Logo BBC

Dicap PKI, Keluarga Penyintas 65 Didiskriminasi dan Dihina Anak Kafir

- BBC News Indonesia
- BBC News Indonesia
Sumber :
  • bbc

Tapi, anda sebagai anak dari penyintas 65, apa yang Anda peroleh dari aktivitas di Kiper? Kali ini pertanyaan saya ajukan kepada Pipit. "Itu healing (menyembuhkan) buat saya."

"Karena saya kemudian belajar banyak hal dari ibu-ibu yang luar biasa ini," tambahnya.

"Di situ saya belajar tentang kekuatan mereka untuk bertahan hidup."

"Saya juga banyak belajar bagaimana mereka bisa tanpa putus asa dengan segala hal yang mereka alami, padahal tekanan mereka sangat luar biasa," katanya lagi.

Interaksinya dengan para ibu penyintas ini ("mereka seperti ibu saya sendiri," katanya), makin menguatkan cara pandangnya dalam melihat kasus 65 dengan menitikberatkan pada kepentingan korban.

"Saya seharusnya melakukan ini sejak dahulu," imbuh Pipit.

`Kembalikan kami seperti warga negara pada umumnya`

Di ujung wawancara dengan Pipit, ibunya, serta ayahnya, saya menanyakan apakah mereka masih berharap kepada pemerintah untuk menyelesaikan persoalan dugaan pelanggaran HAM berat pada pasca Oktober 1965.

Seperti diketahui, sampai sejauh ini permasalahan ini seperti terkatung-katung, walaupun sudah menjadi salah-satu agenda penting Reformasi 1998.

Penyelesaian di luar jalur hukum, melalui pembentukan Komisi Kebenaran Rekonsiliasi (KKR), yang pernah disiapkan oleh pemerintah, menjadi tidak jelas setelah Mahkamah Konstitusi membatalkannya sekian tahun silam.

Belum lagi adanya penolakan dari kelompok-kelompok Islam, dan sebagian unsur dalam TNI, yang membuat Simposium Nasional Tragedi 65 menjadi kehilangan momentum.

"Kami tidak tuntut apa-apa, hanya kepingin kami dianggap seperti orang lain. Disamakan," kata ibu Oni, yang sudah memasuki usia 72 tahun, dengan nada lirih.

"Kembalikan kami seperti warga negara pada umumnya. Hilangkan cap-cap yang membuat kami seperti terhimpit. Wong kami sanggup jadi warga negara yang baik," tambahnya.

Berkali-kali Oni menekankan bahwa dia tidak ingin dikasihani, dengan pemberian bantuan, misalnya. "Kalau mau makan, ya, harus bekerja. Saya enggak pengin dikasihani."

Tentang ketakutan sebagian masyarakat terhadap eks tapol, Ibu Oni balik bertanya: "Yang ditakutkan itu apa? Sudah banyak yang mati kok."

Kini dia merasa tak perlu memikirkan apa yang bisa dilakukan pemerintah terhadap dirinya dan penyintas lainnya. " Usia saya sudah 72 tahun, dan bapak (suaminya) sudah 75 tahun."

Adapun Leo - ayah Pipit - mengaku dirinya tak lagi memendam dendam. Semua sudah saya lalui, katanya. Dia tak terlalu berharap pemerintahan Jokowi mampu menyelesaikan kasus 65.

"Saya cuma ingin generasi muda mengetahui sejarah yang benar terkait 65."

Di tempat terpisah, Pipit Ambarmirah mengaku "banyak" harapan yang dia gantungkan kepada pemerintah. "Tapi minimal pengungkapan kebenaran (terkait kasus 65)."

Dia mengharapkan pula agar pemerintah memberikan ruang-ruang diskusi yang aman bagi penyintas untuk bercerita.

"Karena dengan ruang diskusi yang makin terbuka, itu juga akan mengubah pandangan banyak orang," ujar Pipit.

Menurutnya, mereka yang selama ini tidak tahu tentang kekerasan pasca Oktober 1965, karena mereka mengetahuinya hanya dari satu sisi saja.

"Sisi yang `ini` tidak boleh diceritakan, sehingga mereka salah memahami peristiwa itu," katanya.

"Biarkan cerita-cerita ini (dari perspektif penyintas) pada 65 juga didengarkan oleh masyarakat. Jadi ada banyak cerita. Selama ini kan hanya satu cerita yang ditonjolkan."

Pipit, melalui Kiper, terus berusaha menyuarakan suara-suara para ibu penyintas, lalu mendokumentasikannya, sebagai salah-satu perspektif sejarah 65, terutama kepada generasi muda.

"Biar mereka tahu ada sejarah lain 65, yang itu benar-benar terjadi dan dialami, dan memang belum ada penyelesaiannya."

Di hadapan dua anaknya, yang masih duduk di bangku SD, Pipit pun kadang-kala melibatkannya dalam kegiatan para ibu penyintas.

Itulah sebabnya, dia tak kaget ketika anak sulungnya bertanya langsung kepada kakeknya yang pernah dibuang ke Pulau Buru.

"Kakek pernah dipenjara ya? Kenapa? Suharto jahat ya?" Dari pertanyaan seperti itulah, Pipit kemudian memberikan perspektif sejarah yang mungkin saja berbeda dengan yang akan diperoleh anak-anaknya kelak di bangku sekolah.

"Saya juga menyiapkan anak-anak saya, dia bakal menjadi bagian mendapatkan dosa turunan, kalau situasi belum berubah. Dia harus siap untuk itu."