Logo BBC

Kisah Penari asal Kupang yang Dituding PKI

Melki Bureni bercerita usianya baru 17 tahun saat dituding sebagai anggota Gerwani di tahun 1965 - BBC Indonesia/Dwiki Marta
Melki Bureni bercerita usianya baru 17 tahun saat dituding sebagai anggota Gerwani di tahun 1965 - BBC Indonesia/Dwiki Marta
Sumber :
  • bbc

Sejumlah penyintas yang dituding sebagai anggota atau simpatisan Partai Komunis Indonesia mengangkat penyiksaan dan pengalaman pahit yang mereka alami sejak peristiwa Gerakan 30 September 1965.

Di Nusa Tenggara Timur, setidaknya 800 orang meninggal dalam pembunuhan dalam kejadian lebiih dari 50 tahun lalu itu, seperti dilaporkan peneliti James Fox yang dikutip dari buku ` Keluar dari Ekstremisme ` .

Penelitian yang dilakukan oleh organisasi Jaringan Perempuan Indonesia Timur ( JPIT ) menyebutkan mereka yang mengalami pengalaman mengerikan -dari perkosaan sampai penyiksaan- berupaya mengatasi apa yang mereka lalui ini melalui doa juga menenun.

Salah satu cara yang sempat dicoba dilakukan adalah pintu rekonsiliasi seperti yang pernah diupayakan oleh Agus Widjojo, yang saat ini adalah Gubernur Lemhanas.

BBC Indonesia bertemu dengan sejumlah penyintas dan berikut kisah mereka.

Peringatan: Artikel ini berisi cerita kekejaman.

Senyum, yang memamerkan gigi-giginya yang merah karena sirih pinang, kerap menghiasi wajah Melki Bureni saat menceritakan tentang cucu-cucunya juga aktivitasnya sehari-hari. Tuturnya halus, namun jelas, dan pendengarannya masih baik, meski rambut putih telah menghiasi kepala perempuan berusia 71 tahun itu.

Di usianya yang senja, Melki menghabiskan hari-harinya dengan menenun. Dari memintal benang, mewarnai, hingga menenun, ia bisa menghabiskan waktu tiga bulan untuk membuat selembar kain tenun.

Melki mengalami peristiwa yang sangat gelap menyusul gerakan 30 september 1965. Menenun adalah caranya menghadapi peristiwa suram lebih dari setengah abad lalu.

Dituding Gerwani

Sekitar 10 menit perjalanan mobil dari kediaman Melki Bureni di Merbaun, Kupang, terletak sebuah kuburan massal dengan enam orang di dalamnya. Saat menunjukkan kuburan massal itu pada tim BBC News Indonesia, senyum Melki lenyap.

Duka, trauma, dan rasa malu yang dipikulnya selama 54 tahun yang lalu menyeruak dan air mata mulai membasahi pipinya. Disekanya air mata itu dengan kain tenun yang mengelilingi lehernya, namun lagi dan lagi, air mata menetes.