Logo BBC

Dicap PKI, Keluarga Penyintas 65 Didiskriminasi dan Dihina Anak Kafir

- BBC News Indonesia
- BBC News Indonesia
Sumber :
  • bbc

Diinterogasi tiga orang ("dua diantaranya bawa tongkat," katanya), Oni dicecar pertanyaan "apakah dirinya tahu Lubang Buaya?" dan "apakah dia anggota Gerwani?".

Disinggung pula kehadirannya dalam tarian massal Genjer-genjer - yang terakhir ini, dia tidak membantahnya.

Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), didirikan 1950, disebutkan memiliki hubungan yang kuat dengan PKI, tetapi di sisi lain organisasi itu dianggap pula sebagai organisasi independen. Setelah 30 September 1965, Gerwani dilarang oleh rezim Orba.

Setelah berakhirnya rezim Orba, bermunculan narasi baru tentang Gerwani yang dalam perjalanannya dianggap menaruh perhatian pada masalah-masalah sosialisme dan feminisme, termasuk reformasi hukum perkawinan.

Kembali lagi ke Oni. Dihajar berulang kali dengan tongkat kayu hingga berdarah di salah-satu telinganya, Oni tetap menolak paksaan untuk mengaku sebagai anggota Gerwani.

"Saya memang bukan Gerwani, dan belum pernah dicap apa-apa," dia mengulang lagi jawabannya saat itu.

Nyaris ditelanjangi, Oni termasuk beruntung, setelah muncul seseorang pria tua - yang diingatnya sebagai "bapak jaksa" - di ruangan interogasi dan segera menyelamatkannya. "Jangan, dia masih kecil, dia tidak tahu apa-apa."

Oni tak melupakan kalimat ini. Dia akhirnya `selamat`. Belakangan, setelah dibebaskan 14 tahun kemudian, Oni berusaha menemui sang jaksa tersebut, tapi tidak pernah kesampaian. "Saya mau mengucapkan terima kasih."

Mengapa Oni dan Leo merahasiakan status eks tapol 65?

Ayah Pipit, Leo Mulyono, kelahiran 1945 di Blora, Jateng, merahasiakan petaka yang dialaminya di hadapan anak-anaknya. Alasannya, dia khawatir anak-anaknya terimbas "dosa PKI" yang ditimpakan rezim Orde Baru kepadanya.

"Saya tidak cerita, karena takut situasinya saat itu. Dulu ada kebijakan `Bersih Lingkungan`," kata Leo, yang pernah menjadi anggota CGMI, Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), organisasi mahasiswa yang terkait PKI, pada pertengahan 1960-an.

Ayah Leo, Siryatman, adalah pimpinan PKI di tingkat kampung di Blora, Jateng. "Bapak saya hilang setelah Oktober 65 dan tidak pernah diketahui kuburannya," katanya, lirih.

Leo sendiri menjadi anggota CGMI saat awal kuliah di Akademi Seni Rupa Indonesia, ASRI Yogyakarta, pada pertengahan 1965. Dia juga kenal dekat dengan para seniman yang tergabung dalam Sanggar Bumi Tarung dan Lembaga Kebudayaan Rakyat atau Lekra di kota itu.

Dalam huru-hara di Yogyakarta setelah 30 Oktober 1965, saat usianya beranjak 20 tahun, dia sempat ditahan di berbagai rumah tahanan, termasuk di Ambarawa, sebelum dibuang ke Pulau Buru, Maluku, lebih dari 10 tahun.

"Di Pulau Buru, nama saya tidak dipakai, tapi pakai nomor 3041," akunya. Dia ditempatkan di barak dua.

Dia lantas teringat, anak sulungnya, Pipit, pernah bertanya seputar G30S ketika masih di bangku SMP. Leo menahan diri dan meminta anaknya "mengikuti sejarah yang diajarkan di sekolah."

Oni, sang ibu, lebih menjelaskan lebih detil bahwa saat itu Pipit bertanya `Pak, PKI itu jahat banget ya?`. "Tapi bapak tidak mau bercerita sebelum Pipit nantinya tahu sendiri."

`Bertemu sesama anak penyintas, saya menjadi kuat`

Belakangan, ketika menjadi mahasiswa di Fakultas Pertanian, UGM, Pipit akhirnya mengetahui bahwa ayah-ibunya adalah eks Tapol 65, melalui kesaksian teman-teman orang tuanya. Tapi awalnya dia tidak berani bertanya langsung kepada orang tuanya.

Setelah rezim Orba runtuh dan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur menjadi presiden, Pipit lebih leluasa bertanya kepada ayah dan ibunya tentang `masa lalunya` itu. Sikap penolakannya pun berangsur-angsur menghilang.

Interaksi ayahnya dengan para aktivis mahasiswa yang menaruh perhatian terhadap penyintas `65, juga perlahan-lahan membentuk cara berpikir baru pada diri Pipit dalam melihat kejadian itu.

"Jadi saya tidak bertanya lagi, karena bapak mengisahkannya kepada mahasiswa," ujarnya

Semula tidak mau-tahu terhadap nasib penyintas `65, Pipit kemudian memilih melibatkan diri dalam isu tersebut, setelah bertukar pikiran dan mendengarkan langsung pengalaman sesama anak penyintas.

"Saya bertemu sesama anak korban (penyintas) `65, kami seperti senasib," kata Pipit kepada BBC News Indonesia. "Di situ saya malah menjadi dikuatkan. Saya tidak sendirian menjadi anak korban."

Belakangan, melalui aktivitasnya di Fopperham (Forum Pendidikan dan Perjuangan Hak Asasi Manusia), yang bergerak pada isu HAM dan penanganan korban konflik 1965, Pipit berkenalan dengan Supriyadi, yang juga anak penyintas `65, lalu menikah.

`Saya dipanggil anak kafir, anak PKI`

Setelah dibebaskan dari Pulau Buru pada akhir 1979, ayah Pipit, Leo Mulyono, merasa "asing" saat kembali ke kampungnya di Yogyakarta.

Dia teringat momen ketika digelar pemotretan untuk pembuatan kartu tanda penduduk (KTP), dia diminta pindah ke tempat khusus lantaran latar belakang eks tahanan politik.

"Ini mas Leo bekas tapol," katanya menirukan ucapan salah-seorang pengurus RT setempat. Ucapan itu didengar banyak orang, sehingga mereka menjadi tahu `masa lalunya`.

"Semua orang kampung jadi tahu semua," katanya agak masygul.

Oni Ponirah, ibunda Pipit, setelah bebas, juga merasa "banyak orang-orang di kampungnya yang menjauhinya".

"Banyak teman-teman, tetangga, tidak akrab lagi seperti dulu," ungkapnya. Tentu saja, dia marah atas situasi seperti itu.