Logo BBC

Dicap PKI, Keluarga Penyintas 65 Didiskriminasi dan Dihina Anak Kafir

- BBC News Indonesia
- BBC News Indonesia
Sumber :
  • bbc

Nah, yang kita butuhkan, adalah narasi dari mereka yang dianggap salah dan kalah ini dalam sejarah kita. Apakah tidak boleh suara atau sejarah mereka ada dalam sejarah nasional kita? Seharusnya sejarah kita merangkum dari semua aspek dan individu yang ada.

Sejarah nasional kita dibangun dengan monolitik. Hanya satu suara yaitu yang menang.

Sekarang minimal setelah pasca Orde Baru yang terjadi tidak harus dengan kontra narasi, bahwa narasi Orba harus dibalik dari yang dulu menjadi pahlawan, kemudian dibalik menjadi pecundang atau pesakitan.

Tetapi struktur narasi dan mental sejarah Orba, masih hidup. Yang seharusnya , pasca Orba, apa yang menjadi kejahatan Orba itu sama diperlakukan apa yang dulu terjadi di tahun 65 yan g oleh Orba disebut sebagai kejahatan PKI. Yang ditandai tidak ada yang berubah dari narasi sejarah Orde Baru.

Tapi revisi kurikulum oleh tim yang dibentuk oleh otoritas kependidikan kita, yaitu pusat kurikulum, justru dipermasalahkan, karena dianggap sebagai narasi yang mengaburkan sejarah.

Artinya tidak ada yang berubah. Struktur Orba masih ada. Struktur sebagai pahlawan dari 65. Padahal Orba setelah Reformasi dianggap sebagai orde yang salah atau orde yang gagal.

Masih adanya penolakan terbuka dan kadang dibumbui aksi kekerasan terhadap narasi sejarah alternatif terkait kasus 65, apa artinya ini?

Kalau yang kita ajak bicara adalah orang yang mendapatkan keuntungan pasca 65, saya kira mereka menjadi anti rekonsiliasi.

Mereka masih menguasai diskursus tentang sejarah nasional kita bahwa heroisme itu mesti dibangun.

Heroisme itu menganggap bahwa kepahlawanan untuk membasmi atau menumpas 65 itu adalah suatu kewajiban yang itu harus dipertahankan, yang itu juga tidak boleh didegradasi, kalau bisa malah dirayakan.

Semakin dirayakan akan semakin bagus. Makanya makin dirayakan dengan memutar film-film dengan narasi waktu itu, itu akan memperkuatnya. Makanya indikatornya, ketika narasi sejarah Orba lahir kembali, artinya Orde Reformasi ini sebenarnya pengulangan lagi.

Walaupun sudah ada diskursus narasi sejarah alternatif yang lain, tetapi itu pun tidak kemudian membesar, untuk menggeser narasi negara. Karena narasi negara punya aparatus, punya sistem pendidikan, punya pendidikan negara yang selalu bisa diulang.

Dan punya simbol-simbol untuk kepahlawanan, membangun narasi dengan upacara bendera di mana heroisme dibangun di sana. Saya kira kalau itu bersangkutan dengan 65 dan kemudian heroisme itu masih diawetkan dengan cara apapun, itu menjadi indikator bahwa Orba itu tidak hilang. Tapi masih berkembang di masyarakat.

"Kalau sudah besar, kamu akan mengerti. Makanya, sekarang sekolah yang pintar, agar nanti mengerti semuanya," ungkapnya menirukan kalimat Pak Leo.

Pipit pun mengisahkan pengalamannya. Setelah orang tuanya dibebaskan dari tahanan, mereka dikenai wajib lapor dan mengikuti program Santiaji Pancasila selama beberapa tahun.

Santiaji Pancasila adalah salah satu program indoktrinasi bagi para tapol tahun 1965 karena dianggap memiliki paham yang menyimpang. Ayah dan ibunya harus datang ke kantor kecamatan untuk mengikuti program itu.

"Waktu itu ibu saya enggak bisa berangkat, karena dia melahirkan adik saya yang bungsu," ungkapnya. Rupanya, ketidakhadiran ibunya melahirkan kemarahan pejabat terkait setempat.

Dengan terpaksa, ibunya kemudian berangkat melapor ke kantor militer setempat,sambil menggendong adiknya yang baru dilahirkan.

Situasinya relatif berubah ketika Gus Dur menjadi presiden, yang disebut Pipit "melegakan para penyintas" antara lain karena kebijakannya mencabut tanda ET di setiap KTP eks tapol 65.

Namun demikian dalam perjalanannya, Pipit menerima laporan bahwa KTP para penyintas 65 masih "ditandai" untuk membedakan dengan KTP lainnya. "Jadi sebenarnya tetap dibedakan," katanya.

Dalam interaksinya dengan lembaga pendamping penyintas `65, Syarikat Indonesia, Pipit mendapatkan informasi adanya buku bersampul kuning yang berisi data para penyintas di sebuah kecamatan di wilayah Yogyakarta.

"Saya sempat syok," katanya. Dari data dari dalam buku itulah, otoritas kecamatan melarang para penyintas untuk pindah ke tempat.

"Di buku itu, dari informasi yang saya peroleh, bukan hanya mencatat nama penyintas, tapi juga menikah dengan siapa, anaknya berapa, dan anaknya sekolah di mana," tambahnya.

"Berarti nama saya juga tercatat di buku itu," ujar Pipit. "Jadi apa yang berubah? Tidak ada yang berubah bagi kami."

Kiprah perempuan penyintas: `Itu healing buat saya`

Dihadapkan situasi seperti itu, Pipit memilih untuk terus melangkah. Kira-kira 13 tahun silam, setelah sempat bergabung dengan organisasi Syarikat Indonesia, Pipit mendampingi para ibu penyintas di Yogyakarta yang berusaha mengorganisasi diri.

Momentumnya setelah Syarikat Indonesia menggelar acara mempertemukan para penyintas 65 se-Jawa dan Bali di Yogyakarta.

"Dalam pertemuan itu para penyintas menyadari, mereka sangat berbahagia saat saling bertemu, mereka seperti senasib sependeritaan," katanya. Di sinilah cikal bakal terbentuknya Kiprah Perempuan (kiper) yang dipimpinnya langsung.

Sejak awal dia melibatkan ibunya dalam setiap pertemuan Kiper. Semula ibunya lebih banyak diam, namun lama-kelamaan akhirnya bisa membuka diri.

"Dia mau terbuka, kemudian perlahan-lahan mau menceritakan apa yang dialaminya, apa yang dirasakan, kesakitan, kebahagiaan, kesenangan," tuturnya.

Ibu Oni pun mengaku dirinya banyak memperoleh manfaat melalui interaksinya dengan sesama penyintas, termasuk menyalurkan kesenangannya untuk menyanyi.

"Saya suka nyanyi. Kalau saya susah, saya nyanyi, nanti terhibur sendiri," katanya. Dia juga merasa lebih gampang untuk menyuarakan apa yang dia rasakan.