Logo BBC

Dicap PKI, Keluarga Penyintas 65 Didiskriminasi dan Dihina Anak Kafir

- BBC News Indonesia
- BBC News Indonesia
Sumber :
  • bbc

Kalau PKI berontak, maka semua anggotanya akan mendukung. Entah umur 17 tahun atau umurnya 20 tahun.

Tidak mungkin kalau dia tidak mengetahui apapun. Dia anggota partai. Ada yang bukan anggota PKI tapi anggota IPPI, Ikatan pemuda pelajar Indonesia yang underbouw PKI.

Apakah Anda sudah siap melakukan rekonsiliasi dengan eks tapol 1965?

Saya beritahu ya, ada keluarga di sini, dulu komunis, keluaran P ulau Buru. Cucunya ikut saya. Saya pelihara sampai SMP.

Ibunya dosen guru besar Fakultas Farmasi UGM, ayahnya seorang dokter, dia ikut saya . Bayangkan dia cucu orang komunis.

Saya dengan eyang-eyangnya (kakek-neneknya) sudah berhubungan baik, karena mereka sudah tidak ikut-ikutan.

Saya bersahabat. Tiap tahun anak-anaknya datang ke sini untuk silaturrahmi. Saya bisa menerima, asal tidak melanjutkan dan saya melihat dia tidak lagi melanjutkan. Itu saya anggap cucu saya.

Oni lantas teringat salah-seorang tetangganya yang disebutnya ikut berperan "melaporkan" kepada aparat militer sehingga ditahan belasan tahun tanpa diadili. "Rasanya saya marah."

Walaupun awalnya marah, dan berusaha menanyakan ulang tentang dugaan itu, toh keinginan Oni tidak pernah kesampaian, sehingga tetangganya itu meninggal dunia. Lalu dia sekeluarga juga pindah ke tempat yang baru. "Saya kemudian tidak berurusan lagi."

Cap ET (eks tapol) pada KTPnya dan suaminya juga membuat dapur rumahnya sulit mengepul. Rencana suaminya bekerja ke luar negeri akhirnya menjadi berantakan lantaran inisial ET.

"Bapak (Leo) akhirnya kerja serabutan, padahal tambah anak dan tambah kebutuhan," ungkapnya, getir.

Oni juga sulit melupakan apa yang dialami anak sulungnya, Pipit, yang seringkali dicemooh `anak kafir, anak PKI` ketika di bangku SMP. Suatu saat, Pipit mengeluhkan hinaan seperti itu kepada bapaknya.

Rumekso Setyadi, peneliti di Syarikat Indonesia: `Kepahlawan Orba dibangun dari heroisme melawan komunis`

Sejumlah aktivis muda NU menindaklanjuti dan mengembangkan nilai-nilai rekonsiliasi yang dikenalkan Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur terkait kasus kekerasan 1965 pada awal 2000an.

D imotori Imam Aziz dan rekan-rekannya di Yogyakarta , anak-anak muda NU membentuk organisasi bernama Masyarakat Santri untuk Advokasi Rakyat - disingkat menjadi Syarikat .

Dalam perjalanannya, mereka melakukan penelitian, pendampingan terhadap penyintas, dan berusaha menjembataninya dengan orang-orang NU - yang sebagian disebut sebagai pelaku, tetapi juga sekaligus korban.

"Ini yang masih kita terus rawat, walaupun tahun demi tahun para korban , k alau dulu kita mengenal 10 orang, sekarang tinggal satu atau dua orang ," kata Rumekso Setyadi, salah-seorang peneliti di Syarikat pada awal 2000 .

Berikut petikan wawancaranya dengan BBC News Indonesia dengan Rumekso Setyadi:

Syarikat Indonesia adalah salah-satu lembaga yang mengawali membangun rekonsiliasi dengan penyintas 65. Apa hal terbaru yang dilakukan Anda dkk?

Ini yang masih kita terus rawat, walaupun tahun demi tahun para korban, kalau dulu kita mengenal 10 orang, sekarang tinggal satu atau dua orang.

Secara struktural negara belum mampu menyelesaikan itu semua, walaupun pada 2015, sudah ada upaya yang sangat baik, ketika Menkopolhukam Luhut Panjaitan menginisiasi Simposium Tragedi 1965.

Itu mirip dengan ending besar Syarikat yang kita bayangkan, yaitu kita mempertemukan semua orang yang terlibat pada waktu itu, bercerita tentang narasi sejarah menurut versinya masing-masing, dan ini dibuka ke publik.

Dan kalau bisa menjadi dokumen sejarah negara , maka sejarah yang dibuat oleh pemerintah adalah sejarah dari sejarah masing-masing versi, tidak hanya satu versi.

Apa yang terjadi apabila kasus 65 tidak diselesaikan dan dibiarkan?

Ini luar biasa dari para korban 1965. Mereka selalu menjaga harapan. Kalaupun tidak diselesaikan pada saat sekarang, mereka masih punya harapan mungkin diselesaikan pada generasi berikutnya.

Hal ini bisa terjadi k arena jarak keterlibatan dengan peristiwa, terutama aktor-aktor dalam peristiwa itu, masih sangat dekat.

Dan para penyintas selalu menjaga harapan itu tetap ada, walaupun sebenarnya para penyintas itu harusnya menuntut. Harapan itu ada pada kita atau generasi yang merasa ada yang salah dengan bangsa ini.

Tuntutan para korban itu harus ketemu dengan harapan dari semua elemen yang ada di Indonesia. Tidak hanya di generasi NU yang itu pun tidak mainstream, alias yang alternatif.

Ini harus menjadi harapan oleh semua orang Indonesia. Baru ini bisa diselesaikan. Tanpa itu diselesaikan, dan harapan itu tidak pernah menjadi harapan semua orang Indonesia, ya, nonsense . Saya kira ini akan menjadi diskursus saja di tiap periode.

Jika penyelesaian struktural masih sulit dilakukan saat ini, apa langkah pemerintah yang masih bisa dimungkinkan?

Menurut saya, melakukan klarifikasi sejarah, bahwa sejarah yang ditulis oleh Orde Baru itu hanya memunculkan sejarah heroisme membasmi atau melawan komunis. Kepahlawan Orde Baru dibangun dari bangunan heroisme melawan komunis.

Sehingga, tidak ada narasi di luar kepahlawanan. Tidak ada narasi siapa korbannya.