SOROT 382

Berkemas dalam Cemas

SPBU
Sumber :

VIVA.co.id –  Achmad Riyadi (32) duduk santai. Dia tak sendiri. Di sekitarnya, puluhan karyawan masih bercengkerama. Sesekali, tangannya meraih segelas kopi yang tersaji di meja. Diteguk sedikit demi sedikit. Suasana kantin tempat Riyadi duduk masih ramai.

Sore itu, jam kerja kantor memang telah usai. Namun, sebagian karyawan memilih tak langsung pulang. Sekadar melepas penat, mereka juga bersenda gurau.

Riyadi adalah salah satu karyawan badan usaha milik negara (BUMN). Pada kemeja putihnya tertulis nama sebuah perusahaan energi nasional, PT Pertamina. Sehari itu, tak ada aktivitas mencolok. Dia dan karyawan lainnya bekerja seperti biasa.

Karyawan yang sudah dua tahun bekerja di perusahaan pelat merah itu seperti tak harus "puasa", di tengah isu pengetatan anggaran dan pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran di industri minyak nasional.

Kabar buruk itu seolah “tak mampir” di kompleks perusahaan papan atas beraset US$47,86 miliar atau sekira Rp640 triliun itu (per Juni 2015). Meski angka itu anjlok dibanding periode sama 2014 yang mencapai US$50,35 miliar atau sekira Rp650 triliun.

Kepada VIVA.co.id, Riyadi belum mendengar adanya isu PHK di perusahaan pelat merah di sektor minyak dan gas itu. Namun, dia meresahkan kondisi perlambatan ekonomi yang memang banyak berdampak bagi masyarakat.

"Kalau katanya ada yang mau dirumahkan (PHK) saya enggak tahu. Memang ekonomi sekarang kayaknya lagi kacau, semua harga jadi tidak menentu," ujar pria yang sudah dua tahun bekerja di perusahaan energi nasional itu, Kamis 4 Februari 2016.

Meski begitu, dia mengaku mendengar perusahaan migas swasta sudah mengalami kerugian dan melakukan pengurangan bonus serta karyawan. Ia berharap, kondisi itu tidak terjadi di perusahaannya. Sebagai perusahaan milik negara, dia meyakini tidak akan bangkrut.

Berdasarkan laporan keuangan perusahaan, hingga Juni 2015, penjualan dan pendapatan usaha lain Pertamina tercatat US$21,78 miliar atau sekira Rp290 triliun. Namun, perolehan penjualan dan pendapatan usaha itu terpangkas dibanding US$36,27 miliar atau sekira Rp470 triliun pada Juni 2014.

Laba tahun berjalan pada periode itu mencapai US$579,1 juta atau sekira Rp7,7 triliun, sebelum melonjak menjadi US$1,39 miliar atau sekira Rp19 triliun pada akhir Oktober 2015.

Riyadi dan karyawan lainnya mungkin masih lebih beruntung. Karena, perusahaan tempatnya bekerja belum berencana merasionalisasi karyawannya. Meskipun, pencapaian kinerja perseroan itu juga diikuti dengan langkah efisiensi.

Direktur Utama Pertamina Dwi Soetjipto, mengatakan, di tengah situasi yang sangat menantang, hingga akhir Oktober 2015, perseroan melakukan efisiensi sebesar US$1,27 miliar.

http://media.viva.co.id/thumbs2/2016/02/05/56b491e32fbfc-stasiun-pengisian-bahan-bakar-chevron_663_382.JPG

Dampak penurunan harga minyak berimbas pada kinerja keuangan perusahaan yang membuat keuntungan Chevron semakin kecil.

Namun, kondisi berbeda dialami PT Chevron Pacific Indonesia. Tersiar kabar, karyawan perusahaan minyak asal Amerika Serikat itu resah. Perusahaan mengajukan pengurangan 25 persen jumlah karyawannya, atau sekitar 1.750 dari 7.000 karyawannya di Indonesia, kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).   

Safriza Rafi, karyawan Chevron, mengatakan, dampak penurunan harga minyak telah berimbas pada kinerja keuangan perusahaan. Keuntungan Chevron semakin kecil dan sejak harga minyak merosot tajam tahun lalu, perusahaan telah melakukan efisiensi anggaran.

Ia bercerita, dulu ketika pelemahan harga minyak dunia belum menghantui dunia migas, karyawan Chevron menikmati berbagai fasilitas, seperti mengoperasikan sendiri pesawat Fokker 100. Pulang-pergi dua kali sehari, rute Halim Perdana Kusuma ke Pekanbaru dan Dumai, untuk perjalanan dinas.

Lalu, ada juga layanan taksi gratis untuk sarana transportasi di area kerja. Kini, Chevron mengurangi perjalanan dinas ke luar kota.

"Dulu, obat-obatan yang diberikan untuk fasilitas kesehatan kami adalah obat-obatan paten atau bermerek. Sekarang, obat-obatan yang diberikan adalah obat generik," kata pria yang sudah bekerja di Chevron selama 25 tahun itu.

Safriza saat ini menjabat sebagai Coordinator Contract Administration and Management Facility Engineering-Sumatera Light Operation Chevron Indonesia. Dia juga menjabat sebagai ketua umum Federasi Serikat Pekerja Migas Indonesia Kawasan Barat.

Tak hanya pengurangan karyawan, Chevron, dia melanjutkan, juga membentuk tim transformasi pada kuartal III-2015. Upaya itu untuk mengantisipasi penurunan harga minyak dunia dan penyesuaian terhadap biaya-biaya.

Salah satu desain tim itu adalah membuat struktur organisasi baru yang bermuara kepada rasionalisasi pekerja untuk merampingkan struktur perusahaan.

Safriza mengatakan, dengan organisasi ini, perusahaan menerapkan sistem Work Force Management (WFM) yang terdiri atas tiga tahapan. Pertama, perusahaan menawarkan paket pengunduran diri suka rela sejak 29 Januari 2016. Karyawan diberikan waktu hingga 26 Februari 2016 untuk menerima atau menolak paket ini.

"Amplop wajib ditandatangani di atas materai dan dikembalikan ke Human Resource," kata dia.

Bila mengambil paket ini, pengunduran diri karyawan Chevron akan berlaku efektif per Maret 2016. Yang didapatkan adalah uang pensiun dan mendapatkan insentif dua belas kali gaji pokok.

Kedua adalah tahap seleksi. Dia menjelaskan, Chevron membuat tahap seleksi bagi karyawan yang tidak memilih paket pengunduran diri. Ketiga, adalah tahap yang meresahkan seluruh karyawan Chevron, yaitu pemutusan hubungan kerja (PHK).

Menurut Safriza, proses seleksi dan PHK kini menghantui mereka. Sejak dua pekan terakhir, karyawan resah karena tidak ada kepastian. Keresahan ini memecah konsentrasi bekerja dan bisa berdampak pada penurunan produksi.

Padahal, kata dia, Chevron bisa melakukan enam hal sebelum mengurangi karyawan. Pertama adalah evaluasi penggunaan tenaga kerja asing. Kedua, mengevaluasi dan mengelola pengadaan barang dan jasa.

Ketiga, mengevaluasi penggunaan karyawan "cadangan". Keempat, perusahaan ini harus menilik kembali pengadaan energi listrik lewat anak usahanya. Kelima, perusahaan harus mengawasi secara ketat biaya operasi, yang bisa diganti pemerintah oleh cost recovery.

Keenam, perusahaan juga harus mengelola biaya pemeliharaan dan perawatan fasilitas penunjang, seperti perawatan gedung, perumahan, dan sarana prasarana.

Menyikapi kondisi di perusahaannya itu, Safriza juga telah bertemu dengan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas) untuk melaporkan keresahan karyawan akibat wacana PHK yang akan dilakukan Chevron pada pekan lalu.

"Kami ada empat serikat pekerja di Chevron. Keempat serikat pekerja ini dipanggil Dirjen PHI (Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial) Kementerian Tenaga Kerja. Yang jelas, serikat pekerja dipanggil Kementerian Tenaga Kerja, SKK Migas, dan Kementerian ESDM," kata dia.

Hantaman harga minyak

Kecemasan Chevron dan karyawan terkait anjloknya harga minyak sangat beralasan. Perusahaan kelas dunia yang bergerak di sektor minyak itu dihadapkan pada situasi yang tak mudah.  

Harga minyak sudah turun tajam 70 persen sejak 2014. Saat itu, harga minyak sempat menyentuh lebih dari US$100 per barel.

Kini, harga minyak berada di level terendah dalam 12 tahun. Bahkan, sempat menyentuh di bawah US$30 per barel, karena melimpahnya pasokan minyak dunia dan melemahnya permintaan.

Produksi minyak Amerika Serikat naik 7,8 juta barel pekan lalu menjadi 502,7 juta barel. Sementara itu, pasokan minyak negara-negara pengekspor minyak (OPEC) melonjak pada Januari menjadi 32,6 juta barel per hari dari 32,31 juta barel per hari pada Desember 2015

Pengamat Perminyakan dari Universitas Indonesia, Iwa Garniwa, memperkirakan harga minyak menyentuh level terendahnya, US$26 per barel, pada tahun ini. Harga minyak juga dipastikan tidak akan bisa naik lagi mencapai US$100 per barel seperti dua tahun lalu.

"Kalau prediksi saya harga normalnya sekitar US$50 per barel," katanya.

Dia menambahkan, murahnya harga minyak menyebabkan pendapatan perusahaan-perusahaan minyak terpangkas. Dari harga minyak sekitar US$100 per barel menjadi US$30 per barel.

Anjloknya harga minyak hingga di bawah US$30 per barel itu yang telah menghantam perusahaan raksasa minyak dunia, ExxonMobil, British Petroleum (BP), termasuk Chevron dan Pertamina. Produsen minyak mengalami kerugian dan terpaksa melakukan efisiensi mulai dari pengetatan anggaran hingga pemangkasan tenaga kerja.

Induk perusahaan Chevron Pacific Indonesia di Amerika Serikat melaporkan kerugian US$588 juta pada kuartal IV-2015. Pendapatan sepanjang 2015 merosot 70 persen menjadi US$4,6 miliar dibanding 2014 sebesar US$19,2 miliar.

http://media.viva.co.id/thumbs2/2016/02/05/56b4916f5c1a8-stasiun-pengisian-bahan-bakar-chevron_663_382.JPG

Chevron Pacific Indonesia menyatukan dua unit usaha yang berada di Sumatera dan Kalimantan demi pengetatan anggaran.

Chevron Pacific Indonesia juga terkena imbas dan berusaha menyelamatkan perusahaan dengan melakukan pengetatan anggaran, dan perampingan organisasi dengan menyatukan dua unit usaha yang berada di Sumatera dan Kalimantan, yaitu PT Chevron Pacific Indonesia dan PT Chevron Indonesia Company.

Chevron bahkan tidak memperpanjang kontrak kerja sama migasnya (PSC) blok migas East Kalimantan dengan Pemerintah Indonesia, yang akan habis masa kontraknya pada 2018. Keputusan ini sebagai langkah pemangkasan belanja modal, karena pengembangan blok East Kalimantan dianggap tak lagi menguntungkan bagi portofolio Chevron dengan harga minyak saat ini.

Senior Vice President, Policy, Government and Public Affairs Chevron Pacific Indonesia,‎ Yanto Sianipar, membenarkan perusahaannya sedang melakukan perampingan.

"Mungkin bukan istilah PHK, saya tidak setuju. Ini adalah program untuk menyesuaikan model operasi dan bisnis kami yang terkait dengan perubahan organisasi, struktur, ukurannya, dan ada proses pemilihan pegawai untuk organisasi yang baru," katanya kepada VIVA.co.id di Jakarta, Kamis 4 Februari 2016.

Yanto mengungkapkan, perseroan sudah menyiapkan rencana efisiensi sejak tahun lalu dan sudah banyak melakukan tinjauan untuk organisasi, mengingat skala bisnis di Indonesia. Semua program anggaran perusahaan pun telah disetujui oleh SKK Migas pada Desember lalu.

Sebelumnya, perusahaan migas British Petroleum Indonesia telah melakukan pemangkasan karyawan di Blok Bintuni, namun jumlahnya tidak besar. Sementara itu, ExxonMobil Indonesia dan Pertamina meski pendapatan menurun, belum merencanakan pengurangan karyawan.

Vice President Public and Government Affairs ExxonMobil Indonesia, Erwin Maryoto, mengatakan, perusahaan tengah melihat dan mengevaluasi rencana jangka panjang perusahaan. Perusahaan minyak terbesar AS ini optimistis akan mampu bertahan dan terus sukses dalam guncangan harga minyak.

"Untuk mengelola risiko (dalam konteks efisiensi) terkait harga (minyak), ExxonMobil akan mengevaluasi rencana tahunan dan semua investasi dengan berbagai skenario harga (minyak). Perusahaan menilai bahwa operasi yang akan terus sukses dalam berbagai kondisi pasar adalah hasil dari pendekatan yang terarah dalam hal investasi, pengelolaan pengeluaran, dan program memaksimalkan aset," ucapnya.

Sementara itu, Direktur Utama Pertamina, Dwi Soetjipto, mengakui bahwa ‎dengan ‎turunnya harga minyak mentah dunia di bawah US$30 per barel membuat kinerja di sektor hulu sedikit terganggu. Kondisi ini lantaran biaya untuk memproduksi minyak lebih besar dibanding harga jualnya.

"Yang sudah jelas, dengan harga di bawah US$30 per barel, sumur-sumur minyak kita ada yang sangat berat untuk bertahan karen‎a biaya produksinya ada yang di atas U$30 per barel," ujarnya.

Direktur Pengolahan Pertamina, Rachmad Hardadi, menyatakan, perusahaan akan melakukan segala cara mencegah terjadinya pengurangan karyawan.

"Dengan segala cara, jadi kami menjaga betul supaya jangan ada pemutusan hubungan kerja. Karena kembali lagi, kalau nanti pada saat kondisi sudah kembali membaik dan kekuatan utama sudah mulai di-lay off (dipangkas), itu berarti sudah bencana. Pemerintah tentu tidak kurang susahnya, jadi untuk sementara ini kita tunggu dan lihat dulu, dan melakukan usaha yang terbaik," ucapnya.

Perusahaan sektor jasa penunjang hulu migas, seperti PT Elnusa Tbk, juga tak dapat menghindar dari terkaman harga minyak. Saham Elnusa di Bursa Efek Indonesia tahun ini sudah anjlok 60,87 persen seiring dengan merosotnya harga minyak.

Kurs Dolar AS Bebani Anjloknya Harga Minyak

Vice President Corporate Secretary Elnusa, Fajriyah Usman, mengakui perusahaannya ikut terhempas badai harga minyak. Meski begitu, ia meyakinkan perusahaannya masih stabil, dan belum ada rencana pemangkasan karyawan.

"Kalau terdampak, pasti. Tapi, kami masih stabil karena bisnis 50:50, tidak cuma di minyak dan gas. Sampai saat ini belum ada PHK. Efisiensi dari sisi lain, ubah metode kerja, intinya kami lakukan efisiensi yang smart (cerdas)," tuturnya.

Jumlah Pengeboran Bertambah, Harga Minyak Turun

Hindari PHK

Menyikapi penurunan tajam harga minyak yang berimbas ke perusahaan di sektor terkait itu, Direktur Jenderal Minyak dan Gas, Kementerian ESDM, ‎I Gusti Nyoman Wiratmaja Puja, mengatakan, pemerintah saat ini berusaha untuk menghindari terjadinya PHK massal di industri migas nasional.

Pasokan Nigeria Berhenti, Harga Minyak Naik Lagi

"Kami sudah minta ke industri hulu migas untuk tidak melakukan PHK dulu, kalau ada pengurangan, ya pengurangannya natural saja," kata Wiratmaja kepada VIVA.co.id di kompleks DPR RI, Jakarta, Selasa malam, 2 Februari 2016.

Dia mengakui, Chevron telah mengajukan rencana pengurangan tenaga kerja sebanyak 25 persen dari jumlah karyawannya.

Wiratmaja menjelaskan, rencana pemangkasan karyawan itu, karena Chevron melakukan penggabungan organisasi yang berada di Sumatera dan Kalimantan. Penggabungan itu memicu beberapa posisi yang tumpang tindih, sehingga Chevron mengimbau karyawannya untuk mau secara "sukarela" bisa mengundurkan diri atau pensiun dini.

"Jadi, mereka mengimbau karyawannya sukarela bisa keluar dan ada bonus, jadi bukan PHK besar-besaran," ucap dia.

Dia juga menjelaskan, pemerintah akan menawarkan insentif untuk menghindari PHK besar-besaran di industri hulu migas. Insentif tersebut diharapkan akan mengurangi beban perusahaan dalam menghadapi anjloknya harga minyak ‎dunia.

"Supaya industri kita jalan terus, tidak melakukan PHK, tidak setop proyek, dan agar produksi tidak turun terlalu banyak," ujar Wiratmaja.

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menyebut bahwa ada sekitar 5.000 karyawan perusahaan yang bergerak di bidang industri minyak dan gas yang mengalami pemutusan hubungan kerja.

"Laporan dari anggota KSPI dalam industri migas itu sekitar 5.000-an orang. Kami dapat laporan, tapi kan harus verifikasi ulang," ujarnya.

Direktur Eksekutif Indonesian Petroleum Association (IPA), Marjolijn Wajong, mengatakan, pelemahan harga minyak menggerus pendapatan perusahaan migas. Akibatnya perusahaan-perusahan migas harus mengurangi biaya dan aktivitas operasional.

Untuk itu, pemerintah tidak bisa berbuat banyak terkait pelemahan harga minyak. Tapi, pemerintah diharapkan bisa memberikan insentif dan kemudahan perizinan eksplorasi migas.

"Mereka diberikan kelancaran dalam peroleh perizinan untuk eksplorasi, sehingga yang mau eksplorasi tidak berpikir dan menunda (eksplorasi) lagi," kata dia.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Hariyadi B. Sukamdani, mengatakan, penurunan harga minyak dunia membuat penjualan minyak dan pendapatan perusahaan turun drastis. Perusahaan migas harus semakin cerdas dalam mengelola keuangan, termasuk pinjaman dan aset. "Ongkos perawatan (aset) sudah mahal. PHK pun tidak terhindarkan," kata dia.

Sementara itu, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Rosan P. Roeslani, mengharapkan pemerintah memberikan insentif-insentif agar perusahaan migas tetap "bergairah".

"Misalnya, memberikan insentif dalam bidang perpajakan dan insentif yang bisa membantu arus kas mereka, apakah pembayaran pajaknya bisa ditunda," kata dia.

Anggota Komisi VII DPR, Kurtubi, juga berpendapat bahwa untuk sektor hulu perlu ada kebijakan agar tetap mendorong perusahaan-perusahaan minyak terus melakukan kegiatan aktivitas hulu, yaitu eksplorasi dan eksploitasi.

"Aktivitas itu tetap harus didorong dengan cara bebaskan semua pajak kepada seluruh perusahaan yang melakukan kegiatan eksplorasi. Jadi, saat cari minyak, eksplorasi itu dibebaskan, misal pajak impor alat-alat yang mereka pakai untuk pengeboran," ucapnya.

Dia menjelaskan, selama ini alat-alat eksplorasi yang masuk harus kena pajak impor. Pajak Bumi dan Bangunan untuk perusahaan yang sedang mencari minyak juga diusulkan dihapus.

"Wong minyak belum ketemu kok kena pajak. Harus dihapus, baru boleh dikenai kalau sudah produksi," katanya.

Selain itu, upaya lain yang bisa dilakukan adalah menghapus segala perizinan untuk melakukan kegiatan eksplorasi. Izin yang jumlahnya bahkan hingga ratusan, supaya disederhanakan atau dihapus.

Namun, Menteri Keuangan, Bambang Brodjonegoro, mengungkapkan, kementeriannya akan mengkaji terlebih dahulu permintaan tersebut. Pemerintah akan membantu menemukan solusi atas permasalahan yang menimpa perusahaan migas.

Bambang menegaskan, pemerintah akan menjaga iklim usaha di sektor migas kondusif, dan tidak mengganggu porsi penerimaan negara.

“Nanti kami lihat. Kami akan pelihara keseimbangan. Paling penting, investasi mereka tidak terganggu oleh hal-hal yang mengganggu seperti pajak yang tidak cocok atau yang lainnya," ucapnya. (art)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya