli itu siang, ataupun malam."
Lalu si imam yang menurut saya paling masuk akal penjelasannya itu membisiki saya sesuatu namun saya tidak tahu apa maksudnya saking lirihnya suara tersebut. Dan trik kecil itu yang semakin membuka mata saya bahwa azan (sebagai panggilan) seharusnya dikumandangkan dengan suara yang lantang tak terkecuali saat zuhur dan asar.
Saya pulang kampung menjelang puasa pertama di awal tahun kedua saya menjadi anak SMP. Saat siang di hari pertama puasa, saya ke masjid, menemukan tiga atau empat orang teman saya yang usianya lebih muda sedang menunggu waktu zuhur.
Niat mereka, awalnya hanya ingin salat di masjid. Tidak perlu azan atau hal lain yang akan mengundang huru-hara. Namun ternyata kehadiran saya adalah takdir yang mereka aminkan namun juga membuat mereka was-was.