Logo BBC

Dicap PKI, Keluarga Penyintas 65 Didiskriminasi dan Dihina Anak Kafir

- BBC News Indonesia
- BBC News Indonesia
Sumber :
  • bbc

Usianya menjelang 17 tahun, ketika dia mengetahui ayah-ibunya adalah eks tahanan politik 1965 - rahasia yang disembunyikan rapat-rapat oleh ke dua orang tuanya selama belasan tahun.

"Saya syok, saya marah. Kenapa saya? Kenapa harus keluarga saya?" cetus Pipit Ambarmirah, perempuan kelahiran 1981.

Lebih dari 25 tahun kemudian, ketika saya menemuinya di rumahnya di pinggiran Yogyakarta, awal Oktober lalu, ingatan itu masih tergambar jelas dalam benaknya. Tidak lama setelah rahasia masa lalu orang tuanya terbongkar, hidupnya seperti berubah.

"Tiba-tiba saya merasa menjadi orang yang berbeda," ujarnya.

Nyaris setiap tahun dicekoki film propaganda G30S/PKI versi pemerintah Orde Baru, Pipit yang beranjak dewasa mendapat gambaran menyeramkan tentang Partai Komunis Indonesia (PKI), utamanya terkait pembunuhan sejumlah perwira tinggi TNI di Lubang Buaya, Jakarta.

Konsekuensinya, "saya pun ikut membenci PKI."

Dalam atmosfer seperti itulah, Pipit dihadapkan kenyataan pahit bahwa ayah dan ibunya pernah dibuang ke Pulau Buru dan ibunya ditahan di kamp Plantungan di Kendal, Jawa Tengah, karena dicap sebagai anggota PKI - tanpa pernah diadili.

Di benaknya saat itu, kedua orangtuanya - Leo Mulyono dan Deborah Oni Ponirah - mirip momok menakutkan, seperti yang digambarkan dalam film G30S/PKI.

"Saya syok, saya kemudian menarik diri, saya merasa rendah diri."

`Saya ditangkap karena menari Genjer-Genjer`

Deborah Oni Ponirah, kelahiran 1948, biasa disapa Ibu Oni, adalah ibu kandung Pipit. Saat berusia sekitar 17 tahun, Oni adalah tipikal remaja yang aktif berorganisasi, utamanya di bidang tarik suara dan menari.

Ketika suasana politik memanas, dan isu ancaman kudeta oleh apa yang disebut sebagai Dewan Jenderal berhembus kencang di Yogyakarta pada pertengahan 1965, Oni, yang saat itu baru saja lulus SMP, tertarik ikut-ikutan di organisasi Ikatan Pelajar Indonesia (IPI) - onderbouw PKI.

Yogyakarta dan sekitarnya, seperti tercatat dalam sejarah, dikenal sebagai wilayah yang secara politik dikuasai PKI.

Dalam lautan perang urat syarat antara kelompok kiri dan kanan, Oni seperti terhanyut di dalamnya. Kala itu, dia ikut dalam berbagai kegiatan kesenian, yang di antaranya difasilitasi PKI.

"Saat itu bulan Agustus (1965), saya mulai latihan tari Genjer-Genjer untuk pentas di alun-alun (yogyakarta)," ungkapnya kepada BBC News Indonesia, awal Oktober lalu, di kediamannya.

Lagu Genjer-Genjer, yang kerap dinyanyikan bersama tarian, populer pada 1950-an dan 1960-an. Tapi setelah peristiwa yang disebut G30S, lagu ini dianggap identik dengan PKI dan sempat dilarang diputar pada masa Orde Baru.

Lagu berbahasa Using, yang diciptakan Muhamad Arif, seniman Banyuwangi pada 1940-an, dianggap sebagai lagu milik Partai Komunis Indonesia (PKI), setelah peristiwa G30S.

Propaganda Orde Baru menyebut Genjer-Genjer adalah lagu PKI dan "lagu pembunuhan" enam jenderal di Lubang Buaya, Jakarta, seperti digambarkan dalam film Pengkhianatan G30S/PKI.

Belakangan terungkap, , untuk menggambarkan penderitaan dan kemiskinan rakyat.

Tentu saja, Oni tak berpikir sampai ke sana. Dia semata-mata melakoninya karena menyukai dunia seni. Dan lebih dari 50 tahun kemudian, Oni mencoba mengingat-ingat lagi kejadian itu, dia tetap tak tahu-menahu tentang motivasi di balik pementasan itu.

"Saya tidak tahu untuk apa (tarian), mungkin saya bodoh... Pokoknya kalau ada yang ngajak soal kesenian, saya ikut," ungkapnya, mengenang.

Dengan rambut yang masih dikuncir dua ke belakang, saat itu, dia pun tak memahami apa yang terjadi pada dini hari dan subuh pada 1 Oktober 1965 di Jakarta - pembunuhan tujuh jenderal TNI-AD.

Yang selalu dia ingat, "ada penangkapan" terhadap teman-teman di sekolah dan di kampungnya di Yogyakarta, kira-kira sebulan setelah G30S.

"Guru saya juga diambil dan dibawa ke Wirogunan," katanya. `Diambil` di sini berarti ditangkap dan kelak sebagian besar mereka yang dituduh komunis itu ditahan tanpa diadili dan tanpa ada kejelasan kapan akan dibebaskan - juga ada yang dibunuh.

Dan petaka itu akhirnya menimpa dirinya ketika langit Yogyakarta berubah gelap. Jarum jam saat itu menunjuk pukul sembilan malam, 25 November 1965.

Pintu rumah orang tuanya di Kampung Suryo, Yogyakarta, diketuk seseorang. Sebelumnya, pagi harinya, orang tuanya telah memberitahunya bahwa pimpinan rukun tetangga dan seorang anggota CPM (polisi militer) mencarinya.

"Mereka membawa saya pakai (mobil) jeep," ungkapnya, dalam kalimat yang datar. "Saya sendirian."

Oni meminta izin untuk membawa jaket, tetapi ditolak, karena menurut penjemputnya, "Enggak usah bawa apa-apa, soalnya hanya diperiksa, lalu pulang."

Ucapan ini ternyata omong kosong belaka. Oni, yang saat itu masih berusia 17 tahun, harus kehilangan masa remajanya, karena sejak malam itu hingga 14 tahun kemudian dia harus mendekam di berbagai rumah tahanan, di antaranya di kamp Plantungan di Kendal, Jateng, hingga dibebaskan pada 1979.

Tapi peristiwa horor yang sulit dilupakannya adalah saat dirinya diinterogasi di salah-satu lantai di Gedung Jefferson di Jalan Diponegoro, Yogyakarta.

Pada hari kedua liputan, BBC News Indonesia mengajak Oni dan suaminya, Leo Mulyono (eks tapol yang dihukum sekitar 10 tahun, tanpa diadili, di Pulau Buru), ke teras depan gedung bekas perpustakaan milik pemerintah AS, yang terlihat tidak terawat itu.

Pasangan suami istri yang menikah pada 1980 itu tidak keberatan diajak ke gedung yang menjadi lokasi interogasi orang-orang yang dituduh anggota PKI pada pasca Oktober 1965.