SOROT 571

KPK Dikebiri

Keranda Mayat di KPK.
Sumber :
  • Edwin Firdaus/VIVanews.

VIVA – Selasa siang, 17 September 2019, aktivitas di kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berjalan seperti biasa. Tim penyidik lembaga antikorupsi tetap memeriksa para saksi terkait sejumlah perkara korupsi yang tengah ditangani. Bahkan, di hari yang sama tim penyidik menggeledah tiga kantor dinas Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) terkait kasus dugaan suap dan gratifikasi yang menjerat Gubernur Kepri Nurdin Basirun.

Nawawi Pomolango Sindir DPR Revisi UU KPK: Menarik, Tiap Ganti Pemimpin Aturan Diubah

Sekitar pukul 19.00 WIB, setelah aktifitas perkantoran berakhir, suasana berubah suram. Lampu-lampu utama yang menerangi pelataran dipadamkan. Satu persatu pegawai KPK melangkah keluar lobi dengan wajah ditutup masker sambil memegang bendera kuning.

Lantunan lagu “Darah Juang” karya John Tobing, “Yang Patah Tumbuh yang Hilang Berganti” ciptaan Banda Neira, dan Lagu kebangsaan “Indonesia Raya” pun mengalun sendu mengiringi langkah gontai para pegawai yang kemudian berkumpul bersama ratusan orang lain termasuk aktivis antikorupsi di pelataran Gedung KPK.

Alex Marwata Setuju Rencana DPR Revisi UU KPK

Tiga pimpinan KPK konferensi pers nyatakan kembalikan mandat ke Presiden JokowiPimpinan KPK menyerahkan mandat ke Presiden Jokowi
 

Mereka menghadiri 'pemakaman' KPK yang dinilai telah mati saat Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah, mengetuk palu tanda disahkannya UU KPK baru di Rapat Paripurna, Selasa siang, 17 September 2019.

Pembelaan KPK Usai Indeks Persepsi Korupsi RI Anjlok 4 Poin

"Malam ini kita semua berduka, kita sudah mendengar bahwa gedung di belakang ini bukan lagi akan menjadi benteng terakhr pemberantasan korupsi," kata Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati dalam orasinya saat prosesi pemakaman KPK. Hampir 15 menit Asfin menyampaikan orasinya tentang pelemahan KPK.

Usai Asfin orasi, pentolan grup band Efek Rumah Kaca, Cholil Mahmud langsung memetik gitarnya. sayup-sayup musikalisasi puisi karya Widji Thukul berjudul 'Bunga dan Tembok' menggema. Petikan gitar dan suara Cholil mengiringi replika nisan KPK yang dibawa sejumlah orang. Tidak hanya pusara, poster-poster bertuliskan 'KPK sudah mati' pun dibentangkan.

"Mari dengan suasana hening kita hanya berdoa, karena hanya doa yang bisa mengubah sesuatu. Ketika usaha kita terasa sia-sia, ketika kita tidak menemukan jalan keluar, yakinlah Tuhan bersama bangsa ini. Tuhan tidak akan membiarkan negeri ini akan hancur karena korupsi," kata seorang pegawai KPK.

Suasana kesedihan semakin larut. Para peserta aksi satu per satu menyalakan lilin. Seluruh lampu di pelataran Gedung KPK akhirnya dipadamkan. Sebagian dari mereka menembakkan sinar laser ke arah logo KPK yang berada di sisi kiri Gedung yang diiringi raungan suara sirene. Aksi ini sebagai simbol lembaga pemberantas korupsi ini menjadi target koruptor kelas kakap.

Para peserta aksi tidak mampu menahan tangis saat seorang pegawai KPK membacakan puisi Duka Ibu Pertiwi. Beberapa di antaranya bahkan terdengar menangis tersedu. Prosesi pemakaman KPK semakin pilu saat para peserta menabur bunga di 'nisan' KPK sambil melantunkan lagu 'Gugur Bunga.'

Keranda Mayat di KPK.
Keranda di KPK

Namun, suasana haru ini berubah tegang saat pengeras suara tiba-tiba mati. Seorang anggota Kepolisian yang mengawal aksi minta petugas 'sound' menghentikan pengeras suaranya. Tindakan aparat Kepolisian tersebut menyulut emosi para peserta aksi. Adu mulut pun terjadi dan mengalihkan perhatian peserta aksi.

"Tugasmu mengayomi, tugasmu mengayomi. Pak polisi, pak polisi, jangan ganggu aksi kami," teriak massa sambil bernyanyi.

Aparat Kepolisian yang dipimpin Kapolsek Setiabudi, AKBP Tumpak Simangunsong dan anggotanya akhirnya meninggalkan lokasi. Suasana tegang pun berangsur kondusif. Namun proses pemakaman tidak lagi dilanjutkan.

Saat dikonfirmasi, AKBP Tumpak mengutarakan maksud permintaannya supaya mematikan pengeras suara aksi 'Pemakaman KPK' ini. Tumpak mengatakan, permintaan itu disampaikan untuk mencegah terjadinya bentrokan dengan sekelompok orang yang juga menggelar aksi di luar area Gedung KPK yang mendukung pimpinan KPK Jilid V terpilih.

Pengamatan VIVAnews di lokasi, memang di tengah-tengah proses pemakaman KPK berlangsung, tiba-tiba sejumlah elemen juga menggelar aksi di depan Gedung KPK. Mereka mendukung langkah DPR merevisi UU KPK, serta menuntut agar Wadah Pegawai KPK dibubarkan dan pimpinan KPK era saat ini mundur. Kelompok ini juga ingin pimpinan KPK jilid V terpilih segera dilantik dan menjalani tugasnya.

Matinya Lembaga Pejuang Korupsi

Pengesahan revisi UU KPK membuat banyak orang berduka. Pengesahan itu dianggap sebagai cara memberangus KPK, lembaga yang selama ini terbilang super bodi dalam hal pemberantasan korupsi.



Gonjang ganjing KPK sudah terasa sejak proses pemilihan pansel untuk melakukan seleksi para calon pimpinan KPK. Panitia seleksi dianggap tak layak kerja, bahkan hingga ada desakan agar Jokowi membekukan pansel. Pansel Capim KPK dinilai tidak dipertimbangkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) sebagai syarat seleksi. Padahal masalah LHKPN ini diatur dalam pasal 29 angka 11 UU KPK yang menyebut laporan harta kekayaan merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi calon pimpinan KPK.

Pansel juga dianggap mengabaikan rekam jejak calon pimpinan KPK. Padahal itu seharusnya menjadi pertimbangan penting. Sementara 20 capim KPK yang diloloskan KPK memiliki catatan khusus. Mulai dari tak serahkan pelaporan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), terlibat pelanggaran etik, menghalangi kerja KPK, bahkan ada yang diduga pernah menerima gratifikasi.

Pansel Capim KPK

Pansel Capim KPK

Tapi pansel bergeming. Tanggal 2 September 2019, pansel menyerahkan 10 nama yang lolos seleksi. Salah satu nama yang paling menonjol adalah Firli Bahuri, mantan penyidik KPK yang diduga pernah melakukan pelanggaran etik berat saat bertugas di KPK. Tapi sebelum ditindak, Firli keburu ditarik kembali ke institusi asalnya. Belakangan, Firli malah terpilih menjadi Ketua KPK untuk periode 2019-2023.

Belum selesai kekagetan publik dengan mulusnya penunjukan Firli, Pemerintah dan DPR kembali memberi kejutan. Selasa, 17 September 2019, revisi UU KPK disahkan. UU ini merupakan revisi atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Perjalanannya terhitung singkat, karena pengesahan revisi UU KPK sebagai inisiatif DPR dilakukan pada 6 September 2019. Kemudian, Presiden Joko Widodo mengirim surat presiden (surpres) sebagai bentuk persetujuan pemerintah untuk membahas revisi UU tersebut bersama DPR.

Tanggal 11 September 2019 pembahasan antara pemerintah dan DPR mulai dilakukan. Pembahasan dilanjutkan antara perwakilan pemerintah dengan Badan Legislasi DPR pada 12 September 2019. Dan, pada Selasa, 17 September 2019, pimpinan DPR menyetujui pengesahan revisi UU KPK menjadi UU KPK pada rapat paripurna. Padahal, sejumlah pasal hasil revisi dianggap berpotensi melemahkan KPK.

Ada tujuh perubahan yang membedakan UU ini dengan UU sebelum direvisi. Pertama adalah kedudukan KPK sebagai lembaga penegak hukum berada pada rumpun kekuasaan eksekutif. Kedua, tentang pembentukan Dewan Pengawas yang anggota terdiri dari pemerintah dan DPR. Ketiga tentang pelaksanaan penyadapan yang harus melalui izin Dewan Pengawas.

Lalu yang keempat, penerbitan SP3 (penghentian penanganan perkara) yang tidak selesai dalam waktu dua tahun.  Namun SP3 dapat dicabut oleh pimpinan komisi antikorupsi manakala ditemukan bukti baru dalam suatu kasus. Kelima  mengenai koordinasi kelembagaan. Keenam tentang mekanisme penggeledahan, penyitaan. Dan yang ketujuh adalah sistem kepegawaian yang mengharuskan semua personalia KPK berstatus aparatur sipil negara (ASN). Padahal status ASN dianggap berpotensi membuat pegawai KPK tak independen lagi.

Pengesahan UU KPK di DPRPengesahan revisi UU KPK

Pengesahan itu terasa begitu singkat dan terkesan terburu-buru. Bahkan pemerintah dan DPR tak meminta pertimbangan dari pimpinan KPK sekarang. Wakil Ketua KPK, Laode Muhammad Syarif mengatakan pihaknya tak pernah dilibatkan dalam pembicaraan apa pun terkait pembahasan revisi UU KPK. Bahkan, meski sudah disahkan, KPK belum menerima secara resmi draf revisi UU itu dari DPR dan pemerintah.

Menurut Adnan Topan Husodo dari Indonesian Corruption Watch, tidak salah jika ada anggapan yang mengatakan KPK telah mati. Sebab, faktanya memang demikian. Pasal-pasal yang disasar oleh pemerintah dan DPR adalah pasal-pasal penindakan yang selama ini menjadi momok bagi para politisi.

"Kalau kita lihat dari isinya, tidak ada satu pun klausul di dalam UU itu yang memperkuat KPK. Itu tidak ada. Ini bukan soal sentimen karena kita tidak suka revisi, tidak. Tapi dari pembacaan kita dan analisis kita terhadap poin-poin revisi, memang tidak ada yang memperkuat. Semuanya melemahkan," ujar Adnan kepada VIVAnews, Kamis, 19 September 2019.

Pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia Ujang Komarudin mengaku sudah menduga sejak awal bahwa revisi UU KPK hanya untuk melemahkan, mengerangkeng, membonsai, dan membunuh KPK.

"Rakyat tidak bodoh. Rakyat merasa ditipu dan dibohongi oleh pemerintah dan DPR. Mungkin inilah awal masa kelam pemberantasan korupsi di Indonesia," ujarnya kepada VIVAnews, Selasa, 17 September 2019.

Menurut Ujang, dalam pembahasan revisi itu, KPK tidak dilibatkan. Begitu juga rakyat tidak dilibatkan. "DPR bersekutu dengan pemerintah dalam membonsai KPK. Agar KPK ke depan tidak menyentuh mereka," kata Ujang.

Ketua YLBHI AsfinawatiKetua Umum YLBHI, Asfinawati

Ketua Umum YLBHI Asfinawati menyebut, sejak UU Nomor 30 Tahun 2002 lahir, harapan masyarakat akan Indonesia yang bebas korupsi telah menemukan jawabannya. Dengan UU itu, lembaga antikorupsi bisa menangkap para pejabat korup, mulai dari hakim Mahkamah Konstitusi hingga Ketua DPR dan DPD. Namun, harapan akan Indonesia yang bebas korupsi itu seakan sirna dengan disahkannya Revisi UU KPK.

"Adalah salah mengatakan kita membela KPK, apalagi membela para pekerja di KPK. Tentu saja kita mendukung mereka tetapi sesungguhnya yang kita bela bukan lembaga, orang, yang kita bela adalah nilai. Yang kita bela adalah pemberantasan korupsi. Dan dari itu semua yang kita bela adalah Bangsa Indonesia, negara Indonesia yang dibentuk tahun 1945 untuk menyejahterakan rakyat Indonesia," ujarnya.

Isu Taliban

Upaya pelemahan KPK disebut bukan kali ini dilakukan. Tapi di pemerintahan Jokowi, revisi UU KPK akhirnya selesai dan disahkan. Tak ada yang bisa menduga isi kepala Jokowi hingga ia berani mengambil keputusan yang sangat tidak populis dengan memuluskan perjalanan revisi UU KPK.



Jokowi pernah dengan tegas melarang Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), sebuah kelompok yang ingin mengganti Pancasila dengan konsep negara Islam. Lalu beredar isu bahwa di dalam tubuh KPK telah terbelah menjadi dua kubu. "Polisi India," dan "Polisi Taliban." Dalam pergerakan kelompok Islam radikal, Taliban adalah nama kelompok Islam garis keras yang menguasai Afghanistan.

Isu tersebut dicuatkan oleh Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane. Menurut Neta, saat ini ada isu perpecahan di internal KPK dengan istilah Polisi India dan Polisi Taliban. Polisi Taliban merujuk pada kubu Novel Baswedan, dan Polisi India adalah kubu non Novel.

Neta meyakini, konflik internal di tubuh KPK terjadi karena pimpinan KPK tidak tegas dan berpihak. Perkara Novel yang tidak terungkap, menurut Neta, menjadi alasan pimpinan KPK sangsi terhadap institusi Polri. Padahal Novel juga dulu anggota Polri. Neta bahkan menuding KPK sekarang juga bermain politik, karena target KPK sejak menjelang Pemilu lebih banyak pendukung Jokowi-Ma'ruf.

Penyidik Senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan.
Penyidik KPK, Novel Baswedan

Apalagi kemudian Bambang Widjojanto, mantan ketua KPK, tampil menjadi pembela kubu Prabowo-Sandi di sidang Pilpres. Sempat mencuat isu Novel Baswedan, yang masih sepupu Anies Baswedan, akan menjadi Jaksa Agung jika Prabowo-Sandi menang Pilpres. Mencuatnya isu Taliban ini yang konon membuat Presiden Jokowi dan DPR menerima dengan mudah revisi UU KPK dan memuluskan kembalinya Firli.

Mantan Penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Abdullah Hehamahua, angkat bicara terkait tudingan adanya kubu 'Polisi India Vs Polisi Taliban' di internal Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Abdullah mengaku tidak tahu persis kapan istilah 'Taliban' muncul di kalangan internal KPK. Namun, soal sebutan Taliban itu, kata Abdullah, pernah terucap dari salah seorang delegasi Amerika Serikat saat melakukan kunjungan ke KPK beberapa tahun lalu.

Abdullah yang aktif di KPK sebagai Penasihat selama tahun 2005-2013, pernah dijuluki Taliban oleh delegasi Amerika yang datang ke KPK waktu itu. Ia sendiri tak menganggap serius julukan itu, malah diamini saja.  Ia mengaku kaget karena kata Taliban sekarang dikaitkan dengan kelompok radikal.

Jika sebutan 'Taliban' kepada KPK itu dikaitkan dengan aktivitas rohani para pegawainya yang mengamalkan ajaran agama, Abdullah menilai tidak ada yang salah. Sebab, pegawai KPK tak cuma Muslim, ada juga yang beragama lain dan semua diberikan hak yang sama untuk ibadah di KPK.

Menurutnya, di KPK punya Wadah Pegawai yang mengakomodir kegiatan ibadah pegawai, seperti pengajian mingguan bagi pegawai muslim, kebaktian bagi pegawai Kristen, dan juga peribadatan lainnya bagi yang Hindu maupun Buddha.

"Berarti orang-orang (yang menuduh Taliban) itu tidak mengerti falsafah negara. Kenapa orang yang melaksanakan ajaran agamanya dianggap sebagai fundamentalisme, Taliban dan sebagainya?" tanya Abdullah.

Mantan Dewan Penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Abdullah Hehamahua.
Mantan Penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Abdullah Hehamahua

Bahkan, ujar Abdullah, penyidik dari Kepolisian sendiri yang memintanya untuk menggelar pengajian dua kali sepekan, karena di KPK (gedung lama) tidak punya masjid. "Saya justru terharu ketika itu permintaan itu dari penyidik KPK," ujar Abdullah.

Ramainya isu Taliban di KPK membuat Teungku Zulkarnain ikut berkomentar. Awal September lalu ia menulis status di Twitter dan mengaku sudah mengajar di KPK selama 17 tahun, dan heran mengapa sekarang jadi ramai. Wakil Sekjen MUI ini terkenal dalam aktivitasnya di aksi-aksi yang digerakkan oleh kelompok 212. Pemilu tahun 2019, dengan tegas ia menyatakan dukungannya pada pasangan Prabowo-Sandiaga Uno. Dan ia sering menulis status yang menyerang pemerintah.

Seorang yang berada di dalam tubuh KPK membenarkan Teungku Zulkarnain pernah mengajar di KPK. Namun hanya dua atau tiga kali saja, dan itu bukan acara resmi.

Wadah Pegawai KPK yang disebut oleh Abdullah Hemahua memang ada. Wadah tersebut kini diketuai oleh Yudhi Purnomo, seorang penyidik KPK. Ketika dikonfirmasi oleh VIVAnews, Jumat, 20 September 2019, Yudhi membantah Wadah KPK telah menjadi bibit persemaian radikalisme.

Menurut Yudhi, Wadah Pegawai KPK menaungi berbagai karyawan dengan keyakinan agama yang berbeda. Mereka saling menghormati. Ada pengajian untuk Muslim, dan ada kebaktian untuk Kristen. "Radikal itu pasti tidak cinta dengan NKRI, semua pegawai KPK tidak ada yang tidak dengan NKRI dan Pancasila. Gedung kita itu warnanya merah putih, di depan itu ada logo burung Garuda besar terpampang, kalau kita tidak cinta NKRI dan Pancasila, pasti sudah diturunin itu logo burung Garuda di di depan gedung kita. Upacara bendera, tidak ada pegawai KPK yang tidak upacara bendera. Jadi taliban dari mana? Radikal dari mana?" ujar Yudhi mempertanyakan.

Ketua Wadah Pegawai KPK Yudi Purnomo (kiri).Ketua Wadah Pegawai KPK, Yudhi Purnomo (kiri)
 

Yudhi meyakini, isu itu sengaja dibuat untuk menggiring opini agar masyarakat percaya bahwa ada perpecahan di internal KPK, ada kelompok radikal di KPK, dan sebagainya. Dan, menurut Yudhi, itu semua memang ditujukan untuk melemahkan KPK. Karena kalau mereka bermain dengan landasan hukum atau argumentatif soal revisi, pasti kalah. Tapi kalau dengan isu radikal, masyarakat bisa termakan.

Wadah Pegawai KPK ini didirikan atas dasar PP 63 tentang MS-KPK tahun 2005. Hingga saat ini jumlah anggotanya sudah mencapai 1500 dari 1600 pegawai. "Ini menjadi wadah bagi para pegawai untuk menyalurkan aspirasi kepada pimpinan, terkait dengan kepegawaian di KPK. Artinya wadah pegawai itu memang dibuat khusus untuk masalah kepegawaian, misalnya masalah cuti pegawai, masalah kesejahteraan, termasuk masalah advokasi pegawai. Ketua pertama adalah Johan Budi, dan Yudhi adalah ketua kelima. Yudhi mengatakan wajar jika pengajian mengundang Teungku Zulkarnain, sebab beliau adalah representasi dari MUI.

Masa Depan KPK

Capim KPK terpilih, Nurul Gufron mengakui tak mempersoalkan soal UU lama atau UU yang sudah direvisi. Menurutnya, KPK adalah lembaga negara yang tugasnya dibidang penegakan hukum.  Oleh karena itu posisinya sbg penegak hukum, maka ia tidak akan masuk pada wilayah-wilayah politis, kecuali mengenai pembentukan hukum.

Gufron mengaku akan menerima apapun, apakah UU yang berubah setelah diketok palu, menjadi perpu, bahkan RUU tidak berubah juga akan tetap ia terima dan menjalankan tugas sebaik-baiknya.

Gufron mengakui kasus yang terjadi sekarang adalah polemik. Namun baginya, dalam pemberantasan korupsi hanya ada dua hal, tak boleh diskriminasi dan tidak boleh melanggar HAM. Menurut Gufron, korupsi bukan extra ordinary crime, tapi hanya serious crime. Hal yang termasuk extra ordinary crime misalnya pembantaian (genosida), pelanggaran HAM berat, dan pelanggaran terhadap kemanusiaan. Sedangkan korupsi dan narkotika hanya termasuk serious crime. Gufron mengatakan hal tersebut perlu diklarifikasi agar publik paham perbedaannya dan tak mudah termakan narasi.

Para kandidat Capim KPK sebelum tes kesehatan di RSPAD Gatot Subroto Jakarta 26 Agustus 2019.Para Capim KPK sebelum tes kesehatan di RSPAD Gatot Soebroto
 

Gufron mengaku termasuk bagian dari mereka yang memilih manusiawi dan tetap memanusiakan manusia. "KPK boleh diberikan kewenangan yang power full yang lebih dari tindak pidana lain. "Tapi ingat bahwa orang itu (tersangka) masih orang dalam praduga tidak bersalah. Asas Praduga tak bersalah harus  tetap dijaga," ujarnya.

"Bahwa seandainya mau diproses hukum dengan lebih kuat, silakan, tapi tidak boleh melanggar ham tidak boleh dikriminatif," ujarnya menambahkan.

Gufron memastikan, kelak dalam menangani setiap kasus, maka landasan hukum akan selalu menjadi acuannya. Ia memastikan, problem korupsi bukan soal jumlah banyak atau sedikit, tapi dilihat dari memenuhi atau tidak memenuhi dua alat bukti, termasuk untuk kasus-kasus yang sudah lama terjadi.

Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, lembaganya tak boleh patah arang, apalagi sampai berhenti dalam melakukan tugas pemberantasan korupsi. Untuk tetap memaksimalkan pelaksanaan tugas tersebut, pimpinan telah membentuk Tim Transisi yang menjalankan tugas-tugas prinsip seperti melakukan analisis terhadap materi-materi di RUU KPK yang telah disahkan.

Juru Bicara KPK, Febri Diansyah.Juru Bicara KPK Febri Diansyah

KPK, ujar Febri, akan terus mengidentifikasi konsekuensi terhadap kelembagaan, SDM dan pelaksanaan tugas KPK baik di Penindakan ataupun Pencegahan dan unit lain yang terkait, serta merekomendasikan tindak lanjut yang perlu dilakukan secara bertahap pada Pimpinan.

"KPK juga tidak mau harapan publik terhadap pemberantasan korupsi selesai sampai ketokan palu paripurna DPR kemarin. Karena itu kami juga harus berkomitmen tetap terus menjalankan ikhtiar pemberantasan korupsi ini," ujarnya optimis.

Ketua Panja Revisi UU KPK DPR RI Supratman Andi Agtas membantah telah menyiapkan regulasi yang terburu-buru.  Sebab pembahasan RUU KPK itu sudah berlangsung sama.

"Pembahasan RUU KPK ini sudah berlangsung lama, juga si badan legislasi dulunya. Bahwa dulu pernah ditunda karena momentumnya yang belum begitu bagus akhirnya ditunda. Tetapi Komisi III sudah melakukan sosialisasi kepada kesepakatan dengan presiden dulu dengan pimpinan DPR bahwa DPR itu harus melakukan sosialisasi menyangkut soal UU KPK ini," ujar Andi Aqtas.

Peneliti ICW Kurnia Ramadhana menilai, semua narasi baik yang coba dibangun jadi mentah. "Kita nilai memang dari pelemahan seperti seleksi Capim KPK yang menyisakan banyak persoalan. Setelah itu ditambah lagi pengesahan revisi UU KPK maka lengkap sudah grand desain yang dilihat publik, yang dilakukan DPR bersama pemerintah yang memang menginginkan KPK diperlemah.

"Jadi narasi penguatan baik yg disampaikan anggota DPR atupun Presiden Jokowi seakan langsung sirna ketika mengesahkan revisi UU KPK," ujarnya.

Ramadhana meyakini, setelah ini diprediksi akan banyak elemen masyarakat mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. "Harusnya pemerintah dan DPR malu karena legislatif menciptakan aturan yang buruk, karena sangat mudah publik menangkap ini melemahkan KPK untuk melakukan JR di MK," ujarnya.

Ramadhana memastikan, banyak elemen masyarakat yang akan mengajukan judicial review. (ren)

Baca Juga

Mereka yang Terjerat KPK

Manuver Senyap Wakil Rakyat

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya