Mudah Putus Asa Berisiko Sakit Jantung

Ilustrasi jantung.
Sumber :
  • Pixabay

VIVA.co.id – Memiliki sikap pesimis ternyata berbahaya untuk kesehatan. Dari sebuah penelitian ditemukan bahwa orang yang pesimis memiliki risiko tinggi meninggal akibat penyakit jantung.

Gak Habis Pikir Rayakan Lebaran Tanpa Ayah, King Nassar: Tahun Kemarin Aku Sakit, Tahun Ini Abah

Para peneliti dari Finlandia menemukan bahwa mereka yang merenungkan masa depan kemudian tidak yakin bahwa hal baik akan datang, menyebabkan kadar gula darah dan tekanan darah mereka meningkat.

Dan, dari penelitian psikologis pada lebih dari 2.000 pria dan wanita selama lebih dari 11 tahun ditemukan bahwa 121 orang yang meninggal karena penyakit jantung memiliki air muka yang lebih murung dibandingkan lainnya.

Ayah Meninggal Dunia, King Nassar Ungkap Kenangan Tak Terlupakan

Meski begitu, menjadi seorang optimis pun belum tentu lebih baik. Memiliki pandangan 'setengah gelas penuh' pun tidak serta merta meningkatkan panjang usia atau kesehatan Anda.

Tapi, perasaan positif tidak memberikan dampak kesehatan berbahaya seperti halnya rasa negatif.

Kronologi Meninggalnya Ayah Nassar, Sempat Pasang Ring Jantung

Penelitian yang dilakukan oleh Departemen Psikiatri Paijat-Hame Central Hospital, Finlandia, ini merupakan penelitian pertama yang menguji kematian akibat penyakit jantung dan hubungannya dengan optimisme dan pesimisme secara mandiri.

"Kadar pesimisme dapat diukur dengan cukup mudah dan pesimisme bisa menjadi alat berguna yang digunakan bersama faktor risiko yang diketahui lainnya seperti diabetes, hipertensi, atau merokok untuk menentukan risiko kematian yang diinduksi oleh penyakit jantung koroner," ujar peneliti utama Dr Mikko Pänkäläinen seperti dikutip Daily Mail.

Dr Pankalainen melanjutkan, kadar pesimisme yang tinggi sebelumnya dikaitkan dengan faktor yang memengaruhi kesehatan jantung seperti peradangan. Tapi data dari hubungan antara risiko kematian akibat penyakit jantung koroner dan optimisme serta pesimisme sebagai karakter sangat jarang.

Para peneliti mengonsultasikan data yang dikumpulkan pada tahun 2002 sebagai bagian dari penelitian usia jauh yang melibatkan 2.267 pria dan wanita Finlandia berusia antara 52-76 tahun.

Data tersebut meliputi status sosioekonomi, latar belakang psikososial, gaya hidup, kadar gula darah, tekanan darah, resep dokter, dan penyakit.

Kemudian, kadar optimis atau pesimis mereka diukur melalui kuisioner yang merespons tiga pernyataan optimis dan pesimis.

Sebuah contoh pernyataan optimis adalah 'pada waktu tidak tertentu, saya biasanya mengharapkan yang terbaik'.

Salah satu pernyataan pesimis adalah 'jika sesuatu bisa menjadi salah, itu akan terjadi pada saya'.

Mereka harus menyatakan seberapa kuat mereka mengidentifikasi setiap pernyataan dalam skala 0 (sangat tidak setuju) hingga 4 (sangat setuju).

Para peneliti kemudian menemukan bahwa 121 pria dan wanita yang meninggal karena penyakit jantung dalam periode 11 tahun penelitian selalu lebih pesimis sejak awal dibandingkan mereka yang masih hidup.

Secara keseluruhan, orang yang paling pesimis dalam grup memiliki 2,2 kali lipat risiko lebih tinggi meninggal akibat penyakit jantung dibandingkan yang pesimisnya ringan.

Namun, penelitian ini dibatasi oleh fakta bahwa  datanya merupakan laporan mandiri. Meski begitu, para peneliti bersikukuh penelitian ini mengikuti tren penelitian yang menunjukkan pesimisme tidak baik bagi kesehatan seseorang.

Meski demikian, pada penderita diabetes, Rudi menyarankan agar tidak melihat pada penyakitnya saja. Tapi, bagaimana dia bisa berprestasi. Mereka sama seperti orang normal yang bisa menggapai prestasi dan menjadi apapun yang mereka inginkan asalkan gulanya dikendalikan supaya target yang diharapkan tercapai.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya