- VIVAnews/Tudji Martudji
VIVAnews – Rumah itu bercat cokelat. Tampak sederhana dengan luas 6x10 meter persegi. Tak banyak perabot di dalamnya. Sebagian ruangan bahkan sudah berubah fungsi.
Kuncarsono Prasetyo (43), sang pemilik rumah, tampak sibuk. Pria paruh baya ini terlihat hilir mudik keluar masuk ruangan.
Sesekali, dia memberi perintah dan arahan kepada sejumlah orang yang sedang bekerja di rumah tersebut. Ada yang menjahit dan mengerjakan bordir. Sementara itu, yang lain sedang menyablon kain dan merancang desain.
Kuncarsono adalah pemilik CV Sawoong Creative, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang advertising dan sablon. Sore itu, ia terlihat mengawasi karyawannya yang sedang mengerjakan sejumlah pesanan.
Selain untuk tempat tinggal, Kuncarsono memanfaatkan rumahnya sebagai workshop, tempat ia dan para pekerjanya menjalankan roda usahanya.
Sebagai pengusaha sablon dan periklanan, Kuncarsono merasa dirugikan usai Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota.
Menurut dia, pengesahan UU itu dipastikan akan mengurangi pendapatan perusahaan yang ia kelola. Sebab, selama ini, usahanya banyak disokong dari laba hasil mengerjakan alat peraga kampanye dan perlengkapan pemilihan umum kepala daerah (Pilkada).
Ia tampak emosional saat ditanya seputar nasib perusahaannya pasca pengesahan UU Pilkada. Ia mengaku, usahanya akan rugi akibat keputusan tersebut.
"Kalau di pemilihan langsung akan banyak dibutuhkan properti kampanye, baik untuk partai atau perorangan calon kepala daerah yang maju di Pilkada," ujar dia saat ditemui VIVAnews di rumahnya, Jalan Kalidami, Surabaya, Jawa Timur, Selasa, 30 September 2014.
Mantan jurnalis ini mengatakan, pada musim Pilkada, keuntungan yang ia peroleh meningkat hingga 300 persen. Keuntungan itu didapat dari mengerjakan pesanan kaus, bendera, topi, pin, banner dan pesanan lain yang melimpah. Bahkan, saking banyaknya ia harus mempekerjakan karyawan musiman.
"Artinya, banyak tenaga kerja yang terserap. Di sini saja ada 50 orang yang ikut bekerja membantu saya. Dan jujur saja, usaha ini bisa besar karena ada Pilkada," ujar ayah dua anak ini.
Tanpa Pilkada langsung dipastikan usaha Kuncarsono akan merugi. Menurut dia, ruginya bisa sampai 40 persen atau sekitar Rp400 jutaan. Ia mengaku mampu mempekerjakan dan membayar 50 karyawan, salah satunya karena hasil dari mengerjakan proyek Pilkada.
Sebab, ia bisa meraup untung ratusan juta rupiah dari membuat perlengkapan pilkada dan alat peraga kampanye. "Kami sebagai pelaku usaha advertising andalan utamanya adalah order Pilkada. Memang masih ada pesanan dari langganan, termasuk keperluan sekolah atau event lain, tapi itu tak sebanyak Pilkada," ujarnya.
"Rezeki yang sudah tinggal di depan mata, langsung lenyap begitu saja," ujarnya saat ditemui di kantornya, Jalan Imogiri Timur, Bantul, Yogyakarta, Rabu 1 September 2014.
Menurut pemuda yang masih tercatat sebagai mahasiswa ini, omzet perusahaan yang ia kelola dipastikan akan melorot pasca pengesahan UU Pilkada. "Kalau dalam satu tahun omzet kami bisa mencapai Rp80 juta, maka dengan adanya pesta demokrasi bisa naik hingga di atas Rp100 juta setahun," ujarnya.
Namun, ia yakin, usahanya tidak akan bangkrut karena perubahan sistem Pilkada. "Yang jelas saya tetap bertahan, karena juga membuka usaha, tidak hanya saat pesta demokrasi. Kami masih bisa melayani pembuatan spanduk untuk acara tertentu, membuat undangan pernikahan, dan undangan lainnya," tuturnya.
Berbeda dengan Riza, nasib bisnis musiman Jumakir (37) dipastikan akan terkubur jika Pilkada dilakukan lewat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Selama ini, ia menjalankan bisnis perlengkapan Pilkada secara musiman.
Jumakir baru membuka “lapak” jika ada Pilkada. Ia membuka jasa sablon sekaligus menjual kaus untuk disablon. "Harga kaus dan sablon untuk Pileg mulai dari yang kualitasnya jelek sekitar Rp10 ribu hingga Rp35 ribu untuk bahan kaus dari katun," katanya.
Warga Dusun Kembaran, Kasihan, Bantul ini baru membuka usahanya sekitar empat bulan sebelum Pilkada digelar. Setali tiga uang, pengusaha percetakan di Lampung juga mengeluh dengan disahkannya UU Pilkada.
“Kalau tidak ada Pilkada, ya berarti kami 'puasa' terus,” ujar Agus Sahlan, pemilik percetakan Primamedia di Bandar Lampung.
Menurut dia, Pilkada adalah momen bertambahnya rezeki para pelaku usaha percetakan. Omzet mereka naik pada momen tersebut. Kenaikannya berkisar 30 hingga 100 persen.
Dengan hilangnya Pilkada langsung, hilang juga omzet mereka. Sebab, banyak percetakan yang memang mengkhususkan menerima order menjelang pelaksanaan Pilkada.
Nasib Lembaga Survei
Tak hanya pengusaha sablon dan percetakan yang menjerit pasca pengesahan UU Pilkada. Lembaga survei dan konsultan politik juga diperkirakan menerima imbas dari perubahan mekanisme Pilkada.
Sekretaris Jenderal DPP PPP Romahurmuziy bahkan memperkirakan, Pilkada melalui DPRD akan membuat lembaga survei dan konsultan politik mengalami “kiamat” kecil. Alasannya, demokrasi prosedural yang dilakukan melalui survei politik tidak akan lagi bisa dilakukan.
Namun, tudingan itu dibantah Lembaga Survei Nasional (LSN). Direktur Eksekutif LSN, Umar S. Bakry, mengatakan, Pilkada melalui DPRD tidak akan banyak berimbas kepada lembaga survei. Menurut dia, yang paling terkena dampak adalah para konsultan politik.
"Pilkada lewat DPRD yang paling terpukul konsultan politik bukan lembaga survei,” ujar Umar kepada VIVAnews, Selasa, 30 September 2014.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Riset Opini Publik Indonesia (AROPI) ini menjelaskan, antara konsultan politik dan lembaga survei merupakan dua hal yang berbeda. Jika lembaga survei fokus pada aktivitas survei, konsultan politik bekerja dengan paket-paket kampanye kandidat tertentu sampai pada pencetakan baliho, desain poster, dan sebagainya.
Namun, Umar tak membantah jika secara bisnis, Pilkada tak langsung akan berpengaruh terhadap LSN. Setidaknya, aktivitas survei tidak sama besar dengan ketika Pilkada langsung masih berlaku.
Lembaga survei dan konsultan politik diperkirakan menerima imbas dari perubahan mekanisme Pilkada.
"Sedikit banyak ada pengaruh secara bisnis. Kalau Pilkada langsung hampir semua kandidat sebelum pencalonan membutuhkan survey," kata dia.
Sebab, berdasarkan pengalaman, jika setiap kandidat serius ingin menjadi pemenang, maka 1,5 tahun sebelumnya ia sudah harus bergerak mengukur kekuatannya melalui survei.
Hal senada disampaikan Djayadi Hanan (42). Direktur Eksekutif Saiful Mujani Riset Center (SMRC) ini mengatakan, pekerjaan lembaga survei lebih luas dari sekadar survei politik.
Menurut dia, di negara maju, lembaga survei juga melakukan survei RUU apakah bisa diterima masyarakat atau tidak, juga terkait kebijakan pemerintah. Jika lembaga survei, dia menjelaskan, hanya bekerja untuk pemenangan kandidat, dipastikan akan berakhir.
Dosen Universitas Paramadina ini menjelaskan, survei adalah riset opini publik guna mengetahui pendapat publik yang berkembang di masyarakat terhadap berbagai hal, salah satunya soal elektabilitas. Jika Pilkada langsung ditiadakan, memang salah satu agenda kegiatan lembaga survei hilang.
Namun, bukan berarti lembaga survei sudah tidak relevan. Sebab, partai politik (parpol) juga membutuhkan survei untuk menghadapi Pemilu.
“Pilkada adalah bagian dari riset opini publik dan ada banyak riset opini publik lain termasuk yang dibuat lembaga swasta dan lembaga internasional,” ujar dia saat ditemui VIVAnews di kantornya, Rabu 1 Oktober 2014.
Djayadi menyatakan, lembaganya tidak terlalu terdampak dengan perubahan sistem Pilkada. Sebab, survei terkait Pilkada yang dilakukan SMRC jumlahnya tak terlalu besar.
Ia menjelaskan, sejak akhir 2011 hingga pertengahan 2014, SMRC menggelar sekitar 270 survei. Dan survei yang terkait dengan Pilkada jumlahnya hanya sekitar 26 persen dari total survei.
Biaya survei relatif mahal, dia menambahkan, karena harus mendatangi responden langsung. Biaya surveyor juga mahal terutama untuk biaya transportasi dan akomodasi. Namun, ia enggan menjelaskan berapa tarif survei yang pernah dilakukan SMRC.
Muhamad Qodari juga enggan menjelaskan berapa biaya survei yang harus dikeluarkan kliennya. Direktur Eksekutif IndoBarometer ini hanya mengatakan, besaran biaya ditentukan oleh jumlah responden dan lokasi tempat survei dilakukan.
Menurut dia, semakin banyak responden dan semakin sulit wilayah, biayanya semakin mahal. Qodari mengatakan, ia tak pernah menghitung berapa keuntungan bisnis yang diperoleh selama Pilkada langsung. Keuntungan bisnis naik turun tergantung dinamika.
"Tapi, variasinya saya nggak hitung. Berapa kali survei per tahun juga tidak tahu," ujarnya kepada VIVAnews saat ditemui di kantornya, Kamis 2 Oktober 2014.
Namun, berdasarkan penelusuran VIVAnews, biaya survei untuk 400 responden berkisar Rp75 juta hingga Rp150 juta. Sementara itu, tarif hitung cepat (quick count) untuk dua ribu Tempat Pemungutan Suara (TPS) biayanya bisa mencapai Rp1,5 miliar lebih.
Djayadi dan Qodari tak terlalu khawatir jika UU Pilkada lewat DPRD diterapkan. Sebab, sebagian besar dari para peneliti merupakan doktor ilmu politik yang memiliki pekerjaan di tempat lain.
Selain itu, mereka yakin ada aktivitas lain jika survei terkait Pilkada sudah tidak ada. “Jadi, nggak signifikan dari sisi bisnis dan finansial. Saya kira tidak akan mati, jangan khawatirlah. Terutama lembaga survei di level nasional,” kata dia.
Meski demikian, nasib berbeda dialami lembaga survei di daerah, Lampung misalnya. Wakil Direktur Eksekutif Lembaga Survei Potret Indonesia, Dedi Heriyanto, mengatakan, disahkannya UU Pilkada tak langsung menjadi bencana bagi para pelaku survei di Indonesia, khususnya di Lampung.
Menurut dia, dampak langsung yang terasa adalah semakin berkurangnya order survei dari para calon kepala daerah. “Bahkan, bisa saja lembaga survei akan mati dalam waktu dekat ini,” ujar Dedi saat dikonfirmasi VIVAnews, Sabtu 27 September 2014.
Iklan di Media Massa
Lalu, bagaimana dengan nasib iklan di media massa. Account Manager ANTV, Oky Nuriska, mengatakan, perubahan mekanisme Pilkada tidak akan terlalu berdampak pada perusahaan tempat ia bekerja. Sebab, ANTV merupakan stasiun TV hiburan bukan TV berita.
Menurut dia, untuk pengelola stasiun televisi berita, mungkin akan terdampak. Karena, selama ini mereka banyak mendapat iklan kampanye calon dengan berbagai program acara.
Sementara itu, ANTV hanya mendapatkan remah-remahnya. “Bagi kami, ada nggak ada pilkada langsung tidak terlalu berpengaruh,” ujarnya saat dihubungi VIVAnews, Kamis 2 Oktober 2014.
Pendapat berbeda dikemukakan Mas’ud Adnan. Direktur Harian Bangsa ini mengatakan, perubahan mekanisme Pilkada dipastikan akan berdampak terhadap medianya.
Sebab, selama ini, medianya banyak menerima iklan dari para calon yang maju dalam Pilkada. Namun, ia enggan menjelaskan berapa kerugian yang ia derita akibat perubahan sistem Pilkada ini. Ia juga menolak menyebutkan berapa tarif iklan di media massa yang ia pimpin.
Pukulan Telak
Hari beranjak malam. Satu per satu karyawan CV Sawoong Creative beranjak pulang. Namun, Kuncarsono tampak masih bertahan di teras rumah dengan rokok di tangan.
Ia mengatakan, Pilkada tak langsung merupakan pukulan telak dalam sejarah bisnisnya. Padahal, biaya listrik naik terus, bahan baku juga melambung, mengikuti pergerakan nilai tukar dolar.
Ongkos produksi tahun depan juga bakal naik mengikuti besaran UMK, belum lagi rencana kenaikan harga BBM.
"Banyak kawan saya yang modalnya cekak, mengaku cemas akan gulung tikar. Saya harus memutar otak untuk menyelamatkan puluhan orang yang menggantungkan nasibnya pada usaha ini,” tuturnya. (art)